TIGA: Kenapa Harus Saya?

6.5K 453 9
                                    

Centana seolah membeku di atas tempat duduknya. Menikah. Kata itu terus membayangi isi kepalanya. Bagi Centana, sebuah pernikahan adalah suatu kegagalan yang tidak ingin ia ulangi.

Pernikahan layaknya sesosok hantu menyeramkan, yang terus saja membayangi mimpi buruknya.

"Maaf, saya tidak bisa."

Dengan cepat dan tegas, Centana menolak tawaran Adam. Raut muka lelaki enam puluh tujuh tahun itu berubah menjadi kecewa. Dengan gusar dan kikuk ia memajukan sedikit tubuhnya dan menatap Centana lebih lekat dan khidmat. Tatapan penuh permohonan.

"Saya akan membayar Anda, berapa pun yang Anda mau."

"Saya tidak bisa, Tuan Adam. Maaf."

"Kenapa? Saya tahu Anda butuh uang, kan? Anda seorang single mommy dengan dua orang putri yang masih sangat kecil, sementara Anda belum mendapatkan satu pun pekerjaan. Kenapa menolak tawaran saya?"

Centana menarik napasnya dalam-dalam. "Karena pernikahan itu bukan permainan, Tuan. Dan saya telah lelah dipermainkan selama belasan tahun ini hanya karena sebuah pernikahan."

Adam terdiam. Ia mencoba memaklumi kata-kata wanita itu, tapi bukan berarti ia menyerah.

"Ini bukan sebuah permainan, Nona Centana. Saya sangat serius. Saya ingin anak saya menikah dengan wanita seperti Anda yang--"

"Kenapa harus saya?" Centana menatap tegas mata lelaki berjas hitam dengan kemeja biru kehijauan itu. "Mengapa Anda memilih saya?" lanjutnya kemudian.

Adam Bumi Saputra Hutama menarik kembali tubuhnya ke dalam, menempel pada punggung sofa. Ia mencoba untuk tenang. Menarik napas dan mengembusnya kembali pelan-pelan. Diliriknya Kentaro yang berdiri di sisi kanan. Ia kemudian mengangguk. Dan dengan tanpa banyak bicara lagi, Kentaro menyodorkan ponselnya ke arah Centana. Wanita itu menatapnya dengan kedua alis yang terpaut. "Apa ini?" tanya Centana, tapi Kentaro tidak menjawab apa pun. Ia menggoyang perlahan ponselnya, sebagai tanda agar Centana segera menerima benda tersebut.

Centana menerimanya. Ragu-ragu.

"Saya melihat itu," ucap Adam. Centana melirik lelaki tua itu sekilas, lalu menatap layar ponsel. Matanya membeliak.

"Saya melihat kehangatan dan perasaan cinta yang teramat besar dari Anda. Senyum Anda ... Saya melihat kegigihan dari senyum Anfa yang begitu tulus."

"I-Ini ... Ini ..."

"Iya, Nona Centana. Itu adalah pertama kalinya saya melihat Anda."

Centana terdiam. Matanya terus menekuni foto dirinya dan kedua anaknya yang diam-diam diambil oleh Kentaro di ponsel itu. Ia masih ingat dengan jelas. Hari itu, ia mengajak kedua putrinya berjalan-jalan ke sebuah mall karena kedua putrinya tengah merengek bosan di dalam kamar kos yang tanpa televisi. Putri sulungnya tiba-tiba merengek minta makan ayam goreng di salah satu restoran cepat saji ternama, makanan favorit bocah itu, tapi Centana tidak memiliki uang lebih untuk dihambur-hamburkan. Ia sedih melihat putri sulungnya menangis dan memohon-mohon. Dengan lembut, direngkuhnya tubuh bocah itu, yang mulai marah dan memukul-mukul tubuh Centana dengan berteriak makin kencang. "Aku mau ayam kriuk! Aku mau ayam kriuk!" Wanita itu bergeming, tetap merengkuh penuh kasih sambil menggendong anak keduanya yang ikut gusar dan mulai rewel. Centana memejam mata, menarik napas begitu dalam. Dibelainya rambut kedua anaknya. Tersenyum. Hatinya mendidih dan sedih, tapi ia tidak ingin kalah. Tidak ingin hanyut dan menangis.

Senyum Centana terus mengembang. Tidak ada kata-kata yang terucap. Tidak marah, atau pun panik. Ia terus memeluk kedua anaknya dan tidak peduli tatapan orang-orang yang lalu-lalang. Tidak seberapa lama kemudian, tangisan keduanya mereda, dan menyisakan isakan.

"Kak, dengarkan Bunda, ya, Sayang. Bunda janji, jika Bunda sudah dapat pekerjaan, Bunda akan membelikan Kakak ayam kriuk, ya?" ucapnya lirih. Bocah itu mengangguk terbata-bata. Isakannya masih ada, tapi akhirnya, ia merengkuh leher Centana dan menenggelamkan keinginannya dalam-dalam.

Setitik air merembes keluar dari sudut mata Centana. Ia kembali diingatkan pada ketidakberdayaannya di hari itu. Diusapnya air mata itu dengan ujung jari. Ia kemudian meletakkan ponsel Kentaro di atas meja.

"Saya ..., tetap tidak bisa memenuhi permintaan Anda. Maaf." Centana meraih tas rajutnya dan berdiri. "Saya pamit. Kedua anak saya telah menunggu begitu lama di rumah. Terima kasih atas undangan Anda."

Setelah mengucap demikian dan sedikit membungkuk untuk memberi penghormatan perpisahan, Centana berjalan menuju pintu. Langkahnya tegap. Tidak ada sedikit pun keraguan dan penyesalan. Dan Adam melihat itu. Lelaki tua itu menatap sedih. Hingga punggung Centana menghilang dari balik pintu kamar hotel.

"Tuan," ujar Kentaro yang berjalan mendekat.

"Ya, Ken. Dia wanita yang tepat."

Adam mengulas senyum. Dan Kentaro membalasnya dengan anggukan.

***

Gishel melonjak seketika dan menghambur ke arah Centana ketika wanita itu baru saja membuka pintu kamar kosan. Wajah lelah dan kecewa yang sedari tadi menggelayuti Centana kini berubah menjadi seulas senyum.

"Horee! Bunda sudah pulang!" teriak Gishel. Ia melonjak kegirangan di depan Centana. "Bunda bawa apa? Bunda bawa kue nggak? Gishel lapar. Dedek juga, belum makan."

Kalimat-kalimat itu menghantam tepat di dadanya. Sesuatu merayap dan menusuk. Centana mengalihkan pandangannya ke arah Budhe Sri, wanita paruh baya yang membantunya menjaga Gishel dan Kejora, setiap kali ia pergi mencari pekerjaan.

"Kejora sudah tidur, Nak. Tadi mereka Budhe ajak makan tidak mau. Katanya ingin menunggu Bunda," ujar Budhe Sri.

Centana kembali menekuni Gishel. Ia jongkok di hadapan bocah itu, merengkuh kedua bahu Gishel dan berkata, "Kakak, maaf, Bunda tidak bawa apa pun kali ini. Tapi Bunda suatu saat pasti akan membelikan kue untuk kakak dan dedek. Sekarang, Kakak sabar dulu, ya. Kakak bisa kan jadi anak pintar dan baik demi Bunda?"

Gishel mengangguk.

"Terima kasih, Kakak. Bunda sayang Kakak." Dengan lembut, Centana memeluk tubuh bocah itu. Tubuh yang kecil dan kurus. Centana menyadarinya, berat badan Gishel menurun drastis sejak pergi dari rumah itu. Ia merasa bersalah. Dan sesak.

Dihapusnya air mata yang menggantung di sudut. Ia melepaskan pelukannya dan tersenyum. Kita makan sama-sama, yuk. Bunda juga sudah lapar.

"Iya! Asyiikk ... makan sama Bunda!"

Centana bangkit, meraih tangan Gishel dan menggenggamnya.

"Budhe pulang dulu, ya, Nak," pamit Budhe Sri.

"Terima kasih, Budhe. Uangnya ..." Centana merogoh saku celana.

"Nggak perlu, Nak. Nanti saja. Buat anak-anak saja dulu, ya." Setelah berkata, Budhe Sri melangkah keluar.

Punggung itu ditekuni Centana dengan penuh perasaan syukur. Budhe Sri bukanlah siapa-siapa Centana. Ia baru mengenalnya ketika datang di kota ini. Budhe Sri tinggal seorang diri di sebelah kos-kosannya. Suami Budhe Sri telah lama meninggal, dan anaknya hidup merantau di pulau Kalimantan. Wanita itu telah banyak membantu. Budhe Sri yang sering merindukan cucunya itu, merawat Gishel dan Kejora layaknya cucu sendiri. Centana bersyukur, dalam keputusasaannya, ia masih menjumpai seorang penolong.

"Ayo, Bunda ..." Gishel menarik-narik tangannya, membuat lamunan Centana buyar. "Gishel sudah lapar."

"Iya, Sayang. Yuk."

Perlahan, kedua ibu dan anak itu berjalan menuju ke arah meja kecil. Aroma nasi dan tahu goreng menguar ketika Centana membuka penutup makanan. Ia terdiam sejenak. Perasaan bersalah pada kedua bocahnya kembali menusuk. Maafkan Bunda, ya, Nak, desahnya dalam hati.

Tiba-tiba, wanita itu merasa menyesal telah menolak tawaran yang diberikan oleh Adam. Tetapi bagaimanapun, ia tetap harus menolak. Ia tidak akan sanggup menghadapi kehidupan pernikahan, sekali lagi ... []

~ bersambung

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang