LIMA BELAS: Aku Telah Melihatmu

5.4K 308 1
                                    


Setelah masuk ke ruang kantornya, Juna mendengus panjang dan menghempaskan tubuh di atas sofa. Ia melonggarkan dasi, lalu membuka kancing teratas kemejanya sambil mendesis marah, "Sshh ... Wanita jelek dan tua itu ... Benar-benar akan membuatku gila sebentar lagi!" Ia kemudian mengacak-acak rambutnya dengan sangat kasar, lalu mendongak dan merebahkan kepala di bahu sofa. Kedua tangannya terlentang ke kedua sisi. Memejam. Merasakan ketenangan yang mulai merayap lindap di dalam kepalanya yang dipenuhi oleh notulen-notulen rapat yang baru saja dijalani sejak pukul sembilan pagi.

"Aku jadi makin benci sama wanita itu. Awas ya, nanti malam akan kubalas lebih dari kemarin, dasar sial!" gerutu Juna lagi. Ia menelan ludah. Jakunnya naik-turun. Tapi baru beberapa menit Juna merasakan kedamaian itu, suara ketukan pintu memecah kesenangannya. Ia mengerutkan dahi karena kesal, lalu berseru, "Masuk!

Suara pintu terbuka, dan itu tidak membuat Juna membuka mata. Ia tetap berada pada posisinya. Tidak peduli.

"Tuan Adam memanggil Anda di kantornya," ujar Kentaro. Lelaki itu berdiri tepat di samping sofa Juna dengan sikap hormat, selayaknya seorang bawahan yang tengah menghadap atasannya.

'Dia lagi, dia lagi, omel Juna dalam hati. Kapan aku bisa bebas dari dua orang ini, ya? Bikin stres saja!'

"Tuan Juna."

"Iya, iyaa ..." Juna mengangkat kepala sambil menghentakkan kedua kakinya dan menepuk lutut dengan keras. "Ada apa lagi sekaranggg ...?" Ia melirik Kentaro dengan kesal. Berharap ingin bisa mencekik lelaki itu sekarang juga. Hal yang sudah lama ingin dilakukannya.

"Saya tidak tahu."

Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir Juna kali ini. Lelaki itu berdiri, melesakkan kedua tangan ke dalam saku celana, lalu membuang muka. Tidak mau menatap Kentaro.

Untuk beberapa saat kedua lelaki yang pernah tinggal satu atap itu saling terdiam dan tetap berada di posisi mereka masing-masing. Hingga akhirnya Juna melangkah lebih dahulu menuju ke arah pintu, diikuti oleh Kentaro. Jarak mereka tidak terlalu jauh. Ketika setelah membuka pintu, Juna tiba-tiba berhenti.

"Dengar, Ken," ujar Juna. Kentaro yang turut berhenti itu mendongak dan menatap punggung Juna. Dari arah belakang itu, Kentaro mampu melihat lirikan tajam Juna yang mengarah tepat kepadanya.

"Aku lihat apa yang kau dan wanita jelek itu lakukan di pantai." Sebuah senyum sinis tersungging di bibir Juna. Tanpa berujar lagi, lelaki itu kembali melangkah, tapi dengan cepat Kentaro meraih pergelangan tangannya dan mencengkeram kuat-kuat.

"Apa maumu, Jun?"

Juna menarik tangannya dari cengkeraman Kentaro dengan keras. "Apa yang akan kulakukan?" Senyum sinis itu belum menghilang dari bibir Juna. Dan itu membuat Kentaro semakin menatap tajam ke arahnya. Tatapan mengancam.

"Jangan khawatir, Ken. Kali ini aku nggak akan lakukan apa-apa, kok." Kau dan dia itu benar-benar cocok, ujar Juna, sambil menepuk-nepuk bahu Kentaro. Ia kemudian berlalu, dan meninggalkan Kentaro terpaku di tempatnya sambil mengepalkan tangan.

***

Sejak Centana keluar dari kediaman Adam untuk mengantarkan Gishel dan Kejora bersekolah pagi pukul tujuh tadi, mobil hitam itu sudah mengikutinya. Centana tidak tahu itu. Dengan wajah bahagia Centana melepas kedua putrinya memasuki gerbang sekolah masing-masing. Sebelum kedua putrinya menghilang dari pandangannya, wanita itu terus melambai-lambai dan sesekali melemparkan kecupan kiss-bye.

Setelah itu, Centana melanjutkan perjalanan ke salah satu bank terbesar di Indonesia, yang terletak di jalan Raya Darmo. Ia ingin menginvestasikan uang yang diberikan oleh Tuan Adam. Sejak lelaki tua itu memberikannya, Centana belum memakainya sama sekali. Semua kebutuhan sehari-hari, selama ini telah tercukupi di dalam rumah itu. Baju, ponsel, kebutuhan sekolah, makan, dan lain-lain. Semua telah diatur begitu baik dan sempurna oleh Nyonya Linggar. Istri Adam itu nampak begitu antusias dan cekatan. Centana bahkan tidak diizinkan membantu.

Setelah mendapatkan nomor antrian, Centana mengedarkan pandangan dan mencari tempat duduk yang masih kosong. Nasabah yang datang hari ini tidak terlalu padat. Centana bersyukur menemukan sebuah kursi. Ia berjalan ke arah kursi itu, tetapi tiba-tiba, seseorang menyenggolnya dari belakang. Centana hampir jatuh, namun bisa segera menyeimbangkan kembali tubuhnya.

"Ah, aduuh ... Maaf, ya, Mbak. Aku keburu-buru soalnya," ujar seorang wanita muda. Centana mengangguk dan membalasnya dengan sebuah senyuman. Tapi saat melihat wajah wanita muda itu, Centana seolah pernah melihatnya. Tapi ingatan Centana sangat lemah.

Wanita muda itu berambut lurus sebahu, berkulit putih. Bahkan sangat putih. Dengan wajah oriental yang mungil. Centana memandang takjub. Wanita muda itu sangat cantik. Dan ia kembali mengorek ingatannya.

"Tunggu!" seru wanita muda itu sambil meraih tangan Centana. "Kamu kan yang ikut pemotretan di butiknya Gerald kapan hari lalu? Iya, kan?"

Merasa kesakitan, Centana berusaha melepas pergelangan tangannya. Centana mulai ingat. Ia adalah wanita muda yang menatapnya dengan jijik di butik itu.

"Sini!" Wanita muda itu menarik paksa Centana, lalu menuju ke sudut ruangan yang tidak dilalui banyak orang.

"Kamu tahu nggak siapa aku?"

Centana menggeleng sambil meringis kesakitan. Ia masih berusaha melepaskan cengkeraman wanita muda itu.

"Aku Violin. Pacarnya Juna. Sekali lagi, ya. PACARNYA JUNA,” ujar ketus Violin, yang sedari pagi tadi sengaja mengutit mobil Centana dan sengaja menabrak Centana. Ia kemudian menghempas kasar tangan Centana dan mendengus kesal. "Gara-gara kamu yang jelek begini, Juna jadi mencampakkanku."

Centana menatap Violin dengan kesal, tapi ia tidak peduli. Ia berjalan, hendak meninggalkan wanita muda itu.

"Eeh, mau ke mana kamu?" Violin kembali meraih tangan Centana, tapi kali ini, Centana berhasil menariknya.

"Tolong, ya, Mbak. Aku tidak kenal kamu. Dan hubunganmu dengan Juna, itu bukan urusanku. Maaf. Aku masih ada urusan."

"Enak aja ngomong bukan urusanmu. Aku tuh cinta banget sama Juna. Impianku cuma satu. Menikahi Juna. Tapi gara-gara kamu semua itu sekarang sudah nggak bisa lagi sekarang."

Centana menatap kasihan pada Violin. Ia sangat tahu bagaimana rasanya kehilangan sebuah impian. Tapi karena sikap Violin yang sangat kasar padanya, rasa kasihan itu sirna. Centana memutuskan beranjak lagi dan tidak mempedulikan curhatan konyol wanita muda di hadapannya itu.

“Hei, kamu ya ... Aku itu lagi ngomong sama kamu. Dasar wanita jelek. Kamu pasti nikahin Juna karena uang, kan?!! Aku tahu kok kalau kamu itu miskin! Baju mahal yang kamu pakai itu nggak cocok sama kamu. Oh iya. Juna bilang kalau kamu itu wanita bayaran. Jangan-jangan kamu itu pelacurnya Om Ad--"

Sebuah tamparan mendarat keras di wajah Violin. Pipi putih itu seketika berubah menjadi kemerahan. Dengan marah, Violin mendelik ke arah Centana, yang telah lebih dulu membulatkan mata ke arahnya. Mata Centana begitu merah dan marah.

"Jaga omonganmu, ya, Mbak. Walaupun miskin, aku tidak pernah menjual tubuh. Camkan itu.”

Setelah berkata, Centana memutar badan dan berlalu. Ia menuju pintu keluar dengan dada yang meradang, dan tidak mempedulikan puluhan mata yang menatapnya. Sesampainya di mobil, matanya meleleh. Ia benar-benar marah hingga menangis. Sementara itu, sopir keluarga Hutama hanya mampu melihatnya diam-diam, tanpa berani bertanya apa pun. []

~ bersambung

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang