SEBELAS: Buket Bunga di Pangkuan

4.5K 283 3
                                    


'Dear, Amalia. Dunia baruku akhirnya benar-benar bergerak. Mulai hari ini ...'

POV CENTANA

Jarum detik terus berputar. Saya duduk di ranjang. Merenung. Mereka telah pergi. Orang-orang yang berisik itu telah pergi. Saya seorang diri sekarang. Menekuni waktu. Menekuni segala hal yang terus berjalan dan saya tidak akan pernah mampu untuk menghalau apa pun.

Saya teringat mereka. Ibu. Bapak. Dia. Saya memikirkan dirinya. Memikirkan diri saya di masa lampau. Saya teringat pada pelaminan kayu dan bunga-bunga plastik yang tidak memiliki aroma apa pun selain sisa-sisa debu yang menempel. Saya teringat mata orang-orang yang menelanjangi saya dari balik malam dan suara-suara lagu lawas. Berdiri. Melongok. Berbisik-bisik. Makan. Berbincang. Berdiri. Menyalami saya. Menyalami dia. Pulang dengan kotak berisi donat. Hanya satu donat.

Di hari ketika saya menikah dengan dirinya, saya mengenakan kebaya putih. Ibu menjahitnya dengan benang-benang cinta dan harapan. Lalu, saya yang memintal manik-manik dan bunga-bunga itu bertebaran di sana. Putih. Merah muda yang berkilau. Benang yang keemasan. Di waktu yang telah lampau itu, saya merasakan kebahagiaan. Benar-benar menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Dia bernyanyi untuk saya. I Love The Way You Love Me. Lalu orang-orang bertepuk tangan. Memujanya dengan elu-elu. Dia menghampiri saya dan memeluk. Pelukan itu lumer di dada saya. Seperti secangkir cokelat hangat. Dia berbisik, "Aku cinta kamu, Tanna."  Dan saya bersemu-semu.

Tapi hari ini, tidak ada semu kemerahan itu. Hari ini, ketika gaun pengantin mahal menyelubungi tubuh saya dan tiara cantik yang gemerlap di atas kepala dan tudung putih yang menjuntai dan orang-orang berkelas yang tengah menunggu saya di luar sana, sedikit pun ..., sedikit pun saya tidak merasakan kebahagiaan semacam itu.

Hari ini saya merasa asing. Saya memang orang asing. Saya tidak terlahir untuk dunia ini, tapi bagaimanapun, setelah ini, takdir saya akan kembali bergerak. Dunia baru. Takdir yang baru.

Sebelum hari ini tiba, lima hari lalu saya telah mempelajari segalanya. Berdansa. Berdandan. Memotong rambut saya. Makan dengan anggun. Minum dengan anggun. Jalan dengan anggun. Mengangguk dengan anggun. Berkata-kata dengan anggun. Semuanya.

Di dalam kamarnya, Nyonya Linggar mengajarkan banyak hal. Suatu malam, dia juga menujukkan silsilah keluarga Hutama dan foto-foto itu pada saya. Dia mengatakan, kakek buyut Arjuna Saputra Hutama adalah seorang keturunan Belanda-Jawa yang tinggal di Banyuwangi. Beliau memiliki perkebunan durian yang sangat luas. Sangat-sangat luasdemikian Nyonya Linggar menyebutnya ketika berkisah pada sayahingga tidak akan mampu dihabiskan selama tujuh turunan. Kakek buyut itu menikah dengan seorang wanita pribumi, dan melahirkan tiga putri. Tiga putri yang sangat cantik dan berhidung panjang. Putri tertuanya, Hermin Sutrisno, menikah dengan seorang lelaki Tionghoa, Ricard Manggala Hutama. Mereka kemudian memutuskan untuk bermigrasi ke Surabaya, dan memulai bisnis di bidang properti. Bisnis itu semakin berkembang dan besar. Menjadi sebuah kerajaan baru yang kuat. Mereka mendirikan perumahan-perumahan, gedung perkantoran, resort, dan juga hotel di seluruh wilayah Indonesia. Lalu, lahirlah Adam Bumi Saputra Hutama. Satu-satunya pewaris Hutama Group yang kemudian dinikahkan dengan Linggar Erwina Hutama, seorang wanita Jawa Tengah, pewaris salah satu perusahaan asuransi terbesar di Indonesia. Di tangan kedua pasangan itu, kerajaan Hutama semakin melambung.

Lalu Kentaro ... Haahh ... Kentaro ... Lelaki itu ... Setiap kali berpikir tentangnya, saya kehilangan kewarasan.

Nyonya Linggar bilang, Kentaro Hutama adalah anak angkat mereka. Ayah Ken bekerja sebagai asisten Tuan Adam. Dia seorang pekerja yang ulet. Dan berdarah dingin. Nyonya Linggar juga bilang, ayah Ken adalah lelaki yang tidak pernah tersenyum. Mirip sekali dengan Ken. Dingin dan membekukan. Tapi dua puluh satu tahun yang lalu, dia bunuh diri bersama istrinya. Ketika saya bertanya perihal penyebab dan alasan kematiannya, Nyonya Linggar tidak mengatakan apa-apa. Itu membuat saya penasaran, sekaligus mulai memilin rasa iba. Dan lebih penasaran lagi ketika Nyonya Linggar menceritakan lelaki seperti apa Kentaro itu.

"Ken itu laki-laki yang baik. Dan jujur. Dia sempurna. Saat suamiku menjadikannya sebagai salah satu pemegang saham utama di perusahaan, Ken menolak dengan sopan."

"Menolak?"

"Iya. Dia bilang, dia tidak pantas menerima itu semua. Itu adalah milik Juna, bukan dirinya. Dia tidak ingin merebut apa pun dari Juna."

"Dan dia akhirnya memilih menjadi asisten Tuan Adam, seperti sekarang?”

"Iya. Kau benar, Sayang. Dia bilang, dia hanya akan mengambil posisi yang memang telah menjadi haknya. Ahh, dia begitu baik, bukan? Dia sempurna. Seandainya saja ..."

Setelah itu, Nyonya Linggar tidak melanjutkan kata-katanya. Ia membisu dan memandang kosong pada dinding kamarnya. Saya masih ingin bertanya banyak hal tentang lelaki itu padanya. Tentang, jika benar Kentaro telah menjadi anak mereka, kenapa dia harus tinggal di apartemen? Mengapa tidak di dalam rumah itu? Bukankah rumah itu sangat besar? Bukankah, jika benar Kentaro sangat menghormati Tuan Adam dan Nyonya Linggar, tidak seharusnya dia meninggalkan mereka dan tinggal seorang diri?

Seorang diri ...

Jangan-jangan ...

Ah, apa yang sedang saya pikirkan. Dia lelaki yang sempurna. Lelaki mapan dengan wajah yang sangat menarik. Sudah tentu banyak wanita yang ingin menjadi kekasihnya. Dan sebagai seorang lelaki yang mempunyai apartemen dan hidup seorang diri, tidak mungkin dia tidak memilihnya satu untuk menemaninya di sana.

...

Apa yang sedang saya pikirkan ...?

Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan. Saya mengangkat wajah, menatap pintu yang perlahan-lahan membuka itu. Sepasang kaki panjang bercelana hitam dan sepatu fantovel cokelat gelap melangkah masuk. Saya mengeratkan genggaman tangan pada buket bunga di atas pangkuan.

"Saya diperintahkan untuk menjemput Nyonya. Silakan ...," ujarnya sambil sedikit membungkuk dan membuka pintu kamar lebar-lebar. Saya menatapnya. Di luar sana, dua gadis pendamping yang mengenakan gaun pink telah berdiri dan mengembangkan senyum. Di atas kepala mereka, bunga-bunga putih tersusun melingkar di ujung kepala. Rambut mereka terurai dan bergelombang. Seperti laut dan ombak-ombak yang sibuk menggelitiki kaki seorang pemberontak kecil di bibir pantai.

Saya menekuni mereka.

"Nyonya ..."

Mengedip. Menarik napas. Sekali lagi, saya eratkan genggaman pada buket bunga di pangkuan. Semakin erat. Dan erat.

Mereka telah menanti saya ... []

~ bersambung

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang