SEMBILAN BELAS: Dulu, Aku Juga Sering Mimpi Buruk dan Menangis

7.1K 382 25
                                    

Maret 2017

“Aku butuh uang,” ujar lelaki bertubuh sedikit gemuk itu sambil terus sibuk menyiapkan diri berbenah untuk berangkat kerja. Ia telah mengenakan seragamnya, kali ini mengenakan yang berwarna oranye, dipadu dengan celana kain berwarna hitam. Disisirnya rambut yang baru saja diberi gel oleh istrinya, Centana. Wanita itu baru keluar dari kamar mandi untuk menghilangkan rasa lengket di telapak tangan.

“Uang? Berapa?” tanya Centana.

“Enam ratus ribu.”

“Untuk?” Centana mengernyit. Uang sebanyak itu di waktu yang tiba-tiba sungguh sesuatu yang di luar dugaan.

“Ya butuh saja, nanti gajian akan kukembalikan.”

Lagi-lagi sebuah alasan. Entah ini sudah yang keberapa kali suaminya, Bisma, mengatakan hal semacam itu, tapi pada akhirnya, uang-uang itu tidak pernah kembali. Walaupun kembali, tidak pernah utuh atau lebih lama dari yang telah dijanjikan. Akan selalu ada alasan yang berbuntut alasan lain.

“Tapi ini uang jatah masuk sekolah anak kita.”

“Kubalikin,” Bisma berkata sambil mencukur jenggot dan kumisnya, tanpa menoleh sedikit pun. Ia becermin pada spion motor yang terparkir berjajar di sudut rumah yang seharusnya berfungsi sebagai ruang tamu. Dalam rumah mereka, memang tidak ada cermin, tidak ada sofa dan meja tamu. Hanya sebuah lemari buku berukuran sedang dan lemari televisi pendek yang baru dibeli beberapa bulan lalu, yang bersandar anggun di sudut timur. Ruang tamu rumah betipe 36 itu hampir kosong seluruhnya.

Centana berpikir untuk yang kedua kalinya. Haruskah ia memberikan jatah uang sekolah itu, atau tidak. Ia masih ingat betul bagaimana suaminya itu menghabiskan uang pesangon yang diterima Centana ketika resign dari perusahaan yang telah mempekerjakannya selama hampir dua belas tahun. Suaminya bilang, uang itu dipinjam untuk usaha tiket pesawat online, tetapi beberapa bulan kemudian, uang yang tidak sedikit itu—bagi Centana yang kini sudah berperan sebagai seorang ibu rumah tangga—lenyap begitu saja. Dan Bisma hanya memberinya alasan-alasan yang tidak mampu lelaki itu buktikan secara nyata, membuat Centana mulai berhati-hati dalam mempercayai uang pribadinya digunakan oleh sang suami.

Ia bukan wanita yang pelit. Selama pernikahan berjalan, penghasilan keduanya selalu dibagi rata untuk kebutuhan rumah tangga. Bahkan ketika Bisma di-PHK dari perusahaan karena kasus dugaan pelecehan seksual, Centana-lah yang menjadi penopang. Ia bahkan dikejar-kejar oleh debt collector karena tidak mampu membayar kartu kredit, dan menjadi pergunjingan rekan-rekan sekantornya. Tapi Centana tidak peduli itu, selama keluarganya bisa makan, ia berusaha bersikap baik-baik saja walau sering menangis diam-diam. Ia juga terus memberikan Bisma dukungan agar semangat lelaki itu kembali dan mampu menghapus rasa malu dan trauma atas kejadian tersebut. Hingga pada akhirnya, Bisma pun mendapatkan sebuah pekerjaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, setelah berbulan-bulan menganggur. Sebuah lingkungan kerja dan pergaulan yang membuat lelaki itu mulai berubah, sedikit demi sedikit.

“Kamu ya jangan bodoh. Sudah tahu Bisma begitu, kenapa kau berikan semua? Lain kali, kalau kau punya tabungan, jangan bilang sama Bisma. Simpan. Itu untuk anak-anakmu. Suatu saat nanti, kau akan membutuhkannya. Misal kalau anakmu tiba-tiba sakit dan Bisma nggak beri kamu uang, bagaimana?” ujar kakak iparnya—kakak Bisma—ketika ia mengutarakan kegelisahan hatinya. Sebagai seorang istri, Centana memiliki kecurigaan terhadap lenyapnya uang itu. Berkali-kali perasaannya tidak enak setiap Bisma izin keluar kota. Lalu kecurigaannya terbukti. Tuhan menunjukkan segalanya. Bertubi-tubi bukti datang dengan sednirinya, selayaknya sebuah keajaiban atas doa batinnya selama ini.

Perempuan lain.

Dan itu tidak hanya sekali-dua kali, membuat rumah tangganya mulai goyah dan dingin secara perlahan-lahan.

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang