Pukul tujuh empat puluh menit, mobil lelaki itu menebas malam, menghamburkan debu pasir dan kerikil jalanan tol Surabaya, menuju ke arah Pandaan. Awan abu-abu menggantung di langit, bau tanah lumpur yang menyengat mulai mengambang di udara, membuat sebagian pengguna jalan yang menciumnya merasakan pusing ringan beberapa saat.Sekali lagi ia mengambil ponsel dari dalam saku kamejanya, memperhatikan notifikasi sebuah pesan yang semenjak tadi berdenting dua kali.
[Aku sudah di lokasi.]
[Tiga puluh menit lagi, atau aku tidak akan memberikan pesananmu!]
Lelaki itu mendesis jengkel, lalu melemparkan ponselnya dengan kasar ke kursi samping. Dengan lesat, ia kembali mengemudikan mobilnya, secepat yang ia bisa.
***
Wanita berambut lurus sebahu itu mengulas senyum ketika membuka pintu kamar hotel dan melihat Kentaro sudah berdiri di sana. Wajah lelaki itu tetap saja dingin mematikan, seperti biasa, tetapi ia tidak peduli akan hal itu. Selama lelaki dua puluh delapan tahun itu masih membutuhkannya dan mau menemuinya diam-diam, ia bisa menerima setiap tatapan dingin semacam itu.
Kentaro melangkahkan kaki memasuki kamar hotel berfasilitas deluxe itu. Ia mengamati sekeliling, mendengus sambil menarik bibirnya sejenak, lalu menjatuhkan tubuh ke sebuah sofa, duduk menyilangkan kedua kaki.
“Tepat waktu,” ujar wanita berkulit putih dan berdarah Tionghoa itu, sambil berjalan mendekat ke arah Kentaro.
“Jangan basa-basi, langsung ke intinya saja. Aku ingin cepat pulang,” ujar Kentaro dengan datar.
“Tetap saja sedingin es.”
Kentaro tidak mempedulikan ucapan wanita itu. Ia bahkan tidak melihat ke arahnya.
“Kau itu sedang meminta bantuanku, setidaknya, buat aku senang dulu,” wanita itu berujar sambil merengkuh bahu Kentaro, dan duduk di atas pangkuannya. Ia memutar dagu Kentaro dengan lembut. Mereka saling menatap, tapi tidak ada reaksi apa pun dari sorot mata Kentaro. Tapi wanita itu tidak mau menyerah. Ia meletakkan telapak tangannya ke pipi Kentaro, lalu mendekatkan bibir merahnya ke bibir lelaki itu. Tapi belum sampai kedua bibir itu bersentuhan, Kentaro memalingkan muka.
Wanita itu berhenti. Ada tekanan menyedihkan yang menusuk dadanya.
“Mana bukti-bukti itu?” tanya Kentaro. Ia mengangkat lengan wanita itu dan menghempaskannya dengan kasar.
“Kau itu sangat tidak keren, Ken.”
“Cih!”
Wanita itu akhirnya berdiri dan berjalan menuju sofa yang lain. Sebuah tas merah menyala tergeletak di sana. Ia mengambil tas itu, membukanya dan mengambil sesuatu dari sana.
Sebuah USB berwarna hitam.
Ia mengangkat tangan sedikit ke atas, tepat ke arah Kentaro. “Ini yang kau cari. Kematian kedua orang tuamu akan terkuak dengan ini,” ujarnya sambil menyungging senyum.
Kentaro berdiri dan mendekatinya, mencoba meraih benda kecil itu, tetapi dengan cekatan wanita itu mengangkatnya lebih tinggi lagi.
“Kau masih ingat janjimu padaku, kan?”
Kentaro menyipitkan mata. Ia melesakkan satu tangan ke saku celana.
“Jangan khawatir.”
“Aku tahu aku bisa percaya sama kamu.” Setelah berkata demikian, tanpa ragu-ragu kembali, wanita itu memberikan USB-nya kepada Kentaro.
Benda kecil itu terdiam di telapak tangannya. Kentaro bergeming, menatapnya dengan perasaan carut marut. Tubuh itu bergetar. Ia sudah menanti-nanti ini, belasan tahun yang lalu. Sekarang, keinginan itu sudah hampir dekat. Sangat dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
RomansaCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...