Juna tidak pernah merasa kesepian seperti saat ini di dalam kantornya. Berkali-kali ia menghempaskan punggung ke sandaran kursi, sesekali melempar bolpoin dengan serampangan, atau memainkan jari-jemari di tepi meja tanpa maksud apa-apa, dan berkali-kali mengembus napas bosan. Ini adalah hari keempat Centana tidak berbicara padanya, tidak tidur di kamarnya, tidak berjumpa di saat sarapan ataupun makan malam, dan tidak di mana pun. Bahkan di tempat kerja. Wanita itu, entah bagaimana caranya, selalu menghindarinya. Setiap kali Juna membutuhkan sesuatu, Nyonya Liem yang selalu menyiapkannya.
Juna benar-benar merasa gila. Dan marah. Kesepian yang tidak mampu dipahaminya itu terus menggerogoti pikirannya.
“Nyonya Liem!” seru lelaki itu pada akhirnya. Ia berdiri dengan kasar, mendorong kursi hitam itu hingga mundur jauh. “Nyonya Lieemmm!”
Wanita bertubuh tambun dan pendek yang sehari lagi sudah mulai cuti melahirkan itu tergopoh-gopoh membuka pintu kantor Juna, dan seketika menemui atasannya itu dengan wajah yang lebih beringas dari biasanya. Keringat dingin mulai merembes di telapak tangannya yang pucat, dan dengan terbata-bata, ia berkata, “I-i-ya, Tuan?”
“Di mana wanita itu?” tanya Juna dengan melotot. Ditatap demikian, Nyonya Liem menelan ludah.
“Wa-ni-ta ...?”
“Centana. Mana dia?” bentak Juna yang sudah berdiri tepat di hadapan Nyonya Liem.
“Di-dia ....”
“Dia ...?”
Nyonya Liem menenglengkan kepala ke kiri. Ia ingat pesan Centana padanya: Jangan beri tahu Tuan Juna di mana aku! Nyonya Liem terkikik geli melihat ekspresi Centana saat mengatakan itu. Sebuah pertengkaran rumah tangga. Perang dingin. Nyonya Liem tersipu dan haru, mengingatkan dirinya akan percik-percik kecil yang juga dialami saat awal pernikahan dulu. Di dalam hati, Nyonya Liem berbisik pada dirinya sendiri, “Berbahagialah kalian, Tuan, Nyonya. Sebentar lagi kalian akan semakin lengket dan romantis dan akan muncul bayi-bayi lucu,” dengan pipi yang semakin merona.
“Nyonya Lieeemmm ....”
“I-iya, Tuan.” Nyonya Liem tergeragap ketika tersadar dari pikirannya sendiri. Ia kembali menelan ludah. Wajah Juna semakin menakutkan. Maaf, Nyonya Centana, batinnya mengiba. Ia sudah terlalu mengkerut saat ini, seperti sebutir jeruk mandarin yang disimpan terlalu lama di dalam lemari es. Dengan terpaksa, ia pun mengatakan di mana istri atasannya itu berada.
***
Dalam kekosongan, Centana menekuni dinding bercat putih yang ada di hadapannya dan membiarkan mesin fotokopi menyala. Kertas demi kertas menghambur keluar, beberapa melayang jatuh ke lantai dan wanita itu tidak memedulikannya. Matanya terus terpaut, seolah-olah menantikan sesuatu akan muncul dari balik dinding. Sementara itu, di dalam kepalanya, kata-kata yang diucapkan Kentaro terus bergentayangan.
Ketika sampai di ruang staf pemasaran dan melihat sosok konyol istrinya, Juna memicingkan mata. Menyungging senyum, merasa menemukan sesuatu yang sangat dirindukannya. Ia kemudian berjalan mendekati wanita itu sambil melesakkan kedua tangan ke saku celana, mengabaikan anggukan dan sapaan bawahannya yang lain. Centana bahkan tak menyadari kehadiran seseorang yang sudah berdiri tepat di belakangnya.
Juna mendekatkan kepalanya ke telinga kiri wanita itu, kemudian berbisik sedikit keras, “Apa yang kau lakukan di sini, istriku, Sayang?”
Seketika Centana terperanjat dan memekik. Keseimbangannya kacau, dan jatuh tepat di lengan Juna yang cepat menahan tubuhnya. Mereka saling menatap, cukup lama dan hening. Seluruh staf tersenyum geli dan berpura-pura tidak melihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
RomanceCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...