TIGA PULUH DUA: Melarikan Diri

2.5K 186 20
                                    

— POV Juna

Aku berjalan keluar dari ruang rapat setelah memohon diri, menggandeng tangan Centana yang terasa dingin dan berkeringat. Dalam sekilas pandang, aku melihat Kentaro menegang, sepertinya lelaki itu tengah menekan-nekan rahang. Dia pasti sangat marah.

Sejak ekspresi terkejutnya di lobby kantor, tatapanku nggak pernah lepas dari Centana. Rasa khawatir yang bercampur keingintahuan yang teramat besar akan reaksinya itu mencuat, dia begitu nampak gelisah dan gugup. Ketika mengantarkan minuman dan kudapan di ruang rapat, tangan Centana gemetaran. Dan lebih bergetar lagi saat meletakkan minuman di depan lelaki bernama Bisma Raditya itu—karena rasa penasaran aku sempat bertanya tentangnya pada sang CEO, dan ternyata dia hanyalah seorang staff pemasaran yang terpilih untuk mendampingi sang manager untuk proyek. Aku bahkan ikut gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi dengan meeting pagi ini. Kentaro yang wajahnya semakin nampak menyebalkan itu berkali-kali melirikku, tanpa kata-kata. Dan itu menyeramkan. Tubuhku merinding. Itulah kenapa aku nggak suka sesuatu yang formal, seperti rapat untuk sebuah proyek besar saat ini misalnya, membuatku gila.

Setelah selesai meletakkan kudapan dan minuman bagian Bisma, Centana hendak berlalu, tapi mungkin karena kegugupannya, dia hampir terjungkal, dan lelaki itu cepat meraih pinggang Centana. Mereka nampak seperti sedang beradegan film romantis, saling pandang dan begitu dekat.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Bisma kemudian dan kami semua memperhatikannya.

Centana terlihat sekali kalau sedang nggak nyaman, dia cepat menarik diri dan itu jelas sangat kasar. Dengan merunduk-runduk wanita itu meminta maaf pada semua yang ada di dalam ruangan. Wajahnya memerah, dan aku nggak bisa menatap itu lebih lama lagi.

Aku berdiri, lalu menghampiri wanita itu, memeluk pinggangnya dan merapatkan ke tubuhku. Kentaro menatap dingin dengan mata menyipit, tapi aku nggak peduli, aku ikut merunduk dan mengucapkan permohonan maaf.

“Maaf, istri saya sedang tidak sehat hari ini. Saya akan mengantarnya pulang dan rapat ini akan dilanjutkan kakak saya.”

“Oh, dia istrimu? Aku kira dia hanya seorang ... sekretaris saja.”

Aku tertawa kecil menanggapi perkataan CEO itu sambil mengibaskan telapak tangan. “Haha, ya, itu ... sekretaris saya sedang cuti melahirkan dan sementara istri saya menggantikan posisinya. Dia ini sangat mencintai saya sampai-sampai tidak rela berpisah. Kami pengantin baru, maklumlah.”

Dan cubitan kecil tiba-tiba mendarat di paha bagian belakang, aku meringis kesakitan, tapi tetap berusaha tersenyum. Kulirik Centana, wanita itu diam-diam melirik tajam.

“Sekali lagi saya mohon maaf. Kami permisi dulu,” ucapku kemudian, sambil berlalu menggandeng tangan wanita itu keluar ruangan, meninggalkan hawa buruk yang membuat nggak nyaman. 

“Apa maksudmu mengatakan aku sangat mencintaimu, hah?” Centana protes dengan ketus, sambil menarik kasar tangannya setelah kami berada di dalam kantorku. Dia bersidekap kini, menanti jawaban dari bibirku.

Dengan tenang aku merengkuh bahunya dan menggiring perlahan tubuhnya mendekati sofa. “Duduklah,” kataku sambil menekan bahu wanita itu. Dia pun menurut, tapi masih menatap sinis.

“Kau lebih suka mana, berada di ruangan itu dengan terus merasa gelisah dan takut atau di sini bersama suamimu?”

Wanita itu terdiam. Mungkin berpikir sesuatu. Lalu perlahan, ketegangannya melunak. Kedua tangannya kini diturunkan ke pangkuan. Samar, kudengar helaan napas. Berat, sekaligus pasrah.

“Siapa dia?”

“Hah? Ap-apa?”

“Dia ... Lelaki itu ... Kenapa kau begitu pucat melihatnya.”

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang