BAB DUA PULUH DELAPAN: Karena Mataku Bisa Melihatnya

3.5K 226 3
                                    

‘Bagaimanakah kebenaran dari jatuh cinta itu?’

Kantor menjadi senyap. Dan canggung. Centana memandangi Juna yang kini menyandarkan diri di meja kerja dengan kedua tangan yang bersedekap—bersikap seolah-olah tidak butuh belas kasihan dan nampak angkuh. Sesekali lelaki itu meringis kesakitan, tapi tetap tidak ingin lagi menatap mata Centana yang entah mengapa menimbulkan pedih di hatinya.

“Berhentilah memandangku seperti itu,” ujar Juna kemudian, tapi Centana tetap bergeming. Tetap menelanjanginya tanpa ampun dengan tatapan yang penuh rasa khawatir.

Merasa mulai tidak nyaman dengan tingkah istrinya itu, Juna hendak beranjak, tetapi dengan sigap, Centana menahan kedua bahunya dan mendorongnya kembali bersandar di meja. “Duduklah,” ujar wanita itu dengan lembut, sementara tangannya dilesakkan ke kantong celana pipanya dan mengeluarkan kantong tisu basah berukuran kecil.

“Apa yang akan kau lakukan?” serga Juna dengan ketus. “Aku tidak butuh per—”

“Duduk, Juna.”

Lelaki itu membungkam. Rona tegas namun lembut terpatri di wajah istrinya. Ia melihat itu. Setelah menghela napas, ia akhirnya menurut.

“Kalau kau tidak segera membersihkan luka ini, bisa infeksi nanti,” ujar Centana. Ia menekan-nekankan tisu di bibir suaminya yang robek, mencoba membersihkan darah yang sudah menggumpal di sana.

Keheningan kembali terpatri. Juna menatap mata wanita itu. Sesuatu menjalar di hatinya. Sesuatu yang ....

“Apa kau mendengar semuanya?”

Centana mengangguk, “Tapi tidak banyak.”

“Kau marah?”

“Untuk bagian yang mana?”

Juna diam. Ia sesekali menahan nyeri ketika tisu itu menempel di lukanya.

“Apa itu benar?” desah Centana.

“Yang mana?”

Wanita itu menghentikan gerakan tangannya. Ia mendongak, memandang mata suaminya. “Apa benar kau yang membunuh wanita itu?”

Getaran halus mengalir ke mata Juna. “Ken yang bilang begitu?” tanyanya. Centana mengangguk.

“Menurutmu?”

Wanita itu terdiam sejenak. Tak lama kemudian, ia kembali menggerakkan tangannya, membersihkan sisa-sisa terakhir.

“Cukup,” Juna menahan tangan Centana, menggenggamnya dengan lembut. “Aku sudah tidak apa-apa.”

Debaran halus menggema di dada wanita itu. Dengan cepat ia menarik tangannya dan mundur selangkah.

“Aku tidak butuh kau mau percaya padaku atau justru lebih percaya sama Ken. Bagiku itu nggak penting sama sekali.”

“Kamu salah. Bagiku, sebuah kepercayaan itu sangat penting, Jun.”

Dahi lelaki itu mengerut.

“Dan aku lebih percaya kalau bukan kamu yang melakukannya.”

“Kenapa?”

“Karena mataku bisa melihatnya ....”

Dada Juna berdentum keras seketika. Berdebar-debar. Trenyuh. Diulurkan tangannya, menyentuh jari-jemari wanita yang berdiri di hadapannya itu. Dengan lembut, ia menarik tangan itu mendekat, merengkuh tubuhnya dan mendekap dalam-dalam. Tidak ada kata-kata. Tidak ada apa pun. Degup beradu degup. Senyap. Dan syahdu ....

Sementara itu, mata Juna memejam. Ia menghirup aroma tubuh Centana, menyimpannya di suatu tempat tersendiri, di dalam hatinya.

***

FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang