Dear, Amalia. Mungkin, luka dan ketakutan yang telah kamu tanamkan di dada saya,
sebentar lagi, akan semakin dalam dan menghitam ...POV CENTANA
Kentaro menjemput kami pada pukul empat sore. Ia datang bersama seorang sopir yang bertugas membawa barang-barang kami. Tidak banyak yang kami bawa, karena memang dalam 'pelarian' tiga minggu lalu, saya dan anak-anak hanya membawa baju dan beberapa surat penting saja.
Saya keluar kamar kosan dan disambut keriuhan. Ketampanan Kentaro menjadi pusat perhatian di tempat yang tentu saja jauh lebih kumuh jika dibandingkan dengan rumah besar itu, yang saya tinggalkan siang tadi. Saya merasa malu melihat tatapan orang-orang yang telah menjadi tetangga saya selama hampir sebulan ini. Mereka banyak bertanya, menghentikan langkah-langkah saya, mengerumuni seperti sekumpulan semut dan menampilkan raut wajah keingintahuan yang sangat besar.
Melihat saya kewalahan dengan itu, Kentaro mendekat dan berusaha membuat ibu-ibu penadah gosip itu merelakan saya melanjutkan langkah menuju mobil mewah yang telah bertengger di depan gang sempit di depan sana. Orang-orang juga bergerombol di depan mobil itu, mencoba berfoto dan sesekali menyentuh bodinya yang licin dan saya semakin malu.
Di antara kerumunan, saya melihat sosok wanita yang selama ini telah banyak membantu saya. Budhe Sri. Ia nampak terisak, tetapi sepertinya sekuat tenaga menyembunyikan itu dari saya. Ketika pulang dari rumah Tuan Adam tadi, Budhe Sri menyambut saya dengan wajah khawatir di depan pintu kamar kos. "Dari mana saja, Nak? Kamu nggak pa-pa, kan?" tanyanya sambil mengamati sekujur tubuh saya, dari ujung rambut hingga kaki. Saya melirik Gishel dan Kejora yang tengah tidur siang, lalu kembali menatap wanita empat puluh lima tahun itu.
"Budhe ...," ucap saya sambil merengkuh lengan wanita yang sudah saya anggap sebagai ibu sendiri itu, "sebentar lagi, aku akan pergi dari sini."
"Loh, kenapa, Nak?" Wajah Budhe Sri semakin nampak kebingungan dan khawatir. "Apa kamu sudah dapat kerja?" tanyanya lagi.
Saya menggeleng.
"Atau ... mau pulang kampung dan--"
"Aku sudah tidak mungkin pulang lagi, Budhe. Tidak mungkin ..."
"Lalu, Nak? Mau ke mana kamu?"
"Aku ..." Sesak itu muncul kembali di dada saya. Saya ingin menceritakan segalanya, mengatakan kalau saya telah menikah lagi, walaupun saya tidak menginginkannya. Tetapi ketika hendak mengeluarkan sebuah kata pernikahan dari mulut, membuat saya merasakan kembali kepedihan-kepedihan masa lalu yang tengah ingin saya lupakan. Tanpa sadar, saya menjatuhkan diri saya ke dalam pelukan Budhe Sri.
Saya menangis. Saya menumpahkan semuanya di bahu wanita itu ...
"Bunda, kita mau ke mana?" tanya Gishel membuyarkan pikiran saya. Kami sudah berada di dalam mobil yang melambat dan berusaha keluar menuju jalan raya. Anak sulung saya itu merapatkan tubuh dan sesekali memandang dua lelaki di depan mobil itu dengan tatapan takut.
Saya merengkuh tubuh mungil Gishel dan berujar lembut, "Kita dapat rumah baru, Sayang. Kita akan tinggal di sana."
Gishel terdiam. Mungkin sedang memikirkan kata-kata saya. Rumah ... Kata itu selalu saja jadi sebuah pertanyaan bagi Gishel. Ia ingin pulang, saya tahu itu. Ia ingin bermain kembali bersama kawan-kawannya di sana. Elang, Cicit, dan Kak Rachel. Ia merindui sepeda pink-nya yang masih baru. Saya tahu itu ...
"Apa Om itu temannya Bunda?" tanya Gishel lagi.
Saya menatap punggung Kentaro yang tengah duduk di samping sopir. Bau khas lelaki itu masih melekat di hidung saya, ketika kami berjalan keluar dari gang sempit tadi. Sejak kami bertemu, belum satu kali pun saya mengajaknya bicara. Ia memang mengucapkan beberapa kata seperti, "Selamat sore, Nyonya Centana. Saya diperintahkan untuk menjemput Anda dan anak-anak." Lalu, "Apa sudah tidak ada lagi yang perlu dibawa?" Dan pertanyaan, "Apa Anda sudah siap, Nyonya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITH: My Second Marriage (Buku Ready)
RomanceCentana, perempuan 30th yg memiliki trauma pada pernikahan, tiba-tiba harus dihadapkan dengan sebuah insiden mengejutkan. Ia terbangun dan mendapati dirinya telah menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda. Juna, lelaki 26 th, seorang player...