PART 40 : Terus?

96 8 2
                                    

Assalamu'alaikum. Baca author notenya yaa. Happy reading!

"Assalamu'alaikum," sahut Arshalla ketika masuk ke dalam rumahnya dengan sedikit tergesa.

"Wa'alaikumsalam, eh-" Nina kaget ketika putrinya itu memeluknya tiba-tiba. Padahal ia sedang memasak saat ini. untung saja ia sudah cekatan dengan alat-alat dapur, sehingga tidak membahayakan dirinya ketika terkaget seperti saat ini. Tangan Nina bergerak untuk mematikan kompor. Setelah itu ia memboyong putrinya itu untuk duduk di kursi meja makan. Ia paham betul jika gerak-gerik putrinya ini menandakan bahwa ada yang ingin disampaikan olehnya.

"Kenapa, sih? Cerita dong," pinta Nina.

Arshalla menegakkan badannya lantas menatap bundanya. Dengan polosnya ia bercerita, "Bunda aku ditembak-"

"Masyaallah, ditembak siapa?" tanya Nina dengan nada yang kaget.

Arshalla terkejut dengan ekspresi bundanya itu. "Ditembak Radit," cicitnya pelan.

Dengan cepat tangan Nina bergerak memegang bahu putrinya, kemudian menatap Arshalla dari atas hingga ke bawah. "Tapi kamu nggak pa-pa kan?" tanya Nina dengan mimik muka yang dibuat sedemikian panik.

Arshalla mengernyitkan dahinya gagal paham. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Jelas ia tidak apa-apa sekarang, sehat wal 'afiat.

Nina masih meneruskan kegiatannya mengecek Arshalla. "Kalau sampai ada yang luka, Bunda mau laporin Radit ke polisi-"

Arshalla mulai paham, lantas terkekeh. "Ish Bunda, bukan ditembak pakai pistol." Arshalla menghela napasnya. "Tapi menyatakan perasaan gitu loh , Bun," lanjutnya.

Nina terkekeh mendengar tuturan putrinya. Sudah kelas dua belas dan sebentar lagi akan dinyatakan lulus dari SMA, namun ia masih bertingkah polos. "Iya, iya Bunda tahu." Nina tertawa setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Bunda kok ketawa? Aku lagi bingung nih," protes Arshalla.

"Ya abisnya kamu gemesin tahu nggak?" Nina mencubit pipi Arshalla. "Anak Bunda," katanya.

Arshalla meronta meminta bundanya untuk menghentikan aksinya ini. "Bun, udah Bun. Aku serius nih, lagi bingung."

Nina tertawa lalu menghentikan aksi mencubitnya. "Iya, iya. Apa sih yang bikin kamu bingung, hm?" tanya Nina mulai serius.

"Gini, Bun, kata Dia, hm. Dia bilang katanya hm." Fix, Arshalla sedang gugup. Ia bingung harus memulai ceritanya dari mana.

"Dia siapa, sih?" tanya Nina sambil tersenyum jahil.

Arshalla mengmbuskan napasnya kasar. "Radit Bun Radit," jawab Arshalla geregetan.

Tawa Nina kembali pecah ketika melihat tingkah putrinya ini. "Iya, lanjut ceritanya, nggak usah gugup gitu. Ini Bunda loh," tutur Nina meyakinkan Arshalla bahwa ia bebas bercerita apapun padanya. Bukankah memang biasanya juga begitu? Ibu adalah tempat anaknya bercerita, berkeluh-kesah, berbagi suka dan duka, bertukar pikiran ketika bingung. Ibu memang tempat curhat terbaik.

Arshalla tersenyum hangat menatap bundanya. Kemudian ia menarik napas dan mengebuskannya pelan. "Radit bilang, dia suka sama aku. Terus katanya aku mau nggak jadi pacarnya? Terus aku bingung, Bun, aku harus gimana?"

Arshalla belum menjawab pertanyaan Radit mengenai ketersediaan Arshalla untuk menjadi kekasihnya. Sungguh, Arshalla bingung harus menjawab apa. Ini pertama kalinya—selama hidup Arshalla—ada yang menyatakan perasaaan padanya—Ini tidak dihitung dengan latihan menyatakan perasaan Radit pada Veronica ya.

Ia terlalu menutup diri untuk hal yang seperti ini. Dan efeknya adalah sekarang, ketika ada yang menyatakan perasaan padanya, ia bingung harus bagaimana. Ia tidak ingin mengambil jalan yang salah.

Setelah Radit bertanya pada Arshalla sampai akhirnya Radit memberi Arshalla waktu untuk berpikir. Selama itu pula Arshalla diam, ia sedang berdebat dengan dirinya sendiri.

Radit yang kala itu melihat ekspresi Arshalla yang kebingungan hanya terkekeh dan akhirnya ia mengajak Arshalla untuk pulang, mengingat waktu sudah cukup siang. Arshalla menurut saja.

Nina tersenyum. "Kok malah tanya Bunda?"

Kedua bola mata Arshalla berotasi. "Bunda, aku bingung, Bun," tegas Arshalla.

"Apanya yang harus dibingungin Arshall? Tinggal jawab aja kau mau atau enggak, urusan selesai," jawab Nina dengan enteng diakhiri dengan kekehannya.

"Kalau menurut Bunda gimana?" tanya Arshalla.

Lagi-lagi Nina terkekeh, anaknya ini benar-benar polos. "Kalau menurut Bunda sih sederhana aja, ya tinggal kamu jawab aja mau atau enggak," jawabnya dengan kalimat yang sama.

"Ah Bunda. Tapi, ini nggak sesederhana yang Bunda bilang tadi. Tinggal jawab mau atau enggak. No Bun, nggak kayak gitu," tanggap Arshalla.

"Ya terus kalau menurut kamu gimana?"

"Gini Bun, aku enggak mau pacaran. Catat itu ya Bun, aku nggak mau pacaran-" Arshalla menggantungkan kalimatnya sambil menatap Bundanya lurus.

Nina mengangguk paham. "Terus?"

"Tapi aku-"

"Apa?"

"Aku juga suka sama Radit." Arshalla mengucapkannya dengan cepat.

Mata Nina melebar. "Apa, apa?" tanya Nina berniat menjahili putrinya.

"Ish Bundaaaa," sahut Arshalla dengan semburat merah di pipinya.

Hari ini Nina dibuat tertawa terus oleh tingkah Arshalla. Putri kecilnya ini sudah remaja, ia paham akan itu.

"Kalau masalah yang kayak gini, Bunda nggak mau terlalu ikut campur. Bunda Bunda titip aja satu, jaga diri kamu. Bunda tahu kamu, Bunda percaya sama keputusan kamu. Sekali lagi bunda titip, jaga diri kamu," tutur Nina dengan serius.

Ini yang Arshalla selalu suka dari Bundanya. Memberikan nasihat secara lembut yang selalu ia tanam nasihat-nasihat Bundanya itu di dalam dirinya.

Arshalla terdiam, kemudian mengangguk dan bergerak untuk memeluk Bunda kesayangannya itu. "Makasih Bunda," gumamnya.

Nina membalas pelukan Arshalla. "Iya sama-sama sayang."

***

Entah sudah keberapakalinya Arshalla berganti posisi tidur, dan rasa kantuk sama sekali belum menyapanya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 21.08. Sungguh menyebalkan, kenapa rasa kantuk tidak bisa diajak kompromi? Pikirnya.

Sejak tadi Arshalla terus memikirkan apa yang akan ia katakan pada Radit nanti. Dan ia sudah mempunyai jawabannya. Iya, Arshalla siap menjawab pertanyaan Radit. Ia juga sudah memikirkan mengenai risiko-risikonya. Dan Ia berharap jawabannya ini tidak akan berpengaruh buruk di kemudian hari. Jangan sampai!

Suara notifikasi pesan masuk membuyarkan pikiran Arshalla. Ia pun bangkit untuk mengeccek ponselnya itu. Ternyata ada satu pesan masuk dari... Radit?

Ngapain? Batin Arshalla bertanya.

Raditya Alenka : Besok pagi aku jemput ya, berangkat sekolahnya barengan. Jangan lupa!

Arshalla mengernyitkan dahinya. Untuk apa Radit menjemputnya?

-TBC-

26 Desember 2017

Hai, terima kasih sudah membaca cerita absurdku yang saat ini udah sampai part 40. Terus setia baca cerita ini yaa, hehe. Yaa walaupun ceritanya begini, tapi aku bakalan terus berusaha memperbaiki ceritaku dan memberikan yang terbaik untuk teman-teman semuaaa. Makanya, aku butuh banget kritik dan saran buat cerita ini. Buat aku juga boleh, hehe.

Oh iya, aku mau ajak teman-teman buat baca cerita dari author Sawinarti judulnya ADERIO. Jangan lupa vote and comment juga ya, hehe. Pokoknya baca deh.

Oke deh segitu dulu, akhir kata hope you like it, see you 😊


Senyumin Aja! [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang