1|| Malpira di kelas 3

2.2K 180 56
                                    

Di tahun 2014, aku adalah anak yang angkuh, jutek, pemarah dan sangat amat menyebalkan. Jika kalian pikir bahwa itu adalah hal yang buruk, aku tidak peduli. Terlebih aku memiliki kepribadian yang kuat dan sedikit budeg bagi banyak orang.

Yang jelas, saat itu aku hanya mau mendengar lagu Himawari no youna, soundtrack Film Doraemon The Movie : Stand by Me dengan Headsheat di telingaku. Dan menjadi sangat diam.

Di tahun itu—agar memudahkan mengingat—hal yang populer adalah parodi Hayati, The Last Naruto The Movie dan suatu Semester 5 di awal kelas 3. Hal itu juga bisa membuat kalian tahu bahwa aku adalah angkatan 1997 yang tahun lahirnya sama dengan diperkenalkannya Naruto ke Bumi ini bahkan jika ada yang protes.

Lalu akan tamat SMA di tahun 2015, berumur lebih kurang 17 tahun, bershio Kerbau dan memiliki keinginan untuk menyeruduk.

Sekarang.

“Gue nggak mau tahu, pokoknya, balikin remote gue!” ucapku berkacak pinggang pada Rendi.

Rendi hanya bisa memegang remote dengan muka mengemis karena dia ingin nonton bola di rumah orang dan tidak tahu diri.

Aku bisa melihat anak-anak cowok lain—beberapa anak 3 IPA 3 di sekolahku dan tinggal di dekat rumahku—mendukungnya dengan tertawa dan makan kacang di kursi. Lalu membiarkan Andri selonjoran mengira ini rumahnya sendiri. Kutendang kakinya!

“Pulang sana!” usirku ke semua orang.

Bang Bagas—Abangku—baru turun dari kamarnya saat itu. Dia hanya geleng kepala. Nanya kenapa sih ini? Dan juga meminta Dimas berhenti makan.

“Ini nih, si kutil,” kata Geri menunjukku dengan kakinya “...masa mau nonton Barbie, kayak ngerti aja,” cibirnya lagi.

Mataku mendelik dengan harga diri yang masih tinggi. Tak sudi rasanya direndahkan seperti penonton Barbie yang tidak profesional, kutendang pergelangan kakinya yang menyentuh lantai rumahku dengan santai.

Dia meringis.

Hal lain yang menarik perhatianku adalah Pertus yang berdiri di pintu rumah. Lagaknya seperti penyamput tamu kerajaan. Tidak terlihat mau ikut andil dalam sengketa Remote yang sakral ini. Beberapa waktu berlalu, aku tahu dia sedang menunggu Fero dan Duta. Yaitu, konspirasi membuat rumahku seperti tempat pengungsian.

Rese!

Dengan langkah cepat aku keluar dari rumah dan sempat menumbur Duta dengan sengaja. Aku tidak ingin mati pengap tanpa perlawanan atau gagal membuat orang cidera.

“Kemana, Mal?” tanya Pertus setengah berteriak.

Aku melihat ke belakang sebentar, hanya untuk memberikan tatapan sinis dan tetap berjalan cepat.

“KE RUMAH YULI!” intonasiku menaik. Seperti aku mengatakan itu agar bisa didengar orang satu dunia.

***

“Kenapa sih anak cowok suka gangguin lo?”

Dari pada ganggu, kata yang lebih tepat adalah merepotkan, menyebalkan, tidak tahu diri, sialan, kurang ajar, Rese!

“Mal-mal, kalem,” pinta Yuli saat menyadari diriku sudah hampir berevolusi menjadi monster yang ngancurin rumah.

Aku mendengus malas, berjalan cepat ke arah jendela kamar Yuli, menghindari bantal dan guling yang hampir robek. Rumah Yuli terletak di badan jalan, tidak masuk lorong seperti rumahku dan yang lain. Tapi, dari balkon kamarnya ini, aku bisa melihat halaman rumahku sedang dijarah oleh 7 siluman curut tidak tahu diri.

Yuli menangkap gelagat aneh itu dan ikut mengevaluasi fokus penglihatanku. Dia menghela napas pelan.

“Kenapa sih?”

Aku mengedikkan bahu, beralih pada layar komputer, bermain Solitaire dan masih sebel. Yuli sebenarnya tahu sedikit banyak, walaupun saat mau masuk SD dia harus pindah ke Kalimantan.

Tapi dia juga di TK Pertiwi bersamaku, Andri, Pertus, Dimas, Rendi, Fero, Geri dan Desi—yang karena nyokapnya guru—harus mau walau rumahnya di Jalan Ibrahim. Bahkan dia juga kenal Duta yang berada di sebelah rumahku. Dan selanjutnya, setidaknya, aku merasa di tahu.

“Gue heran deh, perasaan, dulu pas gue tinggalin lo dekat dengan mereka. Di sekolah juga bareng kayak boyband, sekarang malah musuhan,” protes Yuli merasa sebal diacuhkan.

“Udah ah, males bahasnya,” kubilang begitu sambil mengklik-klik Mouse. “Lagian, ini juga salah Bang Bagas liburan pake pulang, kan rumah gue jadi pengungsian.”

“Ya iya kalo cuman karena Bang Bagas,” ucap Yuli lalu mendarat di atas ranjang.

Sesaat dia melemparku dengan bantal, dia bersumpah kalo saja aku berisik, dia akan menguburku hidup-hidup. Aku tidak takut!

***

Ah... Emosional!

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang