22|| Aku yang tidak sepenting itu

500 87 40
                                    

Aku berlari saat melihat anak-anak mengumpul di warung Mang Didin. Kugendang meja warung menciptakan kehebohan.

“Apa sih, berisik!” sinis Geri terlihat fokus dengan ponselnya. Aku hanya tertawa girang berusaha kembali mengganggunya hingga dia harus mengeluh karena kalah dalam suatu aplikasi permainan.

“Sialan lo,” sambungnya dan tidak kupedulikan.

Aku duduk di sebelah Geri, tepatnya di depan Andri dan Rendi yang terlihat mengamati kedatanganku. Kami bertiga tatap-tatapan, jengah, kunaik-turunkan alis sambil menunjukkan gigi-gigiku. Berusaha terlihat menyenangkan.

Andri hanya menggeleng memutuskan kontak matanya padaku, sedang Rendi hanya terkekeh pelan. Tidak kutanyakan karena memang mereka adalah anak yang aneh. Kupandangi sekitar Pattimura yang sepi. Tidak ada satu pun wujud motor yang lewat.

Kusenggol Geri, mencari perhatian.

“Dimas, mana?”

“Hem...” Geri tak melihat ke arahku, keningnya masih mengkerut melihat ponsel “...jalan dengan ceweknya,” Aku menautkan alisku.

Mulut Geri memang rongsokan. Aku tak gampang mempercayainya. Kugoncang bahu Andri di depanku agar menoleh. Dia memutar lehernya sedikit, melirikku.

“Dimas, mana?” ulangku lagi. Rendi terkekeh pelan.

Andri mendesah malas, mengubah duduknya agar kami kembali saling berhadapan. Tangannya disimpan rapi di atas meja. Menatapku dengan alis bertaut dan serius. Beberapa saat hanya begitu. Aku jadi merasa bingung.

“Dulu, gue heran apa yang nggak lo tahu,” kontan Andri angkat bicara “...kemarin lo lupa kan ulang tahun Dimas?” todongnya langsung.

Aku terdiam. Dan bisa merasakan Rendi, Geri dan Andri melihatku, mencoba mencari kebenaran dari mimik wajahku yang tiba-tiba menyendu. Kusandarkan tubuhku di sandaran kursi dan menatap ke bawah.

Kutipiskan bibirku dan enggan menjawab.

“Berpura-pura tahu nggak buat gue tahu semuanya juga, kan?” retorisku yang entah mengarah ke mana.

Mereka bertiga masih diam. Dan aku merasa itu menjadi suasana yang canggung. Kupukul kepala Andri dengan koran bekas Mang Didin. Mengalihkan kondisi itu. Dia meringis.

“Lo pikir gue dukun?! Dasar setan!” ucapku lalu entah kenapa aku pergi meninggalkan mereka. Kudengar Geri mengutukku dengan semua bahasa ajaibnya. Tapi, tidak kutanggapi dan tetap berjalan.

Aku merasa pikiranku saat itu menjadi kacau. Dan sudahlah.

***

Selain brengsek, pemarah, kasar, dan nyebelin, Fero juga dewasa. Mungkin karena itu aku mampir ke Minimarket buat ketemu dia setelah aku dari warung Mang Didin itu.

“Gue benci lo!” telaknya saat dia keluar dan duduk melihat ke arahku dengan sinis.

Aku tidak terlalu perduli dengan kepribadiannya ini saat itu. Dan hanya tersenyum kecut sambil memainkan gooday yang masih ketutup. Menyuarakan kesamaanku pada dirinya yang luar biasa ini.

Dia berdecak sebal melihatku hanya kembali diam dan tidak fokus. Tak lama dia mengalah dengan memintaku agar bercerita saja. Dan itu membuatku senang.

“Dimas,” kusebutkan nama itu dengan perasaan yang kacau “Gue... ngerasa bersalah,” sambungku sambil memaksakan senyum ke arahnya.

Aku tahu bahwa perkara Dimas, semua orang paham. Hal yang terjadi pada Dimas adalah suatu hal yang membuat kami sangat mau melindunginya. Sendirian dan rapuh. Dimas tumbuh menjadi adik dari semua orang begitu saja.

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang