Duta duduk di atas motornya, di depan sekolahku dengan muka ditekuk sambil mainin kunci motor kayak koboy mau nangkap sapi. Ngeliatnya gitu, udah bisa buat aku ngebirit Sprint dari koridor sekolah. Kita harus sepakat nggak buat Duta marah.
"Ck... kenapa harus gue?" katanya beranjak berdiri trus berkacak pinggang saat aku sampai di dekatnya dengan rukuk-rukuk.
Takut-takut, aku pun berdiri ngeliat Duta "Gue nggak tahu selain lo, Duta."
"Andri? Rendi? Pertus? Siapa kek terserah!"
"Pertus lagi dihukum tuh di dekat mading, nggak tahu kenapa. Andri dan Rendi lagi ada tugas dari guru. Ta."
"Si Geri? Dimas? Lo tuh pada satu sekolah rame-rame tapi masih ngerepotin gue,"
"Dimas udah senewen aja pas aku ajak bolos. Banyak alasan ini-itu lah sampe takut ngecewain orang tua katanya. Kan gue ngerasa iblis!"
"Geri?" dia menatapku tajam saat menyebutkan nama iblis ini.
"Dia nggak mau. Lo tahu dia kan? Dihina-hina sampe nggak ada harga dirinya gue juga dia tetap nggak mau."
"Fe.."
"Lo jangan berani bilang Fero, tuh anak sibuknya udah kayak Presiden, Ta."
"Iish! Ya udah deh, buru!" katanya udah naik ke atas motor setelah masang kasar helm kelobokan ke kepalaku. Kupikir, ini adalah helm yang dia pinjam dari teman SMK-nya itu.
***
Duta seperti yang pernah kubilang adalah orang yang tinggal di sebelah rumahku juga sama seperti Andri. Kami nggak pernah satu sekolah karena dulu Duta adalah anak cengeng yang cuman berani berdiri di depan pintu rumahnya. Pure, cuman hubungan antar tetangga kurang akur.
Sebagai rumah di ujung jalan Pattimura, Duta adalah patok perbatasan dengan RT. 3. Seandainya Pak Mahmud bersedia memindahkan patok kekuasaannya ke sebelah rumahku, pastinya kami udah nggak ada hubungan lagi.
Duta bakal senang dan aku bakal salto walau nggak bisa.
Berbeda dengan anak cowok yang lain, Duta lebih dekat dengan Bang Bagas. Itu membuat dia bisa keluar masuk rumahku kayak ke warung Mang Didin. Kenyataannya, dari semua anak cowok, aku paling nggak dekat dengan Duta.
Walau sering marah dan ketus, Duta ini anaknya nggak bisa nolak kalo orang minta tolong. Kayak Lupus nggak sih? Tapi Lupus versi kebentur Monas!
Tapi serius, aku tahu ini dari SD. Buktinya, dia mau jemput aku ke sekolah sekarang, yang aku tebak di sekolahnya yang SMK itu lagi belajar.
"Lo nggak kena hukum entar nih?" tanyanya sambil bawa motor.
Aku geleng berusaha dengerin suaranya yang tumburan dengan angin.
"KELAS GUE NGGAK ADA GURU SAMPE JAM 9! RAPAAAT!!"
Aku sengaja teriak biar Duta nggak salah denger. Tapi dia langsung kesal gitu. Sampai nutup matanya satu, ngerasa bising.
"Jangan teriak, ish!" kesalnya.
"Oke-oke. Eh lo gimana, Ta? Nggak dihukum?"
"Gue?! Gue lagi ujian, Bego! Lo nggak tahu SMK sih,"
Pas dengarnya aku diam sebentar. Shock.
GILAAA! NIH ANAK UJIAN, COY!
UJIAAAAAN!
Jantungku berhenti berdetak. Dan akhirnya aku mati. Eh, nggak-nggak! Aku bohong. Tapi ini anak emang sinting atau gimana sih? Harus ku-cek!
"Pinggirin motornya," kubilang.
"Apaan sih, Mal?"
"PINGGIRIN SEKARANG!"
Dia minggir. Kami berhenti di warung kayu yang masih ditutup. Aku turun buat ngeliat mukanya si sinting ini. Dengan rambut berantakan dan baikin helm kebesaran.
Kupukul lengannya keras-keras biar sadar. Kugigit bibir bawahku menahan kesal yang memuncak seketika. Persis seperti emak-emak Medan kalo marah.
"Lo Sinting?" kutanya sinis "Lo bilang lagi Ujian dan lo ke sini? Nggak punya otak!"
Berbeda dengan yang lain, cara Duta jika aku marah adalah diam sambil natap jengah. Kayak nunggu aku selesai.
"Lo tuh mangkanya jangan kebiasaan ngerepotin," baliknya ketus "Udah, naik, buru!"
"Duta lo tuh UJIAN! U-JI-AN, Ta!!" kubilang nyaris teriak "Astagfirullah! UJIAAAN! Ngerti nggak sih?!"
Aku udah loncat-loncat ngomongin dia ini ujian loh. Bukan Ulangan. Tapi, Ujian. Sebenarnya yang sinting ini aku atau dia sih?!
"Udah tau gue ujian, lo malah lama-lama gini. Cepat deh, gue antar."
"Nggak! Lo sekarang balik ke SMK, dari sini gue naik angkot aja."
Kukatakan seperti itu dan langsung meninggalkannya. Aku nggak mau disalahin kalo sampai dia nggak lulus. Bisa mati karena rasa bersalah nanti. Atau kalo nggak, aku bunuh diri karena jadi bulan-bulanan di RT. Nggak! Sori aja!
Duta turun dari motornya untuk menarikku dan merasa ribet. Dan di situlah kami berdua. Dipinggir jalan. Aku teriakin Mang Angkot. Duta narik aku kayak tali tambang. Drama kolosal.
"Drama deh, ish!" geramnya muak. Tapi aku tetap tidak mau kalah dan masih berusaha pergi hingga Duta melepaskan tanganku kesal.
"Lo tahu nggak sih kalo UPK anak TKJ itu beda? Kami bakal makan waktu seharian selama tiga hari! Itu artinya dari pagi sampe sore! Gue bahkan nggak sempat makan! Harus nunggu server connect lah! Data lengkap! Mana loading lama! Gue juga harus install ulang! Itu lama banget dan..."
Aku segera lari ke motor ngebuat omongan Duta kepotong. Duduk dan pasang helm kayak anak baik.
"Ta, ayo, buru." Kataku polos sambil manggil-manggil pake tangan.
Dia ngentak kaki dan langsung jalan ke motor. Motor mulai melaju dalam kecepatan sedang. Aku ngaku deh, aku nggak ngerti Duta ngomong apa. Dari pada dia ngomong banyak lebih baik antar aku dulu.
***
Aku buru-buru ngelepas helm pas motor Duta berhenti di depan rumah. Lari ke dalam pagar. Tapi karena Duta masih duduk di atas motor mati, aku balik ke arahnya.
"Ta?" panggilku pelan.
Dia memutar leher, ngeliat aku, biasa.
"Emm... ba-balik aja ke sekolah. Nanti aku naik ojek aja," kataku ragu-ragu.
Aku juga mikir, ya kali dia mau nungguin trus ngantar lagi ke sekolah. Dia lagi Ujian! UPK! Siapapun yang ngerti soal ini, tolong tahu bahwa itu penting untukku.
"Nggak, aku tunggu, buruan," santai dia bilang begini. Ngeliatin jalan aspal depan rumahku.
Aku ngeliat Duta sebentar dalam hening, trus nggak tahu jadi senyum-senyum sendiri sambil masuk rumah. Rasanya tiba-tiba aku jadi berasa penting karena ditungguin. Apa ini perasaan jadi Bakso Mang Udin? Hahaha...
Bener, nggak ada yang kayak Duta, gimanapun itu.
***
Nggak ada yang kayak kalian, gimana pun itu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Teen Fiction3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...