32| Lolos

386 62 27
                                    

Hingga magrib, aku tidak bisa mengakses data di website kelulusan Universitas. Sangat menegangkan hingga kuputuskan untuk shalat sebelum kembali pada layar monitor. Jam sudah menunjukkan pukul delapan saat aku merasa seperti orang yang putus asa.

Bang Bagas dan Bagus sudah kukunci di luar kamarku. Mereka berdua berisik. Pada menit-menit awal, mereka terlihat kontan protes. Tapi, kupastikan sekarang mereka sedang makan di bawah.

Untuk ke 37 kali, tanganku mengetik Enter. Dan...

“LOLOS!!” teriakku penuh penekanan. Berulang kali. Hingga membuat Mamaku berteriak dari bawah untuk mengingatkanku supaya tidak takabur.

Tapi aku tidak perduli! Kukeraskan lagu gangnam style yang baru kuputar sambil berjoget serupa teknik yang PSY ajarkan. Aku merasa seperti liar dan tidak terkendali. Tapi, tunggu dulu.

Tunggu.

Kututup layar monitor di hadapanku dan membuat kamarku sunyi sesaat. Ada satu pemikiran yang membenam di kepalaku saat itu, aku harus memberi tahu Geri. Terlebih ini adalah Universitas yang sudah kami idolakan sejak masa putih biru. Tempat Bang Bagas ditolak karena bodoh. Dan cukup dekat dari rumah. Benar sekali!

Kuambil jaket dari belakang pintu dan bergegas lari keluar rumah. Dan itu adalah Pattimura yang aman walau malam, tidak masalah.

“Mal, udah malam! Mau kemana?”

“Rumah Geri, Maa,” teriakku sambil mengenakan alas kaki.

“Jadi nggak album mozaik-nyaa?!”

“Letakin aja di kamar gue, Bang!!”

Kukira, aku tidak akan bisa lari lebih cepat dari hari itu. Terlalu cepat bahkan untuk jalanan yang terkesan gelap. Tujuanku adalah lorong Seroja di depan lorongku. Tempat cowok keriting paling menyebalkan hidup. Temanku. Sahabat pertamaku.

Rasanya aku seperti sedang berada di puncak rasa senang. Aku mengabaikan kenyataan bahwa ada banyak hal yang terjadi di antara kami semua beberapa waktu ini. Persetan! Sekarang aku pun sudah berdiri di depan rumah sahabatku itu dengan semangat dan sedikit napas.

“Geri!” kuteriaki dia “Geri!! Main, yuk!”

Ah... rasanya seperti dipenuhi dengan kebiasaan masa lalu. Dan aku tidak bisa tidak tertawa saat itu. Aku merasa begitu senang.

“GERI! GUE LOLOS!!” teriakku kembali dengan sangat kuat. Seperti aku mau mengatakan itu kepada seluruh dunia.

“Geriii!”

Butuh waktu lama untuk aku menyadari tidak ada respon dari dalam. Kuhentikan suaraku dan mencoba mengetuk rumahnya, memastikan. Namun tidak ada jawaban. Hingga Pak Mahmud—Ketua RT yang tinggal di sebelah rumah Geri—keluar.

“Gerinya nggak ada di rumah, Mal,” ucapannya seperti orang yang baru bangun tidur.

Walau awalnya aku merasa kaget karena Pak Mahmud tiba-tiba menjawab panggilan yang bukan untuknya, aku mencoba memastikan keberadaan Geri yang mungkin dia ketahui.

“Ke mana, Pak?”

“Dari beberapa hari yang lalu kan rame-rame, mau cek tempat tinggal di Jogja, kuliahnya kan di sana,”

Aku terdiam.

Tidak tahu mau mengatakan apa lagi perihal hal itu.

***

Seharusnya, yang kulakukan adalah mengambil hal baik dari apa yang sudah terjadi. Setidaknya, aku sudah lulus SMA dan bahkan sudah diterima di salah satu Universitas. Tapi, entah kenapa tidak kulakukan.

Kubiarkan kakiku melangkah dengan berat menjauh dari rumah dan keluar dari pikiran-pikiran positif. Menuju Minimarket tempat Fero bekerja tapi sudah tidak lagi. Sekarang yang kerja di sana namanya Ratna. Sendiri? Atau dua orang? Entahlah. Tidak ada bedanya bagiku. Tetap tidak ada Fero.

Kucoba untuk menghilangkan kawasan Pattimura yang sepi dari otakku dalam perjalanan ke Minimarket. Pasti orang-orang sedang tidur, tidak berarti semuanya sudah pergi, kan?

Malam itu, aku merasa seperti tidak ingin melakukan apapun. Hanya duduk saja di depan Minimarket. Dengan minuman di tanganku dan tidak berniat membukanya. Aku merasa informasi yang kuterima dari Pak Mahmud seperti bumerang yang menghantam wajahku.

Sangat tidak bisa dipercaya bahwa Geri tidak akan bersamaku. Mengambil pendidikan di tempat yang berbeda dan jauh. Tidak bisa kutemui walau mau. Dan begitulah.

Kuperhatikan ruas jalan yang malam itu ramai lancar. Ada begitu banyak suara deru motor bersama gelak tawa banyak orang. Tapi aku merasa begitu sepi. Sehingga aku tidak tahu harus apa saat itu.

Tiba-tiba otakku dipenuhi dengan kenangan. Segalanya hanyalah aku, tujuh orang itu, selalu bersama-sama dan hal-hal yang kusukai.

Kurasa aku sangat menyukai Pattimura, walau saat itu dia hanya ada di Jalan dan uang kertas Rp. 1000. Aku menyukainya yang tidak terlalu ramai. Yang dulunya ada TK Pertiwi.

Tempat aku berteman dengan Geri dan Dimas. Berkenalan dengan Andri, Pertus, Fero, dan Rendi. Mengenal Duta yang suka jajan di halaman TK walau tanpa seragam yang sama. Tempat yang bagus main layangan karena lengang.

Aku sangat menyukai setiap sudut dan tidak takut. Bahkan jika sebagian besarnya adalah tanah kosong yang bersemak.

Rasanya, seperti melayang ke masa lalu tiba-tiba dan benar-benar tidak mau pergi. Lalu kusadari satu hal, bahwa itu seperti, aku masih berjuang, tapi semuanya sudah berakhir.

***

Sudah begitu larut saat aku pulang ke rumah dan di luar sedang gerimis. Di ruang tamu hanya ada Bang Bagas yang menungguku karena yang lain sudah tidur.

“Dari mana aja sih, Lo?”

Pertanyaannya tidak kujawab. Bang Bagas mengunci pintu rumah karena itu tugasnya. Aku, langsung masuk ke kamar.

Aku tahu, aku tidak akan tidur. Jadi kuputuskan untuk duduk di kursi belajarku dengan pundak tersandar dan kedua kaki yang kunaikkan ke atas kursi. Menatap jendelaku yang terbuat dari kaca dan belum tertutup tirai.

Pernah tidak kalian perhatikan hujan? Dia itu penipu! Lihat caranya membentuk tirai renggang dengan airnya, di pinggiran atap tempatmu berteduh! Seperti bilang, aku jarang-jarang, saat didekati nyatanya kau basah kuyup.

Aku merasa seperti itu.

Kuputas album Mozaik dari grub band Ungu di laptopku dengan menggunakan headsheat untuk mendengarnya. Ada beberapa lagu. Tapi hanya ada satu yang kuputar berulang kali.

Aku tidak mengerti betul lagunya bercerita tentang apa. Tapi aku ingat liriknya. Dan membuatku tercenung sepanjang malam.

Aku tahu, aku tahu, aku tahu, aku salah...

Dan sisanya adalah aku merasa kosong.

***

Aku rasa ini adalah bab paling emosional untuk kembali ditulis.

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang