5|| Teman 2 : The Great Andri

907 112 50
                                    

Saat sampai di lorong Mawar, lorong rumahku yang hanya berisi 3 rumah, kutemukan Andri sudah tergeletak tak berdosa di teras rumahku. Mungkin dia salah paham dan mengira ini adalah pantai atau rumahnya sendiri. Yang tepatnya, ada di sebelah kanan rumahku.

"Balik," titahku sambil menendang kakinya pelan.

Tapi tak ada respon kecuali dia membuka matanya sebentar, memastikan itu aku dan kembali tidur. Berbeda dengan Geri, Andri adalah orang yang paling berantakan. Tidak rapi walau tetap bersih. Kulitnya putih dan rambutnya lebih panjang. Dia didukung fisik dan Geri hanya bisa berusaha sambil ngontek dukun setempat dalam bidang kegantengan.

Aku segera masuk ke rumah untuk sekedar memasukkan tas dan mencopot sepatu lalu balik ke teras dengan minuman dingin di tangan. Menyenggol Andri untuk ikut duduk.

"Ulangan biologi lo gimana?" tanya Andri sambil duduk lalu meneguk minumanku.

Aku mengangkat kedua bahuku "Aman," dia mengangguk.

Andri adalah orang yang nggak banyak ngomong, pendiam, bahasa kulkasnya sih... es batu. Tapi dari semua orang di Pattimura, cuman dia yang selalu satu sekolah denganku. Dari TK sampai SMA. Itu menimbulkan perasaan nyaman. Aku rasa aku tidak pernah marah hanya dengannya.

"Entar gue ngerjain tugas di rumah lo, ya?"

"Boleh," katanya irit.

Aku melirik Andri lagi. Dia masih pake kemeja sekolah walau seluruh kancingnya sudah dibuka dan memperjelas baju kaos bertulis kata sok yang dia kenakan. Terlihat tak terurus tapi tetap anak paling pintar di RT kami.

"Lo nggak pulang?" sindirku. Dia memajukan bibir bawahnya dengan mengangkat bahu. Lalu menarik tas yang tadi dia jadikan bantal ke pangkuannya.

Dia mengambil satu kresek putih Minimarket dan memberikannya padaku. Isinya 2 cokelat Chunky Bar. Aku meliriknya curiga.

"Buat gue nih?" pastiku.

Dia mengangguk. Lalu berdiri bersama tas yang sudah ada di bahunya. Tanpa melihatku, dia bilang "Pulang, Mal,"

Iya, dia memang tidak gampang berkomunikasi dan juga ganteng. Makasih.

***

Atas nama sifat lupaku, aku tidak ke rumah Andri sampe sore. Dan itu membuat Andri yang ke rumahku dengan menanyakan jadi atau tidak. Aku hanya terkekeh menahan malu lalu merapikan rambutku dengan sembarang.

"Ke warung Mang Didin dulu beli yakult,"

Dia mengangguk dan kami pergi bersama walau itu berbanding kasar dengan arah rumah Andri yang-asal-loncat-nyampe dari rumahku. Kami jalan kaki dan itu sekitar jam 4 sore yang banyak angin tapi tidak hujan.

Kami membunuh kebosanan dengan adu suit, yang kalah dijitak, selama perjalanan pulang. Dan aku makin yakin Andri memiliki niat melubangi kepalaku karena sangat semangat dalam hal tidak penting ini. Psikopat!

"Coba ngomong yang banyak, Ndri," pintaku di sela belajar.

"Pembukaan, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan..."

"Eh... jangan pembukaan Undang-Undang!"

"Ngomong apa sih?" katanya sambil meletakkan pena di atas buku tulis. Menatapku dengan gelombang di dahi.

"Nyanyi deh, nyanyi,"

"Lagu apa?"

"Better than word!" yaitu lagu One direction yang populer di tahun 2014 itu.

"Auuuungggg!"

"Bukan bagian aungannya doang, Bego,"

"Cuman tahu itunya doang, Mal,"

"Coba ketawa,"

"Hahaha..." dia ketawa. Aku senyum.

"Dasar Anjing," kukatakan itu sebagai hiperbola menurut.

"Guk...guk...guk," dia bilang, kutoyor kepalanya sambil terkekeh.

Kami belajar. Dan itu seperti belajar ala profesor. Sangat berilmu. Saat pelajaran benar-benar dimulai, aku merasa tidak ada lagi yang kami bicarakan kecuali rumus dan beberapa pokok materi akhir.

Terlalu serius.

Walau bagaimana pun, kedua orang tua Andri itu dosen, itu membuat dia mewarisi otak yang pintar. Sangat bisa dimanfaatkan jika ada yang mau belajar dengannya. Hal itu juga mempengaruhiku untuk serius. Aku juga mau tamat SMA dengan baik.

"Mal," panggil Andri saat aku sudah menyandang tasku dan berjalan mau pulang. Dia membuatku berhenti dan melihat ke arahnya. Raut wajah biasa.

Dia sedang selonjoran dengan kedua tangan menyanggah tubuhnya. Melihatku dengan tatapan otoriternya itu. Dia menghela napas pelan, mengubah posisi duduknya yang terkesan santai menjadi serius.

"Nggak jadi deh," ucapnya setelah menggeleng.

Aku hanya mengangkat bahu, tidak perduli. Dan langsung pulang ke rumahku saja tanpa tersesat. Andri juga aneh. Seandainya kalian mau tahu.

***

Andrii!!

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang