9|| Teman 6 : Pertus, Fine!

739 97 48
                                    

Selain Dimas, orang yang paling susah perihal makanan itu Pertus. Dia pemuja semua makanan yang dikukus dan mengutuk gorengan dengan kekuatan mamanya Malin Kundang. Karena dia ada keturunan Padang gitu.

"Gimana kalo bakso goreng? Kan masaknya dikukus baru digoreng?" tanya Andri di kelas 2 SMP bingung.

"Nggak! bakso pengkhianat gitu nggak bakal gue makan!"

Sejujurnya, Pertus itu orang yang jarang banget marah. Anaknya baik banget. Pencinta Intonasi rendah. Setidaknya, selama aku kenal dia, dia nggak pernah ngamuk. Kalian tahu sendiri biasanya orang pendiam, ceria dan punya kepribadian bagus kalo marah bisa ngamuk-ngamuk.

Contohnya kayak Rendi tuh. Aku pernah liat dia ngamuk beberapa kali. Dan aku langsung lari. Iya, teknik penyelamatan hakiki.

Tapi entah kenapa Pertus bisa sejahat itu dengan makanan. Aku suka ngait-ngaitin dengan Ayahnya yang dokter itu. Kami semua di Pattimura setuju kalo itu penyebabnya.

Di antara anak-anak lain, cuman Pertus yang satu kelas denganku. Tapi entah kenapa aku nggak punya banyak omongan dengan dia, padahal dia cukup ramah dan kami udah sama-sama dari masa TK Pertiwi dulu.

Di kelas, aku sibuk dengan Mita, Ayu, dan Dini. Dan dia dengan anak-anak cowok di belakang. Seolah kami nggak pernah kenal sama sekali, kelas itu berjalan tidak canggung untukku.

Dia sering negur. Tapi cuman negur. Kadang kan kita kalo ketemu di jalan atau lagi dengan teman-teman lain jadi sok-sok nggak kenal gitu, tapi Pertus nggak. Dia pasti negur.

"Mal?" tegurnya tiba-tiba ngampirin aku di Salemba.

Hari ini, rencananya aku mau beli buku UAN Fisika gitu. Aku sih pergi sendirian. Si Pertus dengan 2 temannya yang dia tinggalin pas ngampirin aku.

"Hah?" aku nggak bisa nggak kaget saat dia tiba-tiba nepuk pundakku pelan. Dan itu buat dia terkekeh pelan.

"Ngapain?" katanya.

"Mau cari buku UAN nih, yang Fisika kan belum ada di Perpus."

"Hm," dia ngangguk "Sendirian aja?"

"Iya nih," kubilang sambil menjelajahi rak buku "Desi dengan Yuli lagi mager kayak Andri tuh,"

Dia ketawa.

"Mau ditemenin nggak nih?"

Aku berbalik untuk melihat ke arahnya lain. Kalian harus tahu Pertus, jika dia menawarkan, itu bukan basa-basi. Serius.

"Nggak usah deh, lagian kan lo dengan temen. Nggak enak gue,"

"Ah.. mereka mah santai, gue suruh duluan juga kelar."

"Nggak deh," kataku dengan muka cemberut "Gue tetep nggak enak entar. Bisa kok sendiri," kuangkat buku UAN yang sudah kudapatkan.

Dia ketawa dan dadada pergi nyusul temannya. Iya, gitu doang. Nggak maksa anaknya.

***

Sekitar jam 4, aku baru sampai rumah karena macet. Tiba-tiba rumah itu berbau seperti sarang musang, aroma pandan yang khas. Kulihat Duta baru turun dari kamar Bang Bagas. Aku mendesah hambar, keliatannya Bang Bagas emang ada niat ganti adik.

"Duta ambilin minum dong," semanis mungkin kubilang pas dia lewat, sesaat setelah aku rebahan di sofa.

"Ambil sendiri!" dia berhenti dengan sudut mata meruncing.

Aku pura-pura nangis, mewek gitu. Ngeluh soal macet, kaki sakit karena sepatu sialan ini, pengap di angkot dan...

"Iya! Iya! Gue ambilin!"

Benar, nggak ada rasa ikhlas dalam kata-kata itu.

Duta nggak cuman datang dengan satu gelas air dingin tapi juga sepiring kue kukus yang menimbulkan aroma pandan itu. Tiba-tiba aku keingat Pertus.

"Eh? Pertus suka kue kukus kan?" retoris Duta seolah ingat.

Aku tersenyum selebar mungkin "Iya, anterin gih ke rumahnya," pintaku memohon.

"Lo aja," nadanya kembali sinis. Kalo sudah begini, aku hanya bisa menelan air ludah dan harga diri yang mulai runtuh.

Aku jalan ke dapur dan minta kuenya buat Pertus. Entah kenapa Mama seolah ingat juga dan udah nyiapin di piring.

"Aku bawa ya, Ma?" Mama ngangguk.

***

"Pertus! Pertus! Pertuuuuuuusss!" kuteriaku rumah yang dihuni satu orang itu dengan cukup heboh.

Bisa kudengar dia teriak iya-iya dengan suara lari-lari di rumahnya. Pas bukain pintu, dia ngos-ngosan.

"Malpira!" keluhnya dengan perasaan terluka.

Aku ketawa.

Rumah Pertus berada di lorong Teratai, tepat di depan lorong rumah Fero. Dan sepi. Karena dia memang tinggal sendirian. Bokapnya dokter, ditugasin ke luar daerah gitu. Kalo nyokapnya cuman nemenin sih, mungkin takut diselingkuhin. Hehehe...

Karena itu juga Pertus jarang di rumah. Dia bebas kayak lintah di rawa-rawa. Nggak ada yang marah.

Kuangkat piring penuh kue kukus ke depan wajahnya dan dia membuka pintu lebar-lebar nyuruh masuk.

"Rumah lo dipake suting dengan Tom Cruise?" kutendang barang yang kuduga Sponge cuci piring.

Pertus nggak jawab. Dia sedang nge-date dengan kue kukus di meja makan. Mataku menjelajah seluruh ruangannya yang kacau parah. Bisa dia nggak senewen tinggal di sini?

"Woi, Pertus!" ucap seorang lantang sambil buka pintu rumah "Eh? Kalian kumpul kebo?" wajah polos.

That he is! Geri. Geri salut yang ngomongnya nggak kesaring. Kubogem mulutnya dengan kungfu cepat.

"Mulut lo tuh ya!"

Dia ngerintih dan berlari ke belakang Pertus. Bareng Duta juga. Mereka berdua. Tadi aja aku suruh ngantar kue nggak mau!

Mau kujambak deh!

"Wih... kue!" heboh Geri langsung ngambil.

"Dikasih Malpira dong," pamer Pertus yang bikin aku nahan ketawa.

"Beh... giliran Pertus aja dianterin kue. Gue mah apa," Saat itu rasanya mau kutendang muka Geri.

ITU KAN DIA JUGA MAKAN KUE DARI GUEEE!!

"Gue dong, ambil sendiri di dapur Mama," pamer Duta ikutan ngompor. Geri menatapku kecewa.

"Segini aja lo ke gue, Mal?" tanyanya drama.

Aku mah nggak peduli. Kulempar Sponge yang aku injak tadi dengan kekuatan kamehameha.

Strike!

Kena pas ke mukanya. Dia langsung naik pitam gitu. Aku lari ngebirit. Rasain!

***

Apa kabar, Per?

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang