4|| Teman 1 : Moses Geri Brengsek!

1K 122 39
                                    

Moses Geri Brengsek, dua kata, yang satu laginya bonus karena sudah keterlaluan. Emosiku sudah sampai ke ubun-ubun. Sepenuhnya sedang marah. Aku mengelilingi sekolah hanya dengan satu tujuan, menemukan si Setan.

Kuatur napasku serapi mungkin, walau aku tahu itu takkan berfungsi apa-apa saat ini.

Tanganku kembali mengepal saat kulihat Geri sedang di kelasnya yang masih ramai walau sedang istirahat. Aku bisa saja tetap diam saat dia menggantung tasku di bendera kemarin, atau memakan pesanan baksoku yang antrinya lama, dan bahkan menarik kursiku di aula seminar 2 hari lalu. Tapi tidak kali ini.

Langkah kupercepat dan kepalan tanganku langsung mendarat di rahang kirinya dengan kuat. Dia tersungkur dari bangkunya dan anak-anak kelas kaget.

"Balikin catatan gue!" teriakku sekeras mungkin.

Geri berusaha kembali ke bangku, menenangkan diri sambil mengoles-oles rahang kirinya. Aku menatapnya sengit.

"Lo datang-datang mukul gue, Mal," terangnya bernada tidak terima. Aku mendengus jijik sendiri.

"Lo tahu? Gara-gara lo gue kehilangan nilai PKN! Rese banget jadi orang!"

"Gue ngapain emang?" dia berdiri, membuatku terdiskriminasi dengan tinggi badannya sesaat. Tapi dia tidak marah, hanya terlihat bingung.

"Lo kan yang ngambil semua catatan gue di tas?! NGAKU!"

Dia menggeleng khidmat. Membuatku memutar mata jengah. Mengingat sebentar lagi aku harus ulangan Biologi, dan itu adalah pelajaran jurusan yang aku tidak mau remedial. Aku tidak punya waktu, tidak saat semua tugas harus dikumpul tepat waktu.

"Bukan gue, serius," yakinnya dan aku tidak yakin sama sekali.

Hanya Geri yang berani mengobrak-abrik tasku. Itu karena kedekatannya denganku jauh di antara yang lain. Geri adalah alasan aku berteman dengan anak-anak cowok. Dan atas kemurahan hatinya, dia merasa bisa melakukan seenak jidat kepadaku.

"Udah deh, Ger," kataku malas berdebat "...gue minta catatan biologi gue, abis jam istirahat gue harus ulangan!"

Melihat gerak-gerik Geri yang masih suci. Aku mulai khawatir. Kulirik dia lagi dengan tatapan segalak mungkin. Dia masih mengangkat bahunya dengan mata yang melebar. Jelas itu adalah tampangnya yang paling bisa dipercaya.

"Serius, nggak dengan lo?"

"Serius!"

Tubuhku langsung lemas mendadak. Lalu berimbas dengan aku menjatuhkan diri di kursi Geri. Terduduk dengan begitu banyak pikiran tentang tugas. Aku tidak pernah seserius ini memikirkan lembaran-lembaran itu, tapi kau akan merasakan hal beda di kelas 3.

Geri ikut duduk di sebelahku, masih terlihat bingung tapi juga terlihat khawatir hingga meletakkan tangannya di sandaran bangku yang kududuki.

"Lo mau mati ya, Mal?" tanyanya hati-hati.

Aku mengusap wajahku, menghilangkan cemas yang kurasakan. "Jangan sekarang, Ger." Tanganku tiba-tiba terasa gemetar sendiri. Ini adalah jam istirahat pertama yang tidak menyenangkan bagiku.

"Lo nggak bisa ulangan kalo nggak ngumpul catatan?"

Aku mengangguk tanpa melihatnya. Tanganku menutupi wajah dan kurasa bisa saja aku menangis sekarang, hanya air mata itu tidak mudah keluar. Aku tidak ahli dalam hal itu.

"Iya," memang dulu seperti itu, jika mau ulangan, catatan harus lengkap.

"Materi catatan sampe mana?"

"Bab 7,"

"Gue juga baru masuk Bab 7," dia mengeluarkan bukunya dari tas, memeriksa cepat "Hah! Gue kurang 2 lembar doang,"

"Tulisan kita beda. Gue nggak bisa ngelanjutin 2 lembar buku paket tanpa ketahuan, dan.."

Aku meliriknya untuk menerangkan bahwa ini adalah misi bunuh diri. Tapi kudapati dia sedang serius menulis dengan tutup pena di mulut. Terlihat sangat fokus.

"Tewnang, Mwal. Gue bawkal nuwlisin buwat lo," dia mengatakannya tanpa melihatku. Tapi hal itu benar-benar menenangkan semua yang sedang kupikirkan. Dia menepuk pundakku dengan tangan kirinya yang bebas. "Kalem... kalem," tiba-tiba aku tersenyum tanpa bisa kuhentikan.

Hanya perlu 15 menit dan ringkasannya selesai, dia meminta sampul buku pada Dewi-Sekretaris kelasnya-untuk langsung dipasang menjadi baru atas namaku dan ditulis langsung dengan tangan Geri.

Malpira

Aku membaca itu berkali-kali hingga masuk ke kelasku. Dan itu adalah tulisan namaku yang sangat kusukai. Hanya beberapa huruf dan terlihat cukup bagus seperti itu.

***

"Lo udah baikan dengan anak cowok?"

Aku bergegas memasukkan semua buku ke tas saat Desi yang baru masuk ke kelasku mengatakan itu. Keliatannya dia ngeliat aku yang sudah menargetkan Geri di parkiran.

"Kapan gue berantem?" retoris kukatakan seperti itu dan segera menyandangkan tas untuk keluar kelas "Duluan, Des," lanjutku dan dia hanya terlihat bingung.

Sebelum benar-benar sampai parkiran, kuteriaki Geri yang baru mau ngegas motor.

"Nebeng, hehe..." kataku setelah cukup dekat dengannya. Entah kenapa aku begitu, sejujurnya itu bukan diriku sekali. Aku bisa melihat gelombang di dahinya saat dia memberikan helmnya padaku, helm yang selalu dia bawa 2. Lalu menarik standard dan membuat motor berdiri dengan kakinya.

"Perubahan suasana hati lo beneran nggak wajar," katanya yang kuartikan karena tadi saat istirahat aku mendatanginya dengan marah dan sekarang dengan gemes.

"Tenang aja, gue tetap benci lo," kubilang dengan senang hati sambil menepuk pundaknya.

"Masa?" kujawab hanya dengan mengedikkan bahu, kembali menciptakan hening.

***

Miss you, Ger!

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang