20|| Dibalik hal baik

517 82 27
                                    

Setelah Bu Restu keluar, aku langsung rebahan di meja. Semalam, aku begadang lagi. Aku juga sedang mempertimbangkan untuk menjadi kalong. Tapi kelihatannya nggak bisa karena paginya harus sekolah.

“Malpira,”

Itu Geri. Sedang nemplok di jendela kayak lalat kepukul Jackie Chan. Aku ngangkat kepala, menyeka wajahku dengan tangan, berusaha mengusir kantuk. Ini karena aku adalah anak buah Anies Baswedan, Menteri pendidikan saat itu, dan tidak boleh mengecewakan.

Kurogoh laci dan mengambil buku Pendidikan kewarganegaraan untuk mengingat jasa pahlawan dan menghapal materi karena nanti ulangan.

Saat berjalan keluar, menuju Geri, aku tersentak Mita menahan tanganku.

“Nggak bareng kita?” tanyanya, kulirik Geri untuk memberikan kode ke Mita bahwa aku sedang ditunggu.

“Nggak deh, Mit. Gue duluan, ya?” retoris kubilang sambil menunjuk Geri dan Pertus di depan kelas.

Mita mengangguk pelan.

***

Di kantin, aku nggak jadi buka buku kewarganegaraan karena keasyikan makan dan cerita-cerita film. Aku tak tahu kenormalan apa yang bisa ditemukan dari anak kelas 3 di tahun ajaran 2014-2015 kecuali mendownload film Box Office di website ilegal.

Aku hanya tidak bisa menjelaskan lagi bagaimana itu adalah keseruan di saat otakku mau pecah karena memikirkan lulus atau tidak.

Aku masih ingat beberapa kali websitenya diblokir karena saat itu sedang gencar protes anti pembajakan yang dilakukan artis dan organisasi perfilman. Tentu saat itu kami tidak perduli. Apalagi mendapatkan film luar Negeri tidak terlalu susah, sayangnya, para pemilik website bajakan menyatukan film tanah air dengan luar negeri dan membuat kami gemas sendiri.

Awalnya saat itu adalah film Tenggelemnya kapal Van der Wijck yang nggak pernah berhasil diseludupkan di website. Waktu ada Web yang masang link, nggak nyampe sehari pasti Web-nya udah error.

Sungguh tragis.

“Ngapain lo?” kutanya Dimas yang serius melihat laptop sambil menggeser kotak bekalku untuk dia makan.

“Download, ini kan jum’at,” jawabnya sambil mulai makan.

Tahun itu, Naruto Shippuden memang rilis malam jum’at, pas magrib. Anak-anak emang pada download hari jum’at walau nggak ngaku. Aku tahu.

“Bisa?” kutanya sambil masih memandangi garis hijau di kolom download. Terlebih aku juga tahu kalau web yang Dimas buka sedang bermasalah.

“Bisa dong, kalo nggak tushfile ya solidfile,”

Aku menipiskan bibir memandangnya yang mulai pamer. Sambil dia makan, kugeser laptopnya mendekat ke arahku. Membuka website film Box Office. Jantungku terasa berhenti berdetak melihat daftar rilis baru yang mencantumkan Hunger Games : Mocking Jay part 1 sudah ada link.

“Ambil, nggak,” ancamku ke Dimas dengan nada rendah namun diskriminatif.

Dia memaksa senyumnya sambil menggeser laptop kehadapannya buat mulai mendownload.

“Apaan?” tanya Andri padaku.

“Hunger Games,” kata Dimas sambil salah satu tangannya di keyboard dan satunya lagi memegang minum.

Tak perlu beberapa lama, Andri, Geri, Pertus bahkan Rendi langsung menyodorkan flashdisk pada Dimas.

“Dasar dhuafa,” cibirku melihat tingkah mereka yang malah mengangkat bahu.

Aku tidak bisa menjelaskan betapa banyak film yang kami sukai saat itu dan bisa kami tonton karena kami sudah besar dan licik. Seri Harry Potter dan Twilight juga salah satu yang kami ikuti. Terlepas dari tahun berapa kedua seri ini tamat, aku hanya ingat bahwa aku baru selesai menonton semua serinya saat kelas 3 SMA di tahun 2014.

“Eh.. the last naruto, udah ya?” tanyaku tiba-tiba dan membuat Rendi geleng.

Padahal film ini sudah akan dirilis Desember 2014. Tapi karena perbedaan bahasa dan pengurusan subtitle, maka aku yakin Rendi akan menjawab...

“Belum, palingan HD-nya keluar 2015 deh,”

Aku ngangguk dan ngelanjutin makan. Sesekali aku ngelirik buku kewarganegaraan yang masih ketutup. Lalu lanjut ketawa dengan Andri dan Pertus, membahas film animasi Baymax, yang saat itu—November 2014—cukup populer.

Lalu diakhiri kami sepakat untuk menonton Hunger Games : Mocking Jay 1 bersama-sama setelah menghadap Pak Zul untuk ulangan lisan.

***

Pergelangan tanganku terasa mau putus karena Desi. Otaknya pasti sudah benar-benar korslet akibat pelajaran. Aku berusaha berbesar hati dengan membiarkannya saja menyeret-nyeretku seperti hewan kurban. Kurasa, aku sudah cukup baik.

Dia melepaskan kasar pegangannya dan mengarahkan wajah kesalnya padaku.

“Bilang ke gue! Apapun, asal lo nggak aneh,”

Aku menggulungkan tanganku di depan dada, melihatnya dengan sorot tajam. Desi harus tahu bahwa dia tidak bisa melakukan hal seperti ini padaku. Ini menyebalkan. Dan membuatku jijik.

Yuli menyusul kami dengan napas terengah. Melihat ke arah kami bergantian dan mengatur arah napasnya lebih tenang. Perlahan, dia masuk ke dalam ruang laboratorium itu.

“Kalem, gue yakin ini bukan masalah besar, kan?” tenang Yuli menyarankan.

Entah apa yang membuat Desi begitu murka hingga menunjuk ke arah wajahku dan membuatku langsung menepisnya, geram.

“Bilang ke dia! Bilangin supaya nggak aneh!”

“Apa masalah lo?” akhirnya aku angkat bicara. Seandainya aku tak menghargai mereka sebagai juga temanku, mereka juga tahu bahwa aku tidak bisa menahan amarah dan itu buruk.

“Masalah gue?!” teriaknya keras “Gue nggak suka dengan sikap aneh lo. Kadang lo baik ke mereka. Trus tiba-tiba lo jauhin mereka, temenan dengan anak kelas lo? Hah? Trus sekarang lo baikan lagi? Freak, ngerti nggak, sih?”

Aku memutar bola mataku jengah.

“Des,” bujuk Yuli agar dia berhenti.

“Hanya karena lo punya banyak teman, bukan berarti lo bisa buang kapan pun, SETAN!” teriaknya di depan wajahku dengan wajah memerah.

Dia langsung berlari cepat diikuti dengan tatapan kesalku ke luar laboratorium. Sejak awal, aku hanya tak memberitahu bahwa Desi memang menyebalkan. Sikapnya seperti seolah dia mengendalikan semua orang. Semua yang dia pikir benar.

Aku sudah sering mendengar dia yang ngotot terhadapku. Dia pernah bilang bahwa dirinya iri, dan tentu aku tak menganggap itu sebagai alasan dia bisa mengendalikanku.

“Sabar, ya, Mal,” ucap Yuli sambil mengelus punggungku.

Aku menghela napasku kesal sendiri. Tanganku benar-benar terkepal tanpa bisa kukendalikan. Walau bagaimana pun, aku nggak biasa mukul cewek. Benar-benar bukan tipeku berkelahi dengan jambak-jambakan. Tidak menimbulkan selera sama sekali.

Mungkin itu juga alasan aku tidak terlalu dekat berteman dengan anak cewek.

“Apa masalah Desi, sebenarnya?” tanyaku pada Yuli karena sudah sangat emosi.

Wajah Yuli meragu. Dia mengangkat tangannya dari punggungku saat tatapan sinisku menyerangnya. Nada suaranya sangat berhati-hati.

“Desi... pacaran dengan Pertus.”

Kepalan tanganku terlepas. Lalu aku merasa seperti orang bodoh saat itu. Aku tidak mengatakan Desi sedang cemburu padaku karena itu tidak mungkin. Aku cuman merasa, mungkin, Desi sedang peduli dengan pacarnya yang bingung akan sikapku.

“Gue balik ke kelas,” ucapku segera meninggalkan Yuli dengan semua pikiran di kepalaku yang rumit. Seperti, perasaan tidak dianggap karena tidak tahu apa-apa dan menjadi begitu marah.

***

A/n menyegerakan tamat

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang