Aku duduk di samping Mamang bakso goreng di depan SMP Bagus. Yang sebenarnya juga SMP Sella. Mereka kan satu sekolah. Entah kenapa semenjak 15 menit duduk dan dengerin cerita Mang Bakso ini, kami memiliki hubungan dekat.
Mamang cerita keanehan anak SMP. Aku cerita soal Bagus dan Sella. Kami jadi cocok. Aku takut kalo Mang Bakso bakal segera menyatakan perasaannya dan kami pacaran.
Hari ini aku bela-belain nggak ikut les karena ini adalah jadwal pertama aku ngintai Bagus dan Sella. Sayangnya... aku sama Dimas! Yang dari tadi skeptis gitu sambil megangin satu tusuk bakso goreng yang udah aku kasih 15 menit lalu.
“Mal,” dia narik lengan baju aku.
Jengah, aku pun nggak mau respon. Masih asik dengerin certa si Mamang yang katanya pernah liat anak SMP bolos trus nongkrong di simpang 4. Sekitar 200 Meter dari SMP Bagus ini.
“Ketemu pacarnya gitu,” kata si Mamang.
“Trus gimana, Mang?”
“Mamang laporin ke guru, Dek! Mamang ini, walaupun nggak berpendidikan, peduli banget dengan pelajar gitu. Apalagi masih SMP kan? Kalo putus sekolah mau jadi apa? Mau jadi tukang bakso goreng? Kasian si Mamang banyak saingan,”
Aku tersenyum mendengar Mamang cerita. Kurasa, aku dan Mamang sama. Sama-sama memiliki kecemasan terhadap hal yang belum tentu akan terjadi.
“Mal,” Dimas kembali narik lengan bajuku lagi. Rasanya, mau kucakar mukanya!
“Apa sih, Dim?”
“Pulang, yuk?”
“Nggak! Kita kan udah sepakat buat nyelidikin Bagus dan Sella. Gimana sih? Konsisten dong!”
Dimas langsung manyun gitu. Liat aku tajam penuh kekecewaan. Aku melotot, memberikan kecaman atas aksinya itu.
“Makan tuh bakso atau gue lempar lo ke penggorengan si Mamang?!”
Dia ngambek. Langsung buang muka sambil makan bakso goreng. Memang seperti anak kecil. Itu memang Dimas.
Beberapa menit kemudian...
BEL PULANG BUNYII!!
Kami berdua langsung panik saat dengar suara murid-murid pada keluar kelas gitu. Dimas ngumpet di bunga, trus pindah ke belakang si Mamang. Aku yang panik cuman megang kepala sambil liat kanan kiri. Observasi tempat yang paling aman buat ngumpet.
Si Dimas udah pindah lagi, dia keliatannya mau masuk got.
Kutarik dia dan kami berdua berkamuflase jadi gambar prasasti Mesir, nempel di dinding pagar. Si bego Dimas malah tutup mata. Bukannya liat Bagus atau Sella udah lewat atau belum. Kupukul lengannya karena tidak kompeten.
“Udah lewat, Dim!”
Susah payah kutarik dia agar mau pisah dengan dinding dan naik ke Jupiter merah milik Andri yang kutilang.
Dimas duduk di bangku penumpang. Aku yang bawa motor sambil ngejar Bagus yang lagi boncengin Sella. Bersamaan dengan tangan yang ngegas dan mulut yang terus mencibir, motor kami melaju cepat.
Aku ngelewatin beberapa motor berkecepatan sedang. Ada satu motor Honda yang lagi ngebut di depanku. Entah kenapa mengingatkanku dengan Marquez. Kupacu motor lebih cepat karena efek ingin jadi pembalap.
Aku terbawa suasana hingga akhirnya di tikungan kedua, aku berhasil melewati Marquez gadungan itu. Tidak bisa dibilang seberapa senangnya waktu itu, tapi Dimas memang menjengkelkan. Dia jejeritan di belakang.
“MALPIRAAAAA GUE MASIH MAU UAN!!”
Tidak kugubris!
“MALPIRAA, BAGUS KELEWATAN!!”
Sial!
Kupinggirkan motor ke trotoar. Berhenti. Kulihat Dimas masih duduk di motor. Dia pucat. Gemetaran. Dan mau muntah. Gejala ini mengingatkanku dengan orang yang baru dipatuk ular. Jadi, kuberi dia minum segera mungkin.
Kukenakan kembali helm Airo hitam dan berdiri di pinggir jalan sambil berkacak pinggang. Beberapa menit kemudian, Bagus dan Sella lewat.
Kuputar motor dengan Dimas di atasnya. Segera mengengkol motor bebek ini dan mengikuti dua orang jatuh cinta itu.
***
Aku melihat ke depan. Dimas menatap ke belakang. Kami hadap-hadapan.
Plakk!
“Liat ke depan, Dimas!” kataku menekankan suara penuh kesabaran. Dimas nyengir bego.
Kami berdua sedang memata-matai Bagus dan Sella yang berhenti di taman Anggrek. Aku tidak tahu, tapi kurasa mereka sedang pacaran. Kugunakan kesempatan itu untuk menelpon anak-anak yang lain setelah meminta Dimas untuk tetap mengawasi.
“Halo, Ndri?” kataku pas telpon tersambung.
“Malpira, gue lagi les dengan Bu Restu.” Dia terdengar berbisik dan aku merasa punya ide.
“Dasar lo tuh ya! Tadi lo bilang hubungin lo! Kasih info! Sekarang gue telpon lo malah...blablabla!” kuucapkan setengah berteriak karena mau.
Aku kenal Andri, dia pasti bakal...
“Eh Setan! Dasar Anjing! Beruang kutub! Bedebah Piranha! Lele jumboooo!!”
Kepancing! Aku sempat dengan Bu Restu teriak... “Kurang ajar!!” ke Andri sebelum kumatiin telepon dan ketawa ngakak.
Mampus!
“Mal,”
“Apaan sih?” kataku masih ngecek kontak ponsel mau ngerjain yang lain.
“Mereka buka baju,”
Saat mendengarnya, aku hampir bisa dibilang sedikit gila.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Ficção Adolescente3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...