29|| Pembaharuan

532 77 25
                                    

Entah kenapa, aku merasa Pak Anies Baswedan bersama Pak Damanhuri—kepala sekolahku—saat itu sedang bekerja sama membantuku untuk lebih jauh dengan mereka. Maksudku, seandainya hanya aku yang pura-pura sibuk, pastinya mereka bisa dengan mudah menerorku dan terus datang. Tapi kenyataannya tidak.

Mereka juga harus Try Out dan les sepertiku. Atau latihan di rumah teman-teman mereka untuk kebutuhan praktek. Banyak tugaas lain yang membuat kelas 3 IPA 3 itu sangat jauh dari kelasku bersama Pertus juga yang cuman duduk di bangku sudut kelasku.

Aku bukan tidak merasa sedang membuat jarak dengan mereka. Tapi, itu juga bukan seolah-olah aku sedang merencanakan untuk menjauh. Tidak!

Tiba-tiba saja diriku melakukan hal itu jika bertemu mereka. Seolah diriku yang tahun 2015 itu punya jutaan cara agar terlihat biasa saja padahal memang tidak mau dekat.

Susah untuk kujelaskan. Seandainya kalian mengerti bagaimana rumitnya hal itu dan bagaimana perasaanku dalam menghadapinya. Aku hanya tidak bisa mengatakan betapa hal itu memiliki pengaruh pada diriku. Cukup besar.

Hari-hari itu terus berlanjut hingga 3 bulan. Hingga seminggu lagi kami harus UAN. Hingga semua tugas sekolah terselesaikan. Hingga kusadari semua hal yang kujadikan alasan itu sudah tidak ada lagi.

Hanya ada hari-hari yang lengang.

Yang kulakukan dengan berkeliaran di sekolah seperti centeng yang mau makan Bakso kantin saja. Padahal itu sangat tidak penting. Dan membuatku merasa aneh dengan tetap melakukannya walau karena mau.

Sebenarnya, saat itu aku juga bertanya, siapa aku ini? Waktu kelas 3 SMA, kita ini siapa?

Kita bukan OSIS, bukan PMR, bukan PASKIBRAKA atau hal lain seperti itu karena saat kelas 3 kita sudah tidak ikut ekstrakulikuler. Kita juga bukan anak IPA atau IPS lagi, karena fokus kita bukan ke arah pelajaran jurusan.

Atau kita ini siswa? Tidak juga, semua juga tahu kalau itu sudah tidak cocok karena kita bahkan tidak memiliki bangku permanent untuk diduduki.

Kita bahkan bukan lagi anak kecil di bawah lindungan hukum. Bukan kakak kelas berseragam lagi.

Aku merasa seperti orang yang numpang mau coret-coret kertas di bangku dan kelas orang lain. Itu buruk, seandainya kalian mengerti.

Aku hanya bisa mengatakan bahwa itu adalah saat yang tepat untuk pencarian jati diri. Saat kita tidak dianggap bagian dari manapun. Tidak juga siapapun.

Dan itu adalah bagian yang paling besar, saat kita benar-benar ingin keluar dari kondisi itu. Hingga memiliki perasaan yang kuat untuk selesai UAN. Agar benar-benar keluar dari sekolah saja.

Tanpa perduli selanjutnya kita akan tetap sekolah, kerja atau menjadi pengangguran. Tapi, itu adalah masanya kita ingin dilabelkan sebagai sesuatu. Ingin diakui sebagai seseorang.

Setidaknya aku merasa seperti itu.

Kalian tidak perlu jika tidak mau.

***

“Malpira, dipanggil Bu Restu!” ucap Edrik di pintu kelasku.

Dia langsung pergi setelahnya. Aku masih berkutat pada buku UAN yang kupinjam dari Bang Bagas, dan untungnya karena kurikulum yang sama, mungkin soalnya mirip.

“Bentar, ya,” kataku ke Ayu, Dini dan Mita. Mereka mengangguk dan senyum menyemangati.

Di kantor, keadaan cukup sesak. Ada banyak siswa dan guru yang repot dengan kertasnya. Beberapa terlihat mau pergi mengajar anak kelas 2 dan 1.

Saat itu, aku mendengar kebingungan guru-guru soal kurikulum baru dari beberapa meja. Memang di TV dan koran cetak banyak membahas soal K13 (Kurikulum 2013) yang akan dijadikan kiblat pengajaran baru para murid pada saat itu.

Imbasnya, guru-guru takut angkatan kami—yaitu kelahiran 1997 itu—akan mengalami UAN yang berbeda dalam waktu dekat. Seperti penggunaan komputer dan kami belum siap.

Karena bagaimana pun, kami belajar dengan pensil dan lembar bulat terkutuk itu. Juga guru-guru memang sudah fokus mengajarkannya seperti itu selama Try Out.

Dengan adanya kurikulum baru juga, guru-guru harus memperbarui standarisasi pengajarannya. Semuanya jadi seolah pembaharuan. Dan saat aku bilang baru, kuharap kalian mengerti itu.

“Kenapa, Bu?” tanyaku berdiri di samping meja Bu Restu.

***

Pembicaraan dengan Bu Restu sangat menyenangkan, tapi harus diakhiri dengan diriku memberikannya alamat email untuk pengiriman daftar website resmi yang sudah divalidasi dengan kementerian pendidikan berkaitan dengan Pendaftaran Universitas di berbagai kota Indonesia.

Ah terima kasih!

“Lo beneran mau lanjut keluar?” aku mengangguk bersemangat tanpa menatap Mita karena sekarang kami sedang makan di kantin sekolah dan aku sangat lapar.

“Hem... tapi kita beda kota,” ucap Dini bernada sedih dan menyenderkan tubuhnya ke bahuku, dan membuatku mendorongnya karena geli.

“Haha... kan bisa ketemu kalo liburan semester” Hiburku “...lagian gue lebih nyaman di sana karena Bang Bagas juga di sana, lebih mudah kalo mau ngapa-ngapain,”

Sekilat Ayu menarik tisu dari meja makan dan membuangnya ke arahku “Dasar penguntit!” ledeknya sambil tertawa.

“Hahaha...”

Pembicaraan itu benar-benar menyenangkan karena tidak harus buru-buru makan dan memikirkan tugas. Sangat baik.

Hingga harus terhenti saat Geri masuk ke kantin dan berteriak.

"Argh!"

Tiba-tiba dia melemparku dengan salah satu kotak pensil adik kelas yang dia ambil sembarangan dari meja kantin. Dia memandangku dengan wajah yang sepenuhnya memerah, deruan napas cepat, dan tak terkendali. Lalu dia berteriak frustasi.

Aku masih belum bergerak dari tempat dudukku saat kulihat Andri, Pertus, Dimas, dan Rendi datang dari luar kantin dan berusaha memegangnya yang kelihatan mau menyerangku lagi. Sambil dipegangi, tangannya menunjuk ke arahku.

“GUE BENCI LO!”

Aku masih diam. Orang-orang mengerumuniku, terlihat panik sambil terus menunjuk ke arah dahiku.

“Mal, darah,”

Tapi mataku masih tertuju pada pintu kantin. Kulihat Andri, Dimas, Rendi, serta Pertus membawa Geri keluar dari kantin setelahnya. Mereka semua pergi bersama Geri.

Aku rasa itu adalah hari yang kacau sekali. Aku tidak bisa berbicara banyak tentang hari itu. Dan kuputuskan untuk langsung pulang ke rumah dan masuk ke kamarku.

Kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Untuk beberapa saat terasa begitu sunyi, dan berbagai gambar diriku dan mereka yang tertempel sembarang di dinding kamarku terasa tidak lagi nyata.

Satu-satunya yang tersisa untuk terasa nyata saat itu adalah kenyataan bahwa kurasa hari itu adalah akhirnya.

Dan aku tidak memiliki apa-apa lagi untuk dikatakan.

Kudengar Mamaku berteriak menyuruhku makan. Tidak kujawab. Dan setelahnya adalah sunyi lagi. Mungkin Mama berpikir aku sudah tidur.

Benar, aku mau tidur.

***

Haii, seandainya kalian pernah ikut membaca sebelum revisi. Kalian pasti mengerti bahwa ini sudah sangat dekat dengan akhir.

Terima kasih untuk tetap membacanya. Semoga kalian juga mengerti bagaimana rasanya saat itu. Di 2015. Tanpa perlu mengatakan pada siapapun.

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang