Sebenarnya, apapun yang ingin kusampaikan adalah aku bahagia. Sangat bahagia sekali waktu itu. Bahkan seandainya aku marah dan berkelahi. Tidak mudah bagiku untuk mengakui bahwa mereka begitu sempurna untuk menjadi orang yang kuinginkan selalu ada dalam hidupku.
Sejujurnya, aku selalu suka membahas apapun tentang mereka. Seperti menimbulkan perasaan suka yang terus bertambah. Tidak ada alasan untuk membenci masa lalu karena ada mereka di sana.
1 Januari di tahun 2015, aku tertidur hingga siang karena bergadang semalaman bersama jalanan Pattimura dan juga Pak Mahmud sebagai ketua RT-nya. Bahkan Desi yang tinggal di jalan Ibrahim juga datang karena mau.
Hal ini sudah berjalan beberapa tahun belakangan, sebagai penjara untuk orang tua mengurung anaknya dan tidak merasa bersalah saat tahun baru.
Semuanya seru dan ramai. Tertawa dimana-mana. Aku ingin memiliki bagian itu sebagai milikku sendiri saja. Karena tanggal 1 Januari 2015 ini akan jadi milikmu.
“Apaan sih?!” kataku setengah protes dan berjalan menuju teras rumah.
Fero menyebalkan. Kulirik jam dinding yang masih menunjukkan jam 2 siang. Anak tanpa urusan mengganggu jam tidur orang. Aku berkacak pinggang melihatnya, dia terlihat... sudah mandi. Dan itu aneh.
Tubuhnya dibalut pakaian santai dan jaket kulit cokelat. Berdiri di depan rumahku dengan wajah tanpa dosa.
“Ayo ikut,” ajaknya dengan senyum. Itu aneh.
Biasanya, aku akan langsung masuk ke kamar dan mengabaikannya saja. Tapi ini beda. Fero beda. Aku tahu itu sejelas hitam di atas putih. Dia tersenyum. Dan kurasa senyumnya itu tulus. Tapi tetap aneh jika dia yang melakukannya.
Berdasarkan insting takut dia kerasukan, kuikuti dia. Tidak dengan tangan kosong, aku sempat mengambil mistar besi Bagus di dekat pintu untuk jaga-jaga. Mengingat Fero sangat membenciku, aku merasa hal itu perlu.
Sepanjang perjalanan dia hanya diam, berjalan santai. Untuk ukuran anak yang selalu terburu-buru dalam hidupnya dan juga sangat sibuk dengan berbagai kegiatan, aku merasa dia memang sedang tidak normal. Sesekali dia melihat ke arahku, tersenyum dan jalan lagi.
“Berhenti kayak gitu,” ingatku bergidik “..ngeri tahu nggak?”
Dia malah tersenyum lebih lebar, mengangkat bahunya menandakan dia tidak mau berhenti. Lalu kulihat dia girang, dan aku tahu itu adalah dirinya yang sedang senang. Dia jarang senang. Kenapa dia senang?
Fero membawaku ke atap Minimarket, sebuah tindakan penyalahgunaan jabatan. Tapi sebelum itu, dia menahanku di pinggir jalan.
“Malpira,” ucapnya tersenyum. Aku makin takut.
“Apa?!” kubilang sambil mengeratkan tanganku memeluk tubuh. Dia terkekeh. Mematut sepatunya dan melirik sekitar. Lalu melihat ke arahku, mengamati dengan hidung mengkerut dan senyum yang juga tidak pudar.
“Makasih,” katanya pelan sekali “..Malpira,” sambungnya seperti menyebut namaku adalah hal yang penting.
Aku menatapnya sinis, curiga, “Apaan sih?!” kudorong bahunya karena bingung.
“Gue sekolah di sini cuman sampe kelas 3 SD, Mal,” nadanya serius, dia tidak lagi tersenyum “...kalo bukan karena lo, gue pasti nggak bakal berteman dengan siapapun di sini,”
Aku diam. Sorot mata Fero yang sangat bisa kupercayai itu seperti hal paling menarik untuk bisa kulihat. Rasanya tubuhku seperti disengat aliran listrik dan tegang. Lalu aku mengingat beberapa bagian tentang Fero kecil.
“Gue nggak mau, Mal!”
“Gue harus latihan!”
“Jauhin gue!”
“Gue benci lo!”
Tapi kali ini... “Makasih,” lirihnya tersenyum ke arahku. Nada suaranya sangat lembut, sangat jujur, dan bisa kupercayai. Untuk beberapa saat, aku merasa mau menangis karena terharu. Jantungku berdebar kencang sekali, dan aku menahan napas.
“Temenan dengan Duta, sana!” ketus kukatakan begitu dan langsung berjalan duluan, meninggalkannya. Mencoba kembali bernapas.
Mengerikan sekali! Seluruh tubuhku terasa gemetar. Kurasa, aku memang tidak terlalu cocok berada pada kondisi itu. Membuatku merinding.
***
Aku sedikit kaget saat mendengar suara yang cukup berisik dari atap, dan lebih kaget lagi karena di sana sudah ada Geri, Andri, Pertus, Dimas, Rendi dan Duta. Bahkan Bang Bagas, Bagus dan Sella juga ada.
Tidak mau ambil pusing, aku segera berbaur.
Aku tidak ingat jelas apa tujuan perkumpulan hari itu, seingatku acara itu lebih didominasi cerita masing-masing. Seperti Geri yang tidak remedial, dan memang tidak ada satupun anak kelas 3 yang remedial. Itu juga membuatku bingung.
Bagus dan Sella duduk sebelahan. Mereka sedang pamer. Tapi karena kesibukan di kelas 3, kami sudah sepakat mengakhiri kasus mereka selama mereka tidak saling gigit. Kudengar Duta masih sering mengikuti. Tentu dia adalah Abang yang protektif.
Suasananya sangat akrab dan dekat. Hingga kudengar Geri mengatakan sesuatu,
“Nanti kita nggak ketemu lo lagi dong, Fer,” ucapnya girang “...bangga gue!”
Saat itu aku langsung merasa terputus dengan apapun yang sedang kulakukan. Diam. Lalu aku tercenung. Tidak ingin bertanya apapun.
Sella yang mengeluh untuk dekat denganku—karena cuman kami berdua yang perempuan—hanya kubiarkan saja bercerita banyak hal. Sesekali aku mengangguk. Atau menggeleng menanggapinya. Sepenuhnya aku tak menyimak apapun yang dia katakan.
Ada banyak sekali pemikiran di kepalaku. Aku merasa tidak fokus.
“Eh foto dulu!” Teriak Geri dan semua orang merapat ke arahnya “Mal!” panggilnya menyadarkanku.
Aku berdiri dan melangkah ke arahnya pelan. Duduk. Hanya duduk saja.
“Nanti hubungin kita!” ucap Andri memukul lengan Fero sambil terkekeh pelan.
Dan aku tahu satu hal, perkumpulan hari itu untuk melepaskan kepergian Fero.
“Sejak kapan?” nada suaraku sangat pelan, memperjelas bahwa aku sedang begitu menahan emosi yang menguasai diriku secara tiba-tiba. Aku merasa sangat perlu tahu sejak kapan dia menyepakati kepergiannya ini.
“November, Mal,” dia menjawabku dan sisanya aku tak berbicara apa-apa lagi.
Apa aku pernah bilang Fero bersekolah di sekolah khusus atlet? Dia mendapat kontrak dengan salah satu klub Indonesia di Liga 2 yang berpusat latihan di daerah jawa. Sekitar 2-3 tahun. Aku tidak terlalu fasih.
Aku sangat malas membahas ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Подростковая литература3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...