Sekarang, saat aku keluar rumah sudah jam 8 malam. Sedang hujan lebat. Aku agak khawatir perumahan di dataran lebih rendah dekat Masjid sudah tenggelam. Semoga aja nggak.
“Andri!!”
Yap! Aku sedang di teras rumah Andri dan marah. Sedikit basah pada bagian rambut dan baju. Dingin.
Teriakanku beradu dengan gedoran pintu dan suara petir. Tapi si mager emang setan! Aku harus menunggu cukup lama buat liat lampu rumahnya hidup dan mendengar suara langkah kaki.
Pas pintu kebuka dan Andri nguap, aku langsung lari masuk ke rumahnya. “Gue nginap!” kulewati dirinya yang kaget. Berlari ke arah tangga lantai dua.
“Tidur di kamar Nia!” teriaknya dari bawah. Aku berteriak Iya! Sekeras mungkin.
***
Nia adalah tante Andri. Masih muda. Sedang S2 dan jadi jarang tinggal di rumah Andri. Tapi, kalo kalian masuk kamar Tante Nia, kalian bakal ngerasa masuk ke kamar bocah SD. Semuanya pink. Semuanya boneka. Semuanya Hello Kitty.
Seandainya kalian bertanya orang tua Andri, jawabannya adalah tidur.
Kulempar semua boneka-bonekaan itu menjauhi ranjang untuk memperjelas daerah kekuasaanku. Dari luar, kudengar Andri teriak-teriak ke arah rumahku.
“Woy! Malpira ngapa?!”
“Sintiiiing!” suara Geri ini sudah kutandakan untuk diberi pelajaran.
Aku nggak terlalu fasih menguping jawaban dari rumahku setelahnya. Karena suara mereka bertindih bersama hujan, petir dan suara khas kue Putu lewat. Kalo nggak salah sih, ada yang teriak buat nurunin harga cabe. Nggak ngerti deh.
Ini juga alasan aku kabur dari rumah. Dengan alasan ngawasin Bagus, mereka semua nginap di rumahku. Duta, Geri, Dimas, Pertus bahkan Rendi!
Padahal, aku yakin Rendi nggak bisa tidur tanpa nyokapnya. Semoga aja Nyokap Rendi nggak ikutan tidur di kamar Bang Bagas. Dan Aamiin.
Dasar antek-antek modus! Sok bawa-bawa nama Bagus buat nginap! Cuih! Padahal aku tahu benar kalo ini karena Mamaku masak nasi tumpeng buat ngerayain kelahiran Iis—Anaknya si Pupus—Kucingnya Bagus.
“Mal?” panggil Andri dari luar pintu kamar.
Itu membuatku harus repot-repot keluar dan menjadi bete. Malah saat aku keluar, dia melemparku dengan handuk. Berdiri di batas lantai dua, menyandarkan kedua lengannya dengan tampang beku.
Aku menatapnya kesal dan bersandar di dinding luar kamar sambil mengelap rambut dengan handuk. Ini adalah alasan aku nggak pernah bilang Andri baik kayak aku ngomongin Pertus. Walau paling dekat denganku dan juga mukul Geri kalo ganggu aku, dia ini nggak baik!
“Kenapa dengan yang lain?”
“Kesal gue! Mereka nginap di kamar Bang Bagas trus berisik,”
“Gimana?”
Jadi, mereka itu sok sinetron banget. Ngaung gitu, niruin Sinetron GGS yang hits di tahun itu. Ngetok-ngetok pintu, kalo aku keluar mereka ngumpet. Malah ada yang sampe nyanyi lagu lingser wengi!
Setan!
“Udah makan nggak lo?” alih Andri setelah kuceritakan panjang lebar. Aku geleng. Andri menghela napas, pergi turun ke lantai bawah, ninggalin aku sendirian.
Tak lama, kudengar suaranya berteriak dari bawah “Malpira? Mienya mau direbus atau digoreng?”
Aku mau ketawa. Tapi teriak dulu...
“Direbus!”
Hahaha....
***
“Kalian kenapa sih ke sini?!” tegasku gerah.
Geri, Dimas, Pertus, Rendi, Duta bahkan Fero sudah duduk di meja makan. Rendi dan Fero duduk di sebelahku. Kulirik Fero sinis. “Lo juga ngapain, coba?”
“Baru pulang kerja,” dia bilang sambil ngeletakin tas di pinggir kursi.
Mereka semua ketawa-ketawa membahas berbagai hal. Aku nggak. Ketawaku yang tadi sudah hilang. Udah diambil dengan semua siluman ini.
Lupakan! Semua pikiran indahku buat makan dengan nyaman dan tidak mati tersedak takkan mungkin terkabul. Ini menyebalkan. Aku ngelirik jam dan menyadari ini masih jam 9. Fero terlalu cepat pulang. Dan seharusnya dia bukan orang yang suka berkumpul seperti ini.
Ditambah lagi kelakuan Pertus dan Geri yang heboh banget masak mie doang. Kulempar kepala mereka dengan sendok.
“PLASTIK SAOSNYA JANGAN DIMASUKIN, BEGO!!” teriakku tak tahan.
Tapi mereka tak merespon, cuman si Geri saja berbalik sambil menunjukkan kepalan tangannya ke diriku. Tentu saja, aku tidak takut. Malah makin kesal. Memikirkan aku harus makan dengan mereka saja membuatku ingin muntah.
Kuputuskan berdiri dan pulang. Tapi, diantara kerusuhan itu, seolah menyadari sikap berdiriku, Fero menahan. Dia menarik tanganku pelan untuk tetap duduk di sebelahnya. Aku melihat ke arahnya dan merasa aneh.
“Sini aja, Mal,” ucapnya lembut. Nyaris tak bisa kudengar hingga membuatku menurut begitu saja.
Ingatlah bahwa Fero adalah bocah jahat yang tidak ingin berteman denganku. Memiliki mulut beracun dan suka berdiri sendiri. Sangat tertutup.
Sekarang, yang sedang kulihat adalah Fero yang ramah. Menceritakan hal lucu soal pelanggannya. Ikut tertawa dan terlihat bersikap akrab. Aku hanya merasa aneh untuk itu hingga menatapnya dalam diam.
Sambil memikirkan kenapa sih aku disuruh tetap di sini? Belajar sabar?
Terlepas dari apapun yang kupikirkan, aku tetap duduk di sebelah Fero.
Aku merasa seperti tidak enak untuk pulang karena Fero jarang seperti ini. Dan juga masih merasa aneh. Dia tertawa. Maksudku, apa yang membuatnya begitu senang? Makan mie bareng? Sungguh standar kebahagiaan yang cetek.
***
A/n maaf karena ini lama banget
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Ficção Adolescente3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...