Hampir dua minggu setelah kejadian di teras, aku nggak mau ketemu Rendi. Rasanya mau kupites si kutu kupret itu setiap manggil nama aku kayak orang tuanya. Tapi dibanding Rendi, aku lebih malas bahas Dimas. Karena nih anak panikan. Banget!
Aku ingat dulu juga pernah satu SMP dengan dia dan walaupun cuman sekelas di kelas 2, aku ngerasa kalo kiamat udah terjadi 268 kali selama setahun. Sungguh kejadian yang ironis dalam masa pendidikan penerus bangsa.
Dari kecil emang gitu, Dimas adalah orang kedua setelah Geri yang paling dekat denganku, jadi aku tahu. Aku masih ingat dibodohi kalo pesawat itu jenis penculik yang Glamour. Dua tahun setiap dengar pesawat, aku tiarap dan ada juga yang sampe masuk Got bareng Andri dan Duta. Iya, mereka juga dibodohi Dimas.
Tapi pas mulai kelas 3 SD, aku tahu kalo pesawat itu ikan terbang. Baru tahu pesawat itu pesawat pas kelas 6 SD sih. Ah nggak penting kapan aku tahu pesawat! Yang penting, si Dimas ngeselin!
"Mal, aku nggak mau masuk ke dalam kolam ih," katanya pas kami mau ujian praktek kelas 1 SMA dulu.
"Kenapa lagi?!" kutanya dengan nada marah.
Padahal sebelum itu aku udah kesusahan buat ngeyakinin dia ganti baju renang. Karena dia takut ada hantu di kamar mandi. Penting banget.
"Lo tau kan Jessabell mati di kolam!"
Aku geleng, waktu itu aku nggak tahu. Tapi seminggu sesudah kejadian itu, aku cari tahu. Jadi, si Jessabell ini baru lahir dan kulitnya hitam. Padahal kedua orang tuanya kulit putih. Si Ibu selingkuh. Si Ayah marah. Jadi bayinya di buang ke kolam. Jadi hantu. Gitu.
"Udah deh, Dim!" biasanya ini kalimat andalan banget kalo dia udah aneh-aneh.
Kayak sekarang....
"Malpira! Gue NGGAK bakal masuk lab. Bahkan kalo lo MUKUL gue!!" teriaknya lantang di depan muka bumi dan bisa didengar ribuan makhluk maha salah paham. Seolah yang kubisa hanya memukul anak orang.
Aku menatap sinis ke arah Geri dan Rendi. Ini pasti ulah mereka yang meminta bantuanku. Padahal ini sudah kelas 3 dan bukan pertama kalinya Dimas harus ke lab, tidak mungkin gosip hantu cewek di lab itu menganggunya.
"Kenapa sih ini?!" kutanya Geri dan Rendi kesal.
"Hari ini kami praktek bedah kodok, sekelompok Dimas. Gue nggak tahu dia takut kodok. Sial banget gue," terang Geri yang masih gelap.
"Trus hubungannya dengan gue apa coba?!"
"Terserah deh, Mal. Lo hubung-hubungin aja. Lo pukul kek biar amnesia trus dia jadi lupa takut kodok." Geri menyusun rencana "Hah! Lo buat dia takut tiang, clear!" dia menunjuk ke arah Dimas yang pegangan dengan tiang.
Aku menatapnya tak semangat. Amatiran! Dia kembali ngejelasin kalo yang aku bisa cuman mukul. Aku menghela napas pasrah.
"Kenapa lo takut kodok?!" kutanya Dimas. Kita juga harus tahu dong penjelasan dari pihak bersangkutan.
"LO TAU NGGAK SIH SAMPEL PERCOBAANNYA KODOK?!"
Plakk...
"Nggak usah teriak-teriak!" patenku sambil mengangkat kepalan tangan di depan wajahnya.
"SAMPELNYA ITU KODOK, MAL! KODOK! LO TAU KAN KALO PIPIS KODOK BISA BUAT KITA BUTA! BUTA MAL. NGGAK BISA LIAT!"
Cih...
"Dim, itu cuma kodok. Lo cuman harus masuk. Pegangin kodoknya. Tutup mata lo dan selesai. Biarin Geri yang ngulitin. Nggak ada yang harus ditakutin." Ucapku tenang "DAN GUE TAU KALO BUTA ITU ARTINYA NGGAK BISA LIAT!"
Aku menarik napasku mencoba kembali santai. Percayalah, aku sudah sangat sabar kali ini. Tapi Dimas malah natap aku seolah terluka.
"Lo tau nggak sih kalo prakteknya ngulitin kodok? Dikulitin! Lo pikir tuh kodok nggak bakal pipis dikulitin?! Respect gue sama lo,"
Tiba-tiba dia natap aku hina.
HINA!
HINAAAA YA ALLAH!!!
Aku memajukan langkah dan berkacak pinggang di depan Dimas. Menyingsing lengan baju seragamku ke atas dan berkacak pinggang lagi. Lalu meledak...
"SIALAN! Lo tuh tinggal masuk aja, Bego! Urusan tuh KODOK mau pipis atau nggak ya urusan dia! Lo mau masuk sekarang ato gue congkel tuh mata biar langsung buta?!"
Dimas istighfar. Langsung lari masuk ke dalam labor. Dadaku naik turun nahan kesal. Aku siap menyeruduk siapapun sekarang.
"Kalian juga apa lagi?! MASUK SEKARANG!!" teriakku ke Geri, Rendi, dan Andri yang yang lagi cengo.
Mereka langsung masuk sambil bisik-bisik...
"Kasian Dimas ya, pasti beban moril banget dapat tindakan pengancaman..."
"Aku dengar ada pasal pengancaman gitu, salahnya kita anak IPA bukan IPS, jadi nggak ngerti. Kasian kita ya,"
"Iya, kasian kita,"
Terserah! Bodo amat!
***
Aku sembunyi dari Dimas. Hari ini sudah ke 3 kalinya. Sekarang dia lagi di depan pintu rumah.
"Malpira! Malpira!"
Setidaknya udah 15 menit terakhir dia teriak-teriak gitu. Dan selama 15 menit pula, aku ngelilingin rumah nyari tempat ngumpet paling ampuh. Tapi keliatannya.... Cemen.
Aku mendengus malas saat Bang Bagas bawa Dimas masuk ke rumah. Kutonjok bahunya hanya untuk menyampaikan kesal dan segera menarik Dimas kembali keluar.
"Kenapa?" kataku malas sambil gulungin tangan di dada.
Dia ngerogoh saku jaket trus ngeluarin flashdisk 16 GB. Dia bilang isinya film Naruto gitu.
"Rendi yang bilang?" kataku sambil ngambil Flashdisk.
"Nggak bilang sih, ada cerita aja. Keliatannya dia nggak punya lagi, jadi gue copy-in aja punya gue," aku ngangguk-ngangguk
"Ya udah, gue pulang, ya, Mal?" retoris.
Udah gitu doang?
Aku ngangguk walaupun bingung. Trus dia langsung pulang. Dan tiba-tiba aku ngerasa jadi nggak enak udah ngacangin dia berdiri lama di depan rumah. Aku rasa itu adalah hal yang buruk. Terus kepikiran sampai lupa ngasih FD-nya ke Bang Bagas.
Besoknya, aku buatin Dimas nasi goreng. Kuletakin aja di laci mejanya. Dimas nggak bisa makan-makanan siap saji dari kantin. Karena ada alergi dari kecil. Makanannya harus benar-benar bersih.
Aku tahu Dimas makan karena dia nganterin kotak bekal kosong ke kantin pas aku makan di kantin.
"Makasih, Mal," katanya. Aku cuman berdehem ngambil kotak makan dan ngeletakin di sebelahku. Nggak liat Dimas karena sibuk makan bakso.
***
Hai, Dim!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Novela Juvenil3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...