15|| Teripang tamak

576 86 20
                                    

Bel pulang sudah berbunyi, aku sudah di luar. Mau pulang. Hari ini tidak ada les karena guru rapat dan aku capek. Samar-samar kudengar langkah kaki mendekat, bergemuruh, menyebut namaku dan tentu aku tidak menoleh. Buang-buang waktu!

“Bagus ciuman!” ucap Geri sesak. Membuat langkahku terhenti dan memandangnya tak percaya “...buruan!” sambungnya sambil mengamit tanganku dan kubiarkan.

Kalau tidak, dia bisa saja kehilangan kekuasaan untuk mengendalikan tangannya lagi, kurasa.

***

Moses Geri Brengsek, kalian sudah tahu itu. Sekarang yang perlu kalian lakukan adalah mengerti bahwa sebenarnya dia ini Teripang, binatang laut yang kalau jalan gesek dan nggak punya otak.

Aku duduk di pinggir lapangan, menyirup pelan minuman dingin yang sudah dipesan beberapa gelas. Dan terlihat biasa saja. Tidak perlu marah. Santai.

“Mal,” tegur Rendi seperti kaget tapi juga senang karena dia tidak bisa menyembunyikan perasaan itu. Kuanggukan kepala membalasnya “Udah lama?” tanyanya antusias.

“Baru,” kukatakan dengan tidak terlalu perduli.

Mereka semua menggunakan baju bebas, termaksud Geri karena dia membawa baju salin. Aku tidak. Sebenarnya aku terlihat kacau dengan baju sekolah yang sudah dikeluarkan, muka kusut, belum makan dan nyaris kembung karena es.

Mereka yang kumaksud adalah Andri, Dimas, Rendi, dan Pertus yang sekarang sedang main bulu tangkis dan tidak ahli. Mereka menyewa lapangan konvensional di pusat kota yang dibatasi dengan jaring-jaring hitam menyebalkan.

“Main, Mal!” teriak Dimas dari lapangan, aku menggeleng tidak tertarik.

Saat itu Geri keluar dari kamar mandi, baru ganti baju dan berjalan terkekeh ke arahku. Dia merasa menang atas apapun hal yang mungkin merugikanku. Aneh!

“Nggak usah sok, gue nggak mau jadi pasangan lo,” kubilang karena aku tidak mau main, bukan karena marah. Nadaku juga sangat rendah. Tapi Andri sudah dengan Rendi, Dimas dan Pertus. Tidak mungkin Geri main bulu tangkis sendiri.

“Siapa juga yang mau main dengan lo, Jomblo!” sengaknya lalu tertawa garing, aku hanya mendengus malas. Samar kudengar langkah kaki mendekat, Fero di sana dengan tas raket dan siap main. Mengesankan!

“Ayo, Fer!” ajaknya dan mereka langsung ke lapangan. Membuatku menggeleng takjub. Seandainya kalian tidak, kurasa kalian harus.

Seiring Fero pergi, aku menyadari bahwa ada Duta di belakangnya. Masih menggunakan baju sekolah karena mau. Dia mengambil duduk di sebelahku dan minum sesukanya.

“Dari sekolah?” kutanya karena bingung. Dia menggeleng.

“Nggak, nemanin Fero dulu ke lapangan provinsi, buru-buru jadi langsung jemput,”

“Kok dia udah siap gitu?” sinis kukatakan. Maksudku, dia baru dari lapangan bola kaki provinsi dan ke sini buat main raket? Kayak tukang selingkuh.

Duta melihat ke arahku dengan kening mengkerut, seperti bingung kenapa aku menanyakan itu. “Anak-anak udah janjian ke sini dari minggu kemarin,” acuhnya “Sekalian nemanin Fero latihan fisik,”

Oh!

“Mungkin mereka nggak ngasih tau lo karena lo pasti nggak mau ikut,” sambungnya tanpa kutanya. Dan aku tidak perduli.

***

Aku sudah tahu ini tidak akan sepenuhnya olahraga. Tidak sopan menggunakan nama kebugaran dalam rencana licik siluman-siluman kurang makan ini. Bahkan seandainya mereka bersikeras, akan kukadukan ke Menteri Olahraga, biar malu.

“Gue main 3 set, Mal,” rengek Geri lagi, masih berusaha menarik mangkuk mie ayamku. Kuketuk kepalanya yang kosong itu dengan sendok.

“Lepasin!” ingatku mengancam. Membuat dia mau tak mau harus menurut.

Kuletakkan kembali mangkuk itu ke lantai lapangan, mengaduk kecap dan saos dengan profesional.

Langit sudah gelap saat mereka selesai main, dan karena sudah tidak tahan lagi, kami memesan makan. Kami butuh itu. Untuk duduk lesehan di lapangan membentuk lingkaran mencong yang tidak teratur.

“Gue nggak tahan! Gue butuh semangkuk lagi!” geram Geri dan akhirnya berlari keluar lapangan untuk kembali memesan. Aku hanya menggeleng malas menatapnya.

Kulihat ke-enam orang lain yang masih tersisa, makan dengan tergesa dan peluh yang banjir. Mereka seperti baru terjebak di hutan dan siap saling memangsa.

“Balikin bakso gue!”

“Satu aja, Fer,”

“Geri pesanin baksonya doang!”

“Gue butuh minum deh,”

“Jangan minum es!”

Mengesankan.

Aku berusaha tidak terpengaruh dan makan pelan-pelan, menjauh dari kerusuhan itu dengan niat. Tapi entah apa yang mereka pikirkan hingga kompak melihat ke arahku dengan mata itu. Mata membidik.

“Jangan macam-macam,” ingatku.

Lalu tiba-tiba mereka berteriak, menyerang, merampas mangkuk, berlari ke ujung, memakan mie ayamku dan kupukul semua kepala kosong itu dengan sendok.

Berani-beraninya!

Saat kulihat mangkokku sudah kosong dalam sekejab, aku kesal, kutarik tasku dan segera mau pergi. Dasar sialan! Jahanam!!

Mereka menghalangiku “Mal, kita minta maaf,” ucap mereka tumpang tindih dan tidak tulus. Aku memutar mata jengah dan membelah kerumunan itu untuk segera pergi.

"Lo tahu, Mal. Itu jiwa alam liar! Bukan kita!!" teriak orang yang kuduga Rendi tapi aku tidak perduli.

Geri yang baru memesan mendatangiku, tangannya terentang, menghalagi. Kutatap dia sinis dan kurasa dia menjalin kontak dengan para siluman di belakangku. Dengan berat dia menghembuskan napasnya dan memberikanku mangkuk mie ayamnya.

“Ya udah, ini,” katanya. Kuambil mangkuk itu dan menjatuhkan tasku sembarangan.

Membawanya kelapangan tengah karena terang. Melewati para siluman Teripang itu.

"Jangan lagi," ingatku saat mereka menatap sexy mangkok ditanganku.

Dan mereka cengengesan.

"Satu suap doang, hehe..." ucap Dimas berani-beraninya mengacungkan telunjuk.

Kulempar dia dengan sepatu!

***

Makasih 👓

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang