Ada hal yang sangat sulit untuk kujelaskan tentang kedudukan kedua anak puber ini, mereka hanya menjadi begitu berharga bagi kami semua. Itu berjalan begitu saja dan membuat kami merasa perlu khawatir atas segala hal.
Dan seandainya kalian tidak mengerti, terserah!
Usut punya usut, ternyata kemarin Bagus dan Sella nggak bolos. Mereka cuman jadi utusan sekolah buat ikut seminar pelopor keselamatan berlalu lintas yang diadakan polantas menjelang operasi zebra akhir tahun.
Apalagi sekarang udah November.
Yang jadi masalah adalah kenyataan aku belum ketemu batang hidung Fero. Kalo ketemu, kupastikan dia tamat.
“Gue ke rumahnya sih, nggak ada,” kata Dimas pas kutanya. Otak licikku sudah memberikan penjelasan bahwa Fero sedang rese. Dan aku mengatakan dengan lantang bahwa dia bisa saja mati karena bercanda.
Dimas dan Andri cuman ngeliat aku dengan tatapan pengertian. Hari ini mereka ke rumahku karena kami mau main Kartu Remi.
“Udah-udah, lo bakalan bunuh Geri kalo gini terus,” nasehat Andri mulai bijak.
Aku dan Geri sudah sepakat sejak pulang sekolah untuk saling jambak-jambakan. Tidak akan kuberikan kesempatan setan gila ini mengambil alih tubuh sahabat keritingku secara terus menerus.
“Nggak. Bakal.” Kompakku dan Geri dengan saling menatap tajam.
Dimas dan Andri menghela napas lelah.
“Ck... kalo gini gimana mau main, coba?”
Walaupun nada Andri selalu terkesan otoriter, aku dan Geri tidak sedang dalam mode menurut. Sorot mata kami masih saling menatap dengan kebencian.
“Apa lo?!”
“Apa?!!”
“Maksud lo apa ngejar gue?! Kesurupan lo?! GUE SAMPE KEHABISAN NAPAS DI LAPANGAN TAU NGGAK?!!”
“Iya! Gue kesurupan! Mau makan BELING!!”
“Halah! Gitu doang lo ambil hati! Cewek lo!” kudorong Geri setelah melepaskan jambakan pada rambut keritingnya itu, diikuti dirinya juga yang melepaskanku.
“Gitu doang?! Lo nyuruh gue ngunyah beling, Mak Lampir! Eh? Lo pikir gue limbad?!”
Tidak kujawab. Aku berdecak malas, mengalihkan wajahku dari setan ini. Drama banget. Kalo dia nggak mau kan nggak perlu dilakuin juga. Dasar manusia biri-biri!
“Udah deh, mau main nggak nih?!” kontan Dimas bete.
“IYA!” teriakku dan Geri kesal.
***
Saat akhirnya aku tahu Bagus dan Sella pacaran, rasanya aku mau merombak tema buku ini menjadi Taktik mutusin pacar Adek curut yang nggak tahu diri. Karena aku merasa tidak mengenal Bagus lagi.
Aku merasa jadi orang yang paling tidak aman di muka bumi, menduga-duga hal buruk dan merasa khawatir setiap saat. Hal itu membuatku cukup banyak menabung dosa walau sudah shalat Ashar hingga membuat pencernaan tidak lancar.
“Mal!”
Aku berbalik sambil memegang kresek isi yakult yang baru kubeli di warung Mang Didin. Menatap Rendi dengan mata menyipit. Sekarang, cowok ini tambah udik, bagaimana bisa dia menggunakan payung di tengah gerimis biasa seperti ini? Sungguh membuatku malu.
“Kenapa sih pake payung?” tanyaku risih sendiri. Dia malah nyengir dan tidak menjawab. Membuatku jadi memikirkannya sendiri.
Astaga! Dia kan penyakitan! Kenapa aku bisa lupa?
“Oke, maaf,” sambungku mengalah dan membuatnya tertawa.
Dia berjalan mendekat, membuat payung itu juga melindungiku dari hujan yang bagiku bukan masalah. Tapi aku juga nggak nolak. Biarin aja deh.
“Lo ngancurin harga diri gue banget,” sinisku mengingat aku sedang di bawah payung. Berlindung. Padahal dunia masih damai.
Dia terkekeh pelan, seharusnya dia cukup tahu bahwa harga diriku sangat mahal. Dan kuacungkan jempol atas dirinya yang meminta maaf walau sambil cengengesan.
“Gue traktir deh?” rayunya lagi.
“Oke, gue nyerah,” kalahku akhirnya dan membuat dia cukup bisa membanggakan diri hingga bersikap narsis menyisir rambutnya dengan tangan. Aku hanya menipiskan bibir meledeknya. Sungguh menggelikan.
***
“Rendi! Pake saos!” geramku memaksanya.
Dia geleng-geleng kepala dan memasang ekspresi takut. Aku menatapnya tegas agar dia memberikan mangkoknya padaku sekarang juga sebelum kuhajar.
“Nggak, Mal,”
“Gimana sih, nggak pake cabe! Nggak pake saos! Cuman kecap doang?” tegasku lagi merasa kesal “Bayi lo! Siniin!”
Aku sudah tidak tahan lagi, Rendi tak bisa terus mempermalukanku dengan sikap cemennya ini. Setidaknya dia temanku. Dan dia harus bersikap lebih berani menghadapi dunia ini.
Mimik wajah Mang Udin yang memperhatikan kami berdua sedari tadi terlihat seperti orang khawatir. Tentu dia takut mangkoknya pecah karena tidak akan kami ganti.
“Gue malu dengan Mang Udin, ah, Ren! Siniin!” tegasku dan membuat Rendi makin kencang geleng kepala.
“Enggak papa, Neng. Eii.. Mamang tutup mata deh,”
Apaan sih?
Aku melirik Mang Udin dengan sinis sambil masih mengancam Rendi untuk memberikan baksonya agar kuracik sesuai resep makan bakso seharusnya.
“Nggak, Malpira. Gue nggak mau usus buntu!”
“Iih.. nggak bakal usus buntu kalo makannya sedikit, Rendi!”
“Oke-oke,” kalah Rendi akhirnya “Mang, pesan satu mangkok lagi buat Malpira,”
Aku menatapnya kecewa, akhirnya kulepaskan mangkoknya itu. Dan membuat dia berhasil kembali hidup dalam kecemenannya. Aku dengan mangkok bakso keduaku. Kami berdua memilih jalan hidup yang berbeda.
Kami berdua bertemu Mang Udin di dekat tempat kerja Fero. Di toko yang biasanya jadi tempat jual sayur kalo pagi, sekarang sedang tutup. Dan syukurnya ada meja dan kursi kayu. Itu membuat aku dan Rendi tak perlu makan sambil jongkok.
Sekarang, hujannya sudah deras. Tidak gerimis seperti tadi. Aku bahkan bisa lihat pohon sawo di depan rumah toko sayur ini basah kuyup sampai ke batang bagian dalam.
“Mang, satu,” ucap seseorang dengan nada berat yang bercampur dengan suara rintik hujan. Seseorang cowok berjaket hitam dan baju sedikit basah.
“Eh?” kagetnya saat melihatku yang menatapnya malas.
Tapi dia berusaha terlihat kembali biasa dengan mengacak-ngacak rambutnya biar lebih kering sambil jalan ke arah kursi di samping Rendi.
“Ta? Makan?” kaget Rendi yang baru sadar.
“Lagi dipesen,” ucapnya pelan dan membuat Rendi mengangguk.
Aku masih melihat ke arah Duta dengan alis menyatu. Sangat intens hingga berhasil membuatnya risih dan bersuara.
“Kenapa?!” intonasinya menaik. Kutunjuk Rendi.
“Masa dia makannya cuman pake kecap,” kaduku mencari koalisi dan ternyata dia kembali diam setelah menatap mangkok Rendi. Tak peduli. Dan membuat Rendi tertawa merasa memiliki kemerdekaan atas makanannya sendiri.
“Sialan lo, Ta!” kataku kesal dan dia tetap makan.
Kuambil mangkok cabe di depan Rendi dan ngasih 2 sendok penuh cabe ke bakso Duta karena kesal. Sayangnya aku lupa, Duta itu suka pedas.
“Makasih, Mal,” dia bilang.
Aku cuman berdehem sambil menelan kekecewaan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Ficção Adolescente3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...