16|| Rencana berbasis menyan

618 89 27
                                    

Walau IPA 5 beda satu kelas dengan IPA 3, aku, Geri salut, Andri dan Pertus tetap baris sebelahan pas Upacara. Iya, ini senin. Dan jangan tanya soal Rendi atau Dimas, mereka berdua memang setidak solidaritas itu.

“Bagi permen, Ger,” kujulurkan tanganku sambil mengawasi pidato Pak Kus yang khidmat saat Geri memberikan itu secara rapi. Kegiatan ilegal ini berhasil dilaksanakan tanpa kecurigaan.

Kami memang profesional.

Fokusku terganggu ketika ponsel di saku rok bergetar. Aneh. Awalnya, aku berniat untuk mengabaikannya saja. Tapi pas liat para curut pada ngecek ponsel, aku jadi penasaran. Dengan kemampuan penyeludupan yang mumpuni, aku bisa ngecek BM dan tahu itu dari si kutu kupret Fero.

    Fero    : bagus sella bolos!

Entah apa yang kupikirkan saat itu hingga tiba-tiba berteriak cukup keras. Napasku tertahan seketika, seluruh lapangan terasa sunyi mendadak.

Pak Kus cengo. Guru-guru pada nunjuk ke arahku. Semua siswa melihat ke arahku, kecuali Geri di sebelahku yang terlihat polos masih menatap ke depan. Dan aku mau mati.

“KENAPA ITU DI BELAKANG?!”

Benar, mati pasti lebih baik.

Lidahku keluh, seluruh titik sarafku mati, meng-kaku, menyebabkan aku seperti patung dengan balutan kulit lembut dan bego. Napasku tak terasa menderu lagi saat beberapa guru piket terlihat berjalan ke arahku.

“Psstt, pura-pura pingsan, Mal!” bisik Geri tanpa melihatku.

Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke tanah diikuti suara teriakan khas anak perempuan yang kaget. Geri sialan yang berdiri di sebelahku, yang menyarankan hal bodoh ini, membiarkan kepalaku menghantam tanah begitu saja. Tidak menangkap. Malah nyaris diinjak.

Dasar Iblis!

“AMBULANCE!! MALPIRA MATII!!”

Aku menahan napasku dengan tangan terkepal, dari pada terlihat peduli, ucapan Geri malah terdengar seperti kutukan yang ingin kutepis. Kurasa dia berjongkok di sebelahku karena keberisikannya itu.

“PMR!!” teriaknya berdiri dengan nada keras. Hal itu malah membuat siswa siswi panik dan heboh. Aku sampai ngeri terinjak karena mereka pada mendekat. “MALPIRA, INI GUE, MAL!!”

“MALPIRAAAA, JANGAN PERGII!!”

Buat kata-kata terakhir itu, aku berhasil mencubit betis Geri sampe merah! Sumpah, aku benar-benar tidak tahan. Dasar mulut rongsokan! Sialan!

Tubuhku digotong dengan anak PMR ke UKS. Sayup-sayup kudengar para Guru nenangin Geri yang masih maksa-maksa ikut ke UKS.

“MALPIRA, Buk! Aku harus jagain Malpira!!”

Halah! Dia itu mau ikutan bolos!

***

Di UKS, aku nggak berhenti BM Fero. Tapi nggak dibalas sama dia. Aku makin penasaran ngapain Bagus dan Sella bolos? Mana bisa mereka main layangan! Punya ID Game juga nggak kalo mau ke warnet. Kukatakan saja hal itu membuatku tambah panik.

Kurebahkan tubuhku kembali ke kasur ketika dua anggota PMR, yang kuyakini adik kelas, masuk ke UKS.

“Mukanya merah, nggak pucat, kok bisa pingsan, ya?”

Di telingaku, dari pada pertanyaan, itu lebih mirip nyindir. Tentu saja aku tetap memejamkan mata dan tidak mencakar. Tidak menyerang. Dan tidak ketahuan mengutuk mereka supaya jatuh di lapangan basket.

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang