30| dan seterusnya...

654 88 40
                                    

Saat semuanya memburuk, aku sadar. Banyak hal yang bisa melukaiku, bertemu mereka, tidak bertemu dengan mereka. Sangat sulit bagiku untuk tahu apa yang aku mau. Dan waktu berlalu.

Kejadian di kantin hanya sebuah proklamasi bahwa kami benar-benar sudah dalam keadaan tidak baik untuk bersama. Bagiku, tidak mudah untuk datang dan baik-baik saja. Kejadian saat Fero pergi, bukanlah hal pertama yang kurasakan.

Aku merasa seperti berbeda. Terpisah dari orang-orang yang aku sayangi. Menjadi seseorang yang tidak bisa dianggap sama adalah perasaan yang buruk untuk dirasakan. Dan saat aku bertumbuh, hal itu menjadi kenyataan.

Dulu aku tak pernah benar-benar memikirkannya, kami hanya terus berteman dan saling bermain. Jenaka memikirkan bahwa akhirnya aku akan berakhir hanya sebagai perempuan yang bukan siapapun.

Laki-laki menjadi dewasa dan menyadarkanku bahwa pertumbuhan fisikku sangat tidak mungkin menyamai mereka. Saat akhirnya aku sadar mereka mulai bertumbuh dewasa, mereka meninggalkanku. Atau, aku tertinggal.

Tidak bisa menyamai mereka. Kekuatan. Kecepatan. Ketahanan tubuh. Aku tidak bisa mengimbangi mereka sekeras apapun aku berusaha.

Kecuali egois, aku baik dalam hal itu. Sama seperti mereka.

“Mal, liat ke sana mulu, mau ke sana?”

Aku menggeleng.

Kadang, aku merasa sangat dekat dengan mereka. Tahu banyak hal tentang mereka. Menghabiskan banyak waktu untuk bersama mereka. Tapi, kenyataannya, sekarang aku duduk di kantin bersama Mita, Ayu, dan Dini.

Tidak ada mereka.

Saat aku melihat kaca rautan pensil di UAN, Geri tidak melihat ke arahku. Tidak ada jawaban. Tidak ada pertanyaan. Rasanya, semuanya adalah hening. Hal-hal terus berjalan dan sekolah mengadakan perpisahan. Aku tidak datang.

Hal itu membuatku harus mencari banyak alasan untuk dikatakan ke Dini. Dan membuat teman-teman kelasku menghubungiku.

“Cepat sembuh, ya, Mal,”

Aku hanya tidak ingin merasa kosong. Aku tidak ingin duduk di satu tempat dan merasa konyol. Itu bukan aku. Dan aku jadi aku saja.

Yang egois.

***

“Malpiraa! Banguuun!”

Aku sedang di kamarku bersama lagu Musikimia yang saat itu populer, apakah harus seperti ini?

Dengan perasaan terhipnotis akan lagu itu, bersama dengan keadaanku yang terjaga dari jam 2 pagi. Kurasa, efek sering begadang beberapa bulan ini memiliki pengaruh yang cukup besar.

Teriakan Bang Bagas itu kuabaikan karena mau. Dia memang berisik. Jadi kubesarkan saja volume di laptopku. Tapi dunia belum benar-benar berakhir, dan Ungu Band baru mengeluarkan album berjudul Mozaik di tahun itu.

***

Sore selanjutnya, aku duduk di beranda rumahku. Jalan Pattimura pertengahan April 2015.  Anginnya masih sama. Masih dingin dan tenang. Langitnya mendung tapi tidak hujan. Dan aku merasa begitu sepi.

Aku merasa seperti kehilangan separuh diriku saat itu juga. Tiba-tiba di mataku adalah gambaran Dimas datang ke rumahku saat kecil dan menangis. Gambaran aku tertawa karena Geri melakukan Chicken dance.

Gambaran kami sedang duduk-duduk dan meyakini Pattimura akan diserang Akatsuki dan tidak benar adanya. Lalu Nantulang datang mengejar kami dengan sapu lidi karena belum mandi.

Aku merasa tak memiliki kekuatan untuk menyampaikan apa yang kukenang hari itu lagi. Terlalu banyak. Sangat banyak. Bahkan aku tidak bisa memisahkan kehidupanku selama ini tanpa menyangkut pautkan mereka dibenakku.

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang