19|| Sangat baik-baik saja

543 84 27
                                    

“Ingat ya, Ren, ini karena lo nggak bisa duduk dengan benar!” tegasku memandangnya sinis.

Napasku mendadak menderu cepat menatap pagar sekolah yang tertutup rapat. Selain kami berdua, sebenarnya ada beberapa siswa lain yang terlambat. Tapi, tetap saja aku tak merasa nyaman terlambat saat aku sudah kelas 3. Di otakku sekarang adalah tugas dan tanpa harus remedial.

Aku menghela napas lelah.

Tak berapa lama pagar terbuka sedikit, Pak Zul menyembulkan kepalanya menatap kami satu-satu. Saat dia melihat ke arah aku dan Rendi, kami berdua memaksakan senyum.

“Malpira dengan Rendi masuk!” ucapnya tegas.

Membuka sedikit pagar memudahkan kami melaksanakan perintah Pak Zul seperti tak terjadi apa-apa.

“Kalian kelas 1 dan 2 semuanya lari di lapangan 5 putaran!”

Selain suara keluhan adik kelas, aku sebenarnya penasaran kenapa kami tidak dihukum. Kata Rendi sih biar nggak buang-buang waktu karena banyak tugas. Jadwal kelas 3 kan padat.

“Lagian lo nggak dengar Pak Zul?” lanjutnya lagi “Dia nyebut nama kita berdua kan? Mana ada nyebut satu pun nama adek kelas di sana. Itu karena kita udah kelas 3, gurunya udah kenal.”

Iya.

***

Alasan kami telat tadi pagi karena Duta bersikeras harus ada yang ngikutin Bagus dan Sella sampai sekolah. Katanya sih dia takut kedua anak SMP itu bolos dan masuk semak-semak. Sungguh pikiran yang dangkal!

“Apa yang lebih galak dari Malpira?”

Aku menghela napas tak menyangka. Les kali ini kelasku dan IPA 3 digabung. Aku duduk dengan Rendi karena mau saja. Dibelakangku Dimas dan Geri sedang mengatakan hal-hal yang tidak penting.

Kudengar Geri menggumam seperti berpikir tapi dia tidak punya otak.

“Herder?” tebaknya seolah aku sangat bisa disamakan dengan Anjing hitam dari ras susah dikendalikan.

Aku memutar badanku menghadap ke mereka, memberi peringatan.

“Jangan cari masalah,” bisikku pelan namun mencekam.

Aku segera kembali menghadap ke depan karena guru Les kami sudah datang. Tapi, aku tidak benar-benar melihat ke arah guru saat itu. Yang kulihat malah Andri dan Pertus yang duduk di depanku.

Lalu, entah kenapa aku melirik ke arah Rendi yang dari tadi melihatku. Itu mengganggu.

“Lo mau cari masalah dengan gue?” ketusku dengan tatapan sinis. Jika iya, ayo!

Dia cengengesan. Langsung mengalihkan pandangan ke arah kertas dan menulis sesuatu di sana saat aku masih melihat ke arahnya. Dia menggeser ke arahku setelah merasa selesai.

Malpira yang cantik dan baik

Tentu saja aku tak membalas tulisan itu setelah membacanya. Aku tidak suka repot. Kuperbaiki posisi tubuhku untuk kembali mengikuti pelajaran. Tapi kukatakan saja bahwa saat itu aku mati-matian menahan senyum. Dan begitulah.

***

“Apa yang lebih gila dari Malpira?”

Aku menatap Pertus dengan tatapan sinis dan dua tangan digulung di depan dada. Aku tak menyangka anak dokter ini bisa ikut-ikutan mainan yang merugikanku secara psikis. Kami sedang berjalan ke parkiran setelah Les berakhir.

Andri yang berdiri di sebelahku hanya terkekeh geli. Geri menatap ke arahku, berjalan mundur agar bisa dibilang gila.

“Hem... nggak ada?” katanya.

Aku menghela napas kesal. Dan entah kenapa itu membuat Rendi dan Dimas tertawa keras. Kutempeleng kepala mereka berdua dengan cepat. Lalu di sela diriku membela harga diri itu, entah kenapa mereka semua malah tertawa, termaksud Andri si es beku.

Hal yang paling tak kumengerti adalah kenyataan bahwa aku juga ikut tertawa. Walau kecil.

“Bodoh,” cibirku merasa seperti ada yang menggelitik dari dalam.

Lalu, kurasa saat itu kami sedang ditatap oleh banyak siswa yang mondar-mandir. Tatapan seperti bingung, ingin tahu dan bertanya-tanya. Aku tak peduli, aku hanya masih tertawa.

“Apa yang lebih keren dari Superman?” kutanya.

“Udah ah, berenti main!”

“Berenti main, berenti main,”

“Udah!”

“Yes!”

“Horeeee,”

Kupukul kepala mereka semua. Otak kosong seperti para siluman ini memang tidak ada gunanya. Lebih bagus dibuang ke kali. Mereka semua tertawa, tapi aku tidak. Aku memiliki harga diri tinggi yang sedang kujaga. Aku takkan mudah terpengaruh.

Hingga kudengar seseorang berbisik di telingaku pelan.

Malpira,” dia bilang “Malpira yang nggak diamin semua orang,”

Aku kaget dan langsung menghadap ke arah si pelaku yang tersenyum dan berjalan menjauh dariku menuju motor. Itu Andri, manis, senyum dan bukan milikmu!

Jika kau tanya bagaimana perasaanku, aku merasa seperti bayi dari Induk Elang Betina. Dilemparkan jatuh ke dalam jurang hanya untuk terbang. Itu mengerikan. Tapi juga menghasilkan sesuatu.

***

A/n Kurikulum Kakak Kelas ranking 3 di #Pembelajaran

Aah.. Sebenarnya aku tuh nggak enak karena udah kelamaan nggak publish. Jadi langsung 2 bab ini. Semoga kalian senang.

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang