24|| Kami akan selalu saling peduli

478 87 25
                                    

Hai semuaaa, selamat hari sabtu ❤
Berhubung Malpira akan lama publish, aku mau nyaranin kalian baca Rangga, 17 tahun. Cerita itu udah completed dan aku janji bakal post sampai tamat.

Selamat membaca. Sampai jumpa minggu depaan.

***

“Bang Bagas?”

Itu bahkan belum liburan. Tapi aku sangat tahu bahwa tidak ada satupun kelas 3 yang akan ke sekolah di masa Classmate seperti ini. Ini adalah masa khas hibernasi kelas 3 setelah mati-matian selama lima bulan terakhir.

Sayangnya, aku malah sakit. Tentu belum mati seperti yang Geri inginkan. Dan hal itu bisa sangat kupastikan.

Mungkin itu juga sudah siang dan aku sedang berselimut di atas sofa ruang tamu. Awalnya, aku juga tidak paham kenapa aku ada di sana. Setelah kuingat-ingat, tadi pagi aku sempat minum ke dapur dan berakhir di sini karena sangat lemas. Soal selimut, mungkin itu Bagus karena dia sangat pengertian.

Siang itu juga, kudengar Duta memanggil Bang Bagas secara lantang.

“Tunggu, Ta!” teriak Bang Bagas seperti sedang sibuk.

Kurasa Duta berjalan ke arahku, dia terdengar kaget saat menemukanku—yang sangat manusiawi—sedang ada di sana. Dia bahkan sempat memastikan dengan menegurku dan kujawab dengan berdehem.

“Ngapain?” tanyanya.

Mau saja kutendang dia ke angkasa. Tapi tidak jadi karena terlalu lemas. Kuangkat sebelah kakiku untuk menendangnya walau tidak kena. Seperti mengusir.

“Sana!” terangku yang juga membuatku kaget. Suaraku serak? Hebat! Sekarang, aku benar-benar sakit.

Mendengarku bersuara seperti curut membuat Duta menempelkan tangannya di atas jidatku dan langsung kutepis. Walaupun sakit, harga diriku masih sangat tinggi.

Kelihatannya Duta sudah mengerti bahwa aku sedang sakit. Malahan dia duduk dengan baik di sofa lain, menunggu Bang Bagas dengan tenang. Anehnya, itu tidak berlangsung lama karena aku merasa tubuhku dilempari dengan barang kecil, seperti penjepit kertas dan kotak isian steker.

“Mal,” panggilnya setiap melempar.

“Jangan, Duta.” Kataku lemah. Tapi sangat otoriter. Buktinya hal itu berhasil membuatnya berhenti.

Saat itu Bang Bagas juga sudah turun. Mengajak Duta bergegas. Tapi, aku merasa Duta sedang berdiri di dekatku saat bertanya dengan Bang Bagas,

“Malpira sakit, Bang?” dia tanya. Kudengar Bang Bagas tertawa. Aku tahu dia memang setan. Jadi kudiamkan saja.

“Halah! Palingan kemakan makanan tikus. Udah, ayo!”

Sungguh Abang yang sangat kucintai.

Bang Bagas pasti sudah keluar rumah karena kudengar langkah kakinya menyepi. Tapi Duta tidak, dia masih berada di dekatku. Dia menyuruhku minum banyak air biar cepat turun panasnya. Kuangkat tanganku dan menyatakan iya tanpa suara. Lalu kudengar dia pergi.

***

Aku menatap malas para siluman di depanku. Mereka kelihatan tidak begitu sadar dan juga tidak mandi. Mata mereka terus mengerjap dan melotot, aku curiga mereka sedang berusaha menakut-nakutiku.

“Pergi deh,” pintaku merasa terganggu.

Rendi dan Pertus menggeleng cepat. Mereka duduk di depanku, tapi tidak bersama arwah mereka. Aku sendiri sedang duduk di sofa dan sedang minum air sambil menatap kedua siluman itu sinis.

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang