Aku menatap Geri dengan tatapan horor. Cowok brengsek ini benar-benar sudah bosan hidup. Tingkahnya makin tak masuk akal! Masa dia maling kaset Stand by Me Doraemon dari kamarku dan dibolehin Bang Bagas?!
“Balikin!” tegasku sambil mengacungkan kepalan tanganku di hadapannya.
Dia hanya tertawa meledek, tetap mengangkat kaset itu di atas kepalanya, jauh dari tempat yang bisa kugapai. Dia menegaskan perkataannya lagi “Nggak. Mau.”
Catat ini, aku pasti akan menghabisinya!
Kuambil kayu yang ada di pinggir jalan, panjangnya kira-kira se-lengan dan kupastikan bisa membuat Geri patah tulang jika kena. Kuacungkan itu ke hadapannya untuk memberikan peringatan terakhir.
“Lo mau balikin kaset gue, atau mati?”
Dia memutar bola matanya jengah. Berkacak pinggang. Tidak takut dan menyebalkan. Setidaknya, aku sudah memberinya peringatan. Jika hal buruk yang terjadi itu tetaplah resiko atas perbuatannya.
“Mal!” teriak seseorang berlari ke arahku dan segera menyita alat eksekusi Geri.
Cowok bergaya berantakan itu melempar kayu ke pinggir jalan. Menyeka peluh yang membasahi dahinya dengan frustasi.
“Gue tinggalin kalian berdua sebentar dan kalian udah mau bunuh-bunuhan?!” pertanyaan itu retoris. Tidak kujawab. Pokoknya, aku tidak salah.
Andri menghela napasnya kecewa, sudut matanya memandang ke arah aku dan Geri bergantian. Memberikan kesan diskriminatif.
“Udah ah, gue cabut,” ucapku akhirnya berusaha meninggalkan mereka.
Andri menahan pergelangan tanganku, membuat aku tak bisa pergi jauh kecuali jika aku rela memutuskan tanganku dan tentunya aku tidak mau. Aku mendelik menatapnya, menghempaskan tangannya dari tanganku.
“Bisa nggak sih? Kalem aja?” pertanyaan Andri ini harusnya dijawab oleh Geri.
Tanya padanya! Bisa tidak dia berhenti menyebalkan, rese dan membuatku mau bunuh diri karena kesal? Seolah ini salahku? Nggak!
Melihatku hanya menatapnya sinis, Andri mengalihkan pandangan ke Geri dan membuat cowok jangkung berambut keriting itu menjadi salah tingkah. Kulihat dia menyembunyikan kasetku di belakang badannya.
“Gu-gue nggak maling kok,” jelas Geri tanpa ditanya “Bang Bagas sendiri yang bolehin!”
“Sini,” pinta Andri pelan tapi memiliki kesan diskriminatif. Tangannya disodorkan ke hadapan Geri dengan tegas.
Aku tersenyum sinis melihat dirinya yang ciut. Mau tak mau, dia memberikan kasetku pada Andri dan langsung diserahkan kepadaku sebagai pemilik formal beda ilegal ini.
“Udah?” jelas Andri yang kujawab dengan mengedikkan bahu.
Itu tergantung Geri masih akan menyebalkan atau tidak. Aku melihat Geri dan tatapan kemarahannya yang dibuat-buat itu dengan senyum termanis.
“Ya udah, gue pulang dulu,” sombongku sambil mengibas kaset ke arah wajah.
Geri mencibir. Aku masih menahan tawa.
***
Seharusnya aku senang, tapi entah kenapa semuanya hancur karena adanya Dimas di depan rumahku dengan senyum di giginya. Aku menatap kecewa hari mingguku yang tenang dan penuh rencana.
Aku masuk ke beranda rumah dan segera menemui Dimas. Dia menggunakan pakaian bebas khas hari minggu. Kaos merah dan celana training abu-abu.
“Ngapain sih?” tanyaku dengan intonasi yang buruk sambil ikut duduk di sebelahnya, di teras rumahku.
Dia terlihat girang, khas dirinya. Aku hanya menatapnya sinis.
“Nggak apa, cuman mau duduk-duduk aja,”
Aku harus memaksakan senyumku di depannya “Kayak nggak ada tempat duduk di tempat lain aja,” sinisku yang hanya dia buahi dengan mengerutkan hidung.
Aku berencana meninggalkan anak kurang kerjaan itu sendirian saja dan mengira rencana hari mingguku yang penuh dengan kasur dan bantal akan terencana sesuai kemauan. Tapi, kata Dimas aku harus kecewa.
“Duta sama Rendi lagi dengan Bang Bagas di dalam, Mal,”
Tidak ada yang bisa kukatakan kecuali menganga dan merasa geram sendiri. Mereka benar-benar niat menjadikan rumahku sebagai tempat pengungsian. Apa yang bisa kulakukan dengan itu?
Aku kembali duduk di sebelah Dimas dan ogah masuk ke rumah.
“Gue nggak tahu gimana lagi caranya buat jelasin kalo rumah gue bukan tempat pengungsian,” keluhku merasa kasian dengan diri sendiri. Dimas terkekeh.
“Entar Pertus dengan Fero juga ke sini, ada urusan dengan Duta.” Aku melirik Dimas dengan tatapan mencerna yang dia katakan.
“Punya urusan dengan Duta dan ke rumah... gue?” pastiku memperjelas.
“Kan Dutanya lagi di rumah lo, Mal,”
Aku hanya tertawa hambar “Gue beneran berencana pindah rumah kalo gini terus,” ucapku sambil berusaha membuka minuman kaleng yang kubeli setelah merebut kaset dari Geri. Dimas melihatku cukup lama dalam senyum. Sangat jelas dia sedang mau mentertawakanku.
“Selama lo nggak mukul sih, gue ikhlas,” dia bilang.
“Tenang aja, sebelum gue pindah, gue bakal ngabisin kalian semua dulu,” kataku tak ingin dia kecewa.
Dimas terkekeh dan aku tidak peduli dengan itu, yang kupedulikan adalah teriakan Bang Bagas dari dalam rumah. “Malpira! Rendi MATAHIN kaset Deathly Hallow Part 1!”
Rasanya seluruh duniaku hancur saat itu, dengan kekuatan Sonic aku berlari masuk ke dalam rumah dan mempraktekkan Kungfu kilat.
“DASAR SIALAN! PERGI KALIAN SEMUA!!”
***
Jika kalian berpikir bahwa hal itu selesai di rumahku, kalian harus percaya bahwa aku benar-benar akan membunuh mereka dengan tanganku sendiri, bahkan jika mereka bisa keluar hidup-hidup, kupastikan mereka tidak akan hidup dengan mudah.
“Mal, ma-maaf,” ucap Rendi terlihat takut.
Jelas. Dia harus.
Mataku memicing ke arah mereka, termasuk Dimas, Andri, Geri, Pertus yang sibuk mendorong-dorong Rendi ke arahku. Oiya, kami sedang di depan warung Mang Didin dan serius.
Sangat serius.
“Rendi, film itu belum gue tonton.” Tegasku dingin. Bernada seperti memberi alasan kenapa dia harus mati muda.
Kulihat dia membelakangiku dan menghadap ke anak-anak yang lain, berbisik. Mereka berlima terlihat panik. Berbicara tak jelas dan berjinjit-jinjit. Kuhela napas, memberikan waktu untuk pengucapan pesan-pesan terakhir.
Saat itu, selain kenyataan bahwa Daniel Raddclife-ku mati di antara pecahan kaset, bumerang lain menghantam wajahku. Sepasang anak SMP melewati kami dengan mesin roda dua dan tertawa-tawa. Napasku tertahan.
Tidak hanya diriku, ekor mata lima siluman di sebelahku juga mengikuti laju motor. Tiba-tiba suasana mendadak jadi hening. Dari belakang sepasang anak SMP itu, Fero dan Duta terlihat. Mereka berhenti saat melihat kami berlima tidak sedang bunuh-bunuhan dan terlihat curiga.
Aku tak dengar lagi apa yang anak-anak bicarakan, seluruh aliran darahku terasa tersedot ke tanah. Tapi bisa kurasakan Geri berdiri di sampingku dengan tampang sama-sama bego. Tanpa melihatku, dia mengulurkan tangan. Semacam mengajak tos.
“Kita harus kompak,” dia bilang.
Kusambut tangannya dan hanya mengangguk. Jelas, ini lebih penting dari apapun.
***
Aku kangen banget dengan kalian!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Fiksi Remaja3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...