Aku duduk di depan Minimarket dengan sebotol gooday Cappucino, marah dan Fero.
"Ngapain sih lo ke sini?!" sinisnya.
Nih anak emang songong dari lahir. Dari kecil kami emang nggak akur. Hubungan kami juga nggak dekat. Tapi karena dari kecil bareng, kami berdua saling pasrah.
Fero ini paling atletis. Karena sejak kelas 3 SD udah masuk sekolah pendidikan olahraga gitu. Ayahnya juga atlet, jadi wajar aja. Tapi karena dari kecil sibuk, Fero adalah bagian jarang kehitung di kawasan Pattimura ini. Misalnya, waktu main petak umpet pas kecil, kalo dia hilang, nggak bakal ada yang sadar.
Dan kalo malam dia kerja di Minimarket, kurasa aku sudah mengatakannya di awal. Belum setahun sih, tapi dia mah enak, sekolah pendidikan olahraganya itu keren. Buktinya sekarang dia sudah libur aja. Sekarang dia lagi jadi Lycnobite, yaitu orang yang menjalani rutinitas pas malam dan tidur kalo siang. Sederhanya sih, kalong gitu.
"Eh Fer, sekolah pendidikan olahraga lo itu nerima anak cewek nggak?" kutanya dengan baik-baik dan dia nunjukin kepalan tangannya.
"Berani tanya lagi, gue tinju lo," aku menghela napas kecewa.
"Padahal kan enak kalo kita satu sekolah tr..."
"Gue tinju beneran nih,"
"Nggak! Nggak! Halah... gitu aja marah lo! Males banget deh!" aku mendelik kesal.
"Ya udah, pulang sana! Lagian udah malam gini, lo tuh cewek atau Batman sih?!" dia mulai melakukan diskriminasi gender.
Dia menatapku malas. Terlihat diskriminatif dan minta ditinju. "Lo berantem dengan anak-anak?" tikamnya langsung.
"Sok tau!"
"Pasti lo tinju?"
"Ng-nggak,"
"Pulang gih, Mal!"
"NGGAK!"
Dia mendengus dan langsung ngambek masuk ke dalam Minimarket. Perempuan banget.
Selain karena kesal dengan Rendi, aku lari ke sini karena mau menjauhi tugas yang menumpuk. Mataku terasa panas karena sering membaca dan jadi gemes sendiri dengan standar kelulusan tahun 2015 yang 40% nya dari sekolah.
Saat aku duduk sendirian, ada dua orang bapak-bapak berbaju kaos menghampiriku.
"Dek," dia baru bilang begitu dan aku sudah memikirkan gaya silat. "Tahu rumah Fero?"
Aku tahu, di lorong Ester beberapa meter dari sini. Jadi kuberi tahu secara ringkas kalo Feronya ada di dalam Minimarket dan mereka berterima kasih tanpa ngasih duit.
Kulihat dari dinding kaca Market itu Fero memasang gelagat hormat, mungkin itu pelatihnya. Aku tidak mengerti urusan bola-bolanya itu.
Tak berapa lama Fero mengantar dua orang itu ke mobil setelah salam menghormati. Mobil itu berlalu tapi Fero tetap terlihat seperti orang mau kesurupan. Dan setelah terlihat nyaris mati seperti itu, dia masih sempat mendelik ke arahku.
"Balik!" usirnya fatal.
Aku hanya menatapnya malas dan segera cabut sebelum harga diriku semakin runtuh.
***
Kukira rasa malasku akan sedikit sirna saat memasuki lorong Mawar dan mendapati pagar rumahku yang belum tertutup. Tapi ternyata malah tambah parah saat ternyata Rendi sedang di teras rumahku, menunggu.
Kuabaikan dia dengan segera berjalan ke pintu rumah. Tapi belum sampai teras dia menghalangiku dengan kedua tangannya yang dibuat seperti orang-orangan sawah.
"Minggir," intonasiku rendah tapi sarat akan perintah. Apalagi kukatakan itu dengan menunjukkan kepalan tanganku kepadanya.
Alih-alih minggir, Rendi malah memejamkan matanya, rela saja kelihatannya kupukul. Tapi, mengingat tadi aku sudah menghajarnya, kutarik kepalan tangannku dan bersikap biasa.
"Ngapain?" ketusku tanpa melihatnya.
Dia membuka matanya takut-takut, menurunkan tangannya. Dengan seolah ragu dia bertanya "Tadi ngapain ke rumah, Mal?"
Mau bunuh lo!
Rasanya mau kubilang gitu. Kalo perlu kuberikan demonstrasinya dengan sangat jelas. Tapi melihat si supel jadi begitu serius, aku membuang sudut pandangku ke sembarang arah.
"Gue pikir lo sakit, taunya malah seneng-seneng," kurutuki diriku sepanjang duduk di depan Minimarket. Merasa begitu bodoh. "Udah ah, gue mau tidur, pulang gih!"
Aku berusaha berjalan melewatinya, tapi kembali dihalangi. Saat akhirnya aku berhasil melewatinya, dia malah menarik tanganku. Lalu kurasakan tangannya cukup hangat.
"Gue emang sakit, Mal," dia mengatakannya dengan tulus.
Kuhempaskan tangannya pelan, memegang dahinya untuk kembali meyakinkan. Benar, dia demam. Aku mendesah berat. Mengambil sesuatu dari saku jeans-ku. Rendi memang bocah penyakitan. Sejak kecil, dia sangat sensitif dengan cuaca, tubuhnya terlalu manja.
"Udah tahu sakit, malah ke sini," kataku sambil menyerahnya kresek yang kukantongi "Ini Paracetamol dengan Aleron, minumnya tiga kali sehari. Kalo minum malam nih palingan besok pagi mendingan." Rendi mengamit obat itu. Sedikit bingung.
"Makasih, Mal," aku mengangguk pelan dan dia segera mau pergi.
"Ren," panggilku sebelum dia jauh.
"Vitamin C-nya gue beli 2, isian 50 tablet, suruh anak-anak minum juga. Ce...cegah batuk!" kataku cepat dan langsung lari ke dalam rumah.
Kudengar Rendi terkekeh. Lalu berteriak-teriak di depan rumahku.
"Iya, Ma, nanti Papa kasiin ke anak-anak. Iya, iya Ma."
Dia mulai memanggil namaku tanpa L. Rasanya mau kulempar dia ke angkasa. Tapi karena terlalu malu keluar, nggak jadi. Itu adalah satu hal yang kubenci dari orang supel. Mudah membalikan situasi.
***
Hampir 7 tahun menghilang dan kemarin saat mempublikasikan bagian Rendi, aku kembali komunikasi dengan si anak mama. Rendiku. Ah! Senang sekali...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Novela Juvenil3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...