Lebih dari 1 bulan semenjak itu, aku sibuk dengan SBMPTN karena tidak lolos di SN. Saat kudengar Kurikulum baru resmi digunakan untuk angkatan di bawah kami. Entah kenapa, aku merasa sangat beda. Seperti disengat listrik dalam tegangan rendah.
Rasanya seperti tak bisa kembali lagi. Kurasa yang kurasakan saat itu adalah aku akan ke sekolah dan merasa asing dengan banyak hal. Dan itu adalah perasaan yang buruk untuk dirasakan saat kau belum resmi menerima IJAZAH.
Tamat dan semua hal diperbarui sepertinya sudah mengalir semenjak tahun 1997 saat aku dilahirkan. Karena tahun berikutnya, Orde baru. Lalu tahun berikutnya setelah 2015 adalah kurikulum baru.
Aku merasa selalu menjadi batas akhir akan sesuatu. Begitu dekat dengan perubahan. Dan tidak boleh terbiasa. Harus selalu bergerak.
***
“Loh? Kok jadi ngambil Universitas di sini? Katanya mau di luar kota?”
Protes Mama tidak kujawab cepat karena aku sedang sibuk, yaitu harus mengetik dan makan siomay dalam waktu yang bersamaan. Di sebelahku, Bang Bagas juga sibuk menulis skripsinya yang molor. Catatan, kami di meja makan.
“Emang labil, Ma, syukur aja lulus,” ketus Bang Bagas menanggapi. Mama hanya menggeleng dan menjauhi kami berdua.
“Bagus! Ambilin Kakak minum!” teriakku tanpa melihat keberadaannya. Tapi anak baik itu langsung berada di dapur dalam beberapa saat. Seperti Setan.
“Ssstt...” desis Bang Bagas “Lo tahu nggak, Bagus dan Sella putus?”
Bisikan Bang Bagas ini membuatku membelalak dan mengatup bibir rapat menyadari Bagus yang berada dalam radius cukup dekat dengan kami. Kupelankan suaraku sebisa mungkin.
“Serius?” Bang Bagas mengangguk yakin “Duta, yang mutusin?” sambungku menebak.
“Nggak deh, kayaknya. Sella yang mutusin, Bagus nangis ke kamar gue kemarin,”
Eh? Nangis?
“Kok, nangis?”
Bang Bagas melemparku dengan tisu “Ya, nangis lah! Emangnya lo? Ditinggalin nggak nangis, nggak normal!”
Kupukul kepala Bang Bagas dengan pena, mendiktenya untuk pelan-pelan dalam berbicara mengingat Bagus masih di depan kulkas untuk membuatkanku minum.
“Lo ingat Bimo?” bisik Bang Bagas lagi, aku mengangguk “Udah jarang kan kesini?”
Aku langsung mengerti arah pembicaraan ini.
Dan Wah! Ternyata mereka benar-benar putus. Saat itu, aku merasa mereka akan berakhir seperti itu. Dan benar!
Ada beberapa bagian dalam hidup yang memang akan bertahan jika diletakkan di bagian yang benar. Dan sekarang, Bagus sudah tahu.
***
Siangnya, aku pergi ke sekolahku untuk mengurus SKHU Sementara atau berkas lainnya yang aku tidak ingat. Di sana, seperti yang kuduga, rasanya asing.
Padahal itu sekolahku. Eh, tidak, sudah bukan sekolahku lagi. Hem... Kelasku? Ah! Bukan juga. Kantin... sejak dulu itu milik Mang Udin. Aku tersenyum pahit merasa payah dalam menghibur diriku sendiri.
Sudahlah, aku hanya mau mengambil SKHUS.
Dari pagar hingga ke dalam sekolah, anak-anak berseragam memandangiku, berkicau pelan-pelan, mungkin karena sedang jam istirahat jadi aku terlihat begitu mencolok. Tapi, aku sedikit suka mendengar mereka mengatakan “Kakak kelas,” setiap melewatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Roman pour Adolescents3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...