Napasku terasa tercekat ingin berteriak saat kudengar suara beberapa motor mendekatiku. Suara motornya memelan. Kueratkan peganganku pada tas, tak ingin gegabah. Tadi, aku memang sengaja turun di salah satu toko dekat rumah, dan melanjutkan pulang dengan jalan kaki.
Rumahku di jalan Pattimura, di rukun tetangga yang semua lorongnya bernama bunga. Itu aman.
“Hai, Cantik,”
Mataku langsung memejam, sebuah gerakan repleks menahan emosi. Lalu kudengar kekehan beberapa orang.
Kuputuskan untuk tetap diam hingga mereka berlalu. Itu Geri, Dimas, Pertus, dan Rendi. Yang kelihatannya mau ke rumah Rendi karena ke lorong Melati. Mereka itu kekanak-kanakan.
“Mal,” aku menoleh sekilat saat kudengar suara Andri memecah pikiranku yang kolot melihat motor mengarah ke lorong melati itu.
Aku menjawabnya dengan menaikan alis. “Bareng?” tawarnya. Aku menggeleng.
Andri tinggal di sebelah kanan rumahku, lorong Mawar. Karena di sebelah kiriku rumah Duta. Dia menatapku sebentar, lalu mengangguk mengerti.
“Duluan,” dia bilang.
Aku hanya menatap motor-motor mereka berlalu. Kudengar Pak Mahmud—Ketua RT—yang sedang di toko Mang Didin menegurku.
“Tumben nggak bareng, Mal?” dia mengatakannya dengan terkekeh. Aku hanya tersenyum tulus menjawabnya dan tetap berjalan ke rumah.
***
Mataku mengedar ke seluruh sudut rumah, memastikan apa para Jin itu menjarah rumahku lagi. Dan ternyata suasana cukup aman dan kondusif. Kulepaskan sepatuku dengan menginjak bagian belakangnya dengan kaki yang lain. Masuk ke rumah dengan rasa lelah yang berlebih.
Kelas 3 yang menyenangkan itu sudah hilang, semuanya adalah keletihan dan aku merasa mau mati. Kurebahkan tubuhku di atas sofa lalu menyadari dua orang di sana, menatapku dengan tatapan bingung.
Bang Bagas dan Duta.
“Bentar, gue ambil laptop dulu,” kata Bang Bagas bergegas ke kamar.
Aku sudah tahu tabiat Bang Bagas dan Duta, mereka sering bersama. Sebagai anak TKJ, Duta memang bisa diandalkan untuk memperbaiki laptop. Tapi, aku merasa Bang Bagas sudah kelewatan memanfaatinya.
Kutatapi Duta dengan sinis. Sangat intens hingga dia risih.
“Ngapa sih?!” dia lempar bantalan sofa ke arahku tapi nggak kena.
Aku berhenti melihatnya dan menyandarkan tubuh ke bahu sofa. Memejamkan mata.
“SMK enak kali, ya? Aturan gue SMK aja,” seolah aku mengatakan untuk diriku sendiri.
Setidaknya kalian harus melihat Duta dan tahu dia udah berganti pakaian, itu berarti dia sudah pulang dari tadi. Dan membuatku sedikit iri.
“Nggak mau denger,” dia bilang.
Aku hanya tertawa garing. Duta tidak pernah satu sekolah denganku, bahkan tidak di TK Pertiwi dulu. Alasan Desi dan Yuli tahu dia juga karena rumah kami memang dekat dengan TK.
Itu membuatnya tidak dekat dan juga tidak menyukaiku. Hampir sama dengan Fero, tapi Fero tetap lebih parah. Aku menyeret tasku dan segera pindah ke kamar, rasanya aku mau tidur setelah semua kelelahan hari ini.
***
Mulai larut, suasana Pattimura sudah sepi. Di jalan ini, ada sedikit banyak pohon dan semak. Walau beberapa sudah dimusnakan demi membuat perumahan, tapi tetap saja ini bukan jalan yang ramai.
Jika malam nyaris tak terdengar suara motor, dan penerangan hanya lampu jalan bewarna kuning yang baru-baru ini terpasang. Fero melihatku dari dalam Minimarket dengan tatapan tidak suka. Aku juga tidak menyukainya. Tapi, aku harus membeli beberapa cemilan untuk bertahan hidup.
“Ini aja?” pastinya dengan nada tidak suka melihatku di sini.
Aku mengangguk, tidak ingin berdebat karena kepala yang masih pusing akibat baru bangun setelah tidur dari Isya tadi.
Sudah beberapa bulan Fero kerja di Minimarket ini, itu karena sekolah olahraganya tidak begitu ketat. Dia harus latihan fisik secara bebas setiap hari, bagaimana pun. Pesepak bola. Biasa.
“Ke sini sendirian?” dia tanya sambil memberikan kresek kepadaku. Nadanya tetap terdengar tidak suka.
“Hm,”
Kutarik kresek dan segera berjalan keluar Minimarket sebelum ditahan Fero dan mengagetkanku.
“Tunggu 15 menit lagi gue selesai, bareng gue aja,”
Aku menatapnya malas, seandainya kalimat itu terdengar Posesif atau cemas, aku bisa saja merasa senang. Tapi nada Fero padaku itu sumbang, dan jadi begitu menyebalkan. Walaupun sudah jam 10, aku tak merasa butuh berjalan di Pattimura yang aman dengan orang seperti Fero.
“Di depan,” tapi kubilang begitu. Yaitu, aku akan duduk-duduk dulu di meja depan Mimarket.
Di dalam menit-menit keheningan itu, aku mendapatkan begitu banyak kenangan dalam diriku. Bersama dengan mereka, tujuh orang bocah laki-laki dan juga temanku.
Selalu.
Aku tersenyum tipis mengatakannya. Dulu, rasanya menyenangkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Teen Fiction3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...