Aku baru kembali dari lorong Melati menjelang malam. Dengan langkah gontai dan kedua tangan di dalam saku jaket. Itu adalah perjalanan hening yang panjang dengan mata sembab dan lagu yang sudah tidak ada karena ponselku kehabisan daya.
Tubuhku mematung saat sampai di pagar rumahku. Kaku. Beku. Dan tertahan dalam waktu yang cukup lama. Aku merasa itu seperti pemandangan yang penuh dengan kenangan.
“Mal?”
Duta menarik tanganku untuk memasuki beranda rumah, keadaanku saat itu kaget dan ingin memperjelas segala hal yang kali itu terasa begitu nyata.
“Lama banget sih, lo?”
Kali berikutnya ini adalah suara Rendi yang tiba-tiba merangkulku. Kulihat saat itu Pertus bersama Andri tertawa dengan alasan yang tidak bisa begitu kupastikan di teras rumah. Geri, Dimas, dan Fero sedang duduk di atas motor, membahas soal bola atau yang lain. Entahlah.
Tiba-tiba aku tidak peduli walau Rendi menanyakan kenapa mataku sembab. Karena jelas itu hanyalah suara-suara di kepalaku saja.
Tapi ketika Bang Bagas ikut terlibat dengan membawa piring dan menendang Andri—yang kukira hanya dalam bayanganku—dan bisa membuat cowok itu meringis. Aku sadar, apa yang saat itu kulihat nyata.
“Malpira baru nangis, ya?” tanya Rendi ke Duta yang dijawab hanya mengedikkan bahu. Aku masih tidak bergeming.
“Mal,” tegur Fero sambil tersenyum dari motornya, mengangkat dagunya menyapaku. Kulihat Dimas mendorong Fero karena kesal.
“Hampir aja rencana kita gagal karena lo!”
“Maaf-maaf, hahaha,”
“Iya, apaan pake nganter Jersey ke rumah Malpira, nelpon lagi. Untung dia nggak ada kan,” tambah Geri yang tidak kumengerti.
Fero tertawa.
“Iya, Mal. Bukan paket, itu gue anter ke rumah lo, lo nggak ada hahaha...”
Aku masih membeku. Tanganku terkepal menahan diri.
“Gue juga awalnya bingung, Malpira bilang nggak ada acara ulang tahun Dimas. Gue kira beneran nggak jadi,” bingung Duta yang mengambil duduk di kursi tepat di sebelahku.
Andri melempar Duta dengan kerikil tapi muka cowok itu tetap terlihat bodoh.
“Setiap Malpira nelpon, gue deg-degan parah. Bayangin kalo dia marah! Nggak mau gue,” terang Andri menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mereka semua tertawa. Mataku tertuju hanya pada Geri saat itu yang tertawanya paling besar. Ketika Geri melihatku, tawanya lenyap. Berganti dengan wajah paling tidak tahu diri dan sinis.
“Apa lo?! Gue ke rumah Bang Bagas, ya! Bukan ke rumah lo!” bicaranya padaku.
Aku merasa begitu pecah lalu menangis tanpa bisa kukendalikan. Aku penuh dengan emosi saat itu hingga membuatku mengamuk. Kuangkat salah satu kursi plastik dan kulempar ke arah Geri. Dan membuat semua orang berhamburan dan menghindar.
Aku berteriak kesal, kukejar mereka semua yang berlari ke luar beranda rumahku. Sudah di jalan aspal.
“Aaargh! SETAN!”
Kulempar mereka dengan apapun yang kudapat, rasanya aku tak bisa berpikir apapun saat itu. Bang Bagas yang melihat diriku mencoba menghentikanku saat itu juga. Dia memegangiku dan aku memberontak.
“Mal-mal, kalem,” lirih Bang Bagas menenangkanku.
Tapi aku tidak perduli!
Dengan usaha keras, akhirnya aku terlepas dari Bang Bagas dan kembali mengejar mereka. Sampai di ujung lorong di mana itu adalah jalan buntu yang mereka tidak akan bisa ke mana-mana kecuali jika punya sayap dan bisa terbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)
Novela Juvenil3 di #Kelas [7-9-2018] Hampir 13 tahun temenan dengan mereka buat gue yakin kalo sebenarnya mereka ini Teripang, binatang laut yang kalo jalan gesek dan nggak punya otak. Terlebih ketujuh orang ini juga nggak punya kamus bahasa dan tata krama. Kadan...