33| Ke

459 66 9
                                    

Setelah hari itu, Pattimura berlalu menjadi tempat yang paling sepi. Sehingga tidak apa-apa bagiku untuk duduk-duduk di teras dan tidak melakukan apapun. Akan sangat aman. Dan itu bagus hingga kuputuskan untuk duduk selama mungkin. Hanya duduk.

"Mal, makan!" teriak Bang Bagas gerah. Aku tidak menjawabnya "Lo diet atau apa sih? Abang nggak pernah liat lo makan belakangan ini!"

Kali ini aku tidak membaca buku karena kurasa sudah tidak perlu. Kukenakan headsheat di telingaku tanpa adanya alunan musik agar tidak terlalu repot menjawab pertanyaan Bang Bagas dan Bagus bergiliran.

"Kak, kalo nggak makan nanti kakak sakit,"

Setidaknya, saat melihatku mereka mengumpat tapi tidak apa-apa karena mereka jadi begitu pengertian atas ketidak dengaranku itu.

Kulakukan itu setiap hari untuk membuktikan bahwa aku adalah orang yang konsisten dan budeg. Aku hanya merasa tidak ingin mendengar apapun dari mulut siapapun tentang di mana teman-temanku itu sekarang. Apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dan berbagai kemungkinan di otakku saja sudah begitu mengganggu.

Aku merasa seperti orang yang sedang dalam keadaan Ke, seperti berada pada sebuah kata hubung yang belum terhubung dengan apapun. Lalu menimbulkan begitu banyak tanya yang tidak terjawab. Tapi itu juga hal yang dibutuhkan, semua butuh kata hubung untuk menyempurnakan kalimat. Jadi, tidak apa-apa untuk merasa begitu buruk saat itu. Aku hanya perlu menerimanya.

Tapi kurasa hal itu membuatku kehilangan berat badan yang drastis dan berpenampilan begitu kacau. Tapi, sudahlah, aku juga tidak sedang mau ke mana-mana.

Malam itu, di awal bulan September saat aku masih sama, sedang duduk dan hanya duduk, kulihat sepasang kaki berbalut sepatu putih menghampiri kakiku. Sepatu yang familier, dan aku merasa tidak perlu mendongak karena aku sudah tahu di siapa.

"Mal," panggilnya pelan, berusaha membuatku melihatnya. Tak mendapat respon dariku, dengan seenaknya dia menarik headsheat yang kukenakan. Dan karena itu aku tidak punya alasan untuk mengabaikannya.

"Kenapa?" kutanya sambil menghela napas.

"Temanin gue," dia memberikan jaket hitam yang sedari tadi dia kenakan padaku. Dengan begitu malas, aku berdiri dan mengenakannya.

Itu sekitar jam 10 malam, jalanan Pattimura sudah bisa dipastikan tak ada kendaraan. Jadi kami berjalan dengan pelan. Menyusuri lorong mawar, tepat di mana rumah Andri, aku dan Duta berada.

Lalu seperti hal itu adalah candu, kami memasuki lorong Seroja tempat Geri tinggal, lalu ke lorong Kenanga tempat Dimas hidup. Ke rumah Fero di lorong Ester, lalu ke rumah Pertus di lorong Teratai.

Kami berjalan melewati semua lorong itu untuk pergi ke Lorong Melati, tempat Rendi.

Aku masih bisa mengingat dengan baik suasana yang tercipta saat itu. Rumah-rumah mereka yang menjadi begitu tenang. Dan karena ini sudah malam, aku tidak akan memanggil satupun dari mereka. Kuharap mereka hanya sedang tidur dengan nyaman. Berada di dalam rumah mereka masing-masing. Dan tidak sedang kemana-mana.

Rasanya seperti berjalan di lorong kenangan. Tidak bisa kupastikan bahwa diriku baik-baik saja saat itu. Dan aku merasa begitu lelah untuk mengatakan bagaimana perasaanku.

"Mal," aku bisa merasakan angin malam yang menerpa wajahku dengan lembut saat kudapati suara ini masuk ke dalam telingaku.

Kuhentikan langkahku untuk mengikuti apa yang sedang dia lakukan. Dia tersenyum canggung.

"Semuanya baik-baik aja 'kan?" aku mengangguk lemah. Hanya agar dia berhenti menanyakan hal itu. Lalu ternyata dia memiliki kata lain untuk diungkapkan "Gue peduli dengan lo, Mal," akunya untuk pertama kali.

Bahkan hal itu tak membuatku bersemangat untuk melihat wajahnya sama sekali. Aku hanya diam.

"Kita semua perduli dengan lo," sambungnya untuk mensejajarkan dirinya dan keenam teman dekatku yang lain.

"Iya," kubilang karena aku tahu itu. Sangat tahu bagaimana rasa perduli itu kuabaikan.

"Apa masalahnya, Mal?" ucapnya keras.

Lalu kurasa dia membuang napasnya kasar. Frustasi dengan sikapku yang baginya menyebalkan. Aku merasa tidak perlu menjadi pengertian dan menyenangkan hatinya saat itu. Hingga kuputuskan untuk melangkah menuju rumahku dengan sedikit kekuatan yang kumiliki.

Tapi sepasang tangan itu menarikku berhenti. Membuatku merasa kesal untuk disentuh seperti itu dan menghempaskan tangannya lemah.

"Duta, gue suka dengan lo," lemah sekali kukatakan. Seperti aku tidak perduli dengan apa yang sedang kubicarakan. Aku hanya merasa begitu capek dengan hal-hal yang terjadi dan tidak tahu bagaimana caranya untuk memperbaiki segala hal.

"Dari dulu lo tahu 'kan? Mangkanya lo jauhin gue," dengan usaha keras, aku berusaha menerima apa yang kuucapkan tanpa memiliki rasa sakit. Kulihat Duta tak bergeming, seperti tidak tahu harus melakukan apa.

"Lo nggak mau ngumpul dengan anak-anak kalau ada gue, lo juga selalu berusaha milih sekolah yang beda dengan anak-anak karena tahu mereka bakal satu sekolah dengan gue. Lo berhenti datang ke tanjakan karena di situ pasti ada gue," sangat pelan-pelan sekali kukatakan. Sungguh aku merasa kehilangan seluruh kekuatanku.

Dan membayangkannya saja masih begitu mengerikan untukku. Kuusahakan menghibur diriku dengan memaksa senyum.

"Itu alasan kenapa gue diamin kalian semua waktu itu, gue dekatin anak cewek, kenapa gue berubah dan seperti nggak mau temenan dengan siapapun. Menjauhi semua orang," betapa buruknya saat kuakui hal itu ternyata dilakukan oleh diriku sendiri.

"Karena gue nggak mau ketahuan kalau gue suka temenan dengn kalian semua. Suka ketemu kalian semua. Lalu dijauhin seperti yang lo lakuin ke gue, Duta!"

Kuusap wajahku merasa begitu lelah mengatakannya. Bahwa nyatanya aku hanya seperti orang yang mencari-cari alasan. Duta masih diam di tempatnya, terlihat kaku dan membungkam mulutnya rapat-rapat. Jelas seperti dirinya yang tidak tahu harus melakukan apa.

"Maaf, Mal," lirihnya pelan.

Mendengar suaranya yang begitu mengasihaniku membuatku merasa begitu emosional. Aku merasa begitu buruk dan begitu marah karena hal itu. Atau karena aku merasa sedang marah dengan diriku sendiri.

"Gue nggak mau ditinggalin sendirian, Duta. Gue nggak mau dijauhin!" lirihku padanya dengan nyaris seperti orang yang berbisik "Tapi gue jauhin mereka, Duta. Gue ninggalin mereka, Duta." ucapku pelan. Mengakui.

Saat itu, aku merasa seperti kehilangan seluruh kekuatanku. Tidak berdaya. Tubuhku terhuyung dan mendarat kasar di aspal. Lalu semuanya jadi begitu gelap. Samar kurasakan Duta memanggil namaku dan membuat beberapa orang sekitar keluar dari rumah mereka, mendekati kami. Menopang tubuhku ramai-ramai.

Bagiku, pertemanan sejatinya adalah hari. Yang membawaku bertemu embun, matahari, pelangi, senja, hitam, bulan, bintang bahkan hujan deras.


***


Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang