12|| Kesepakatan

636 89 33
                                    

Tatapan mataku kosong, kontras dari diriku yang kemarin—anak kelas 3 yang bersemangat menyambut masa depan dengan kertas dan buku lalu menjadi sibuk. Aku kehilangan kemauan untuk hidup beberapa saat setelah menatap dua anak SMP sedang tertawa berdua di teras rumah Rendi.

Mataku menyipit dengan aliran yakult yang masih mengalir di kerongkongan. Mengamati.

Geri dan Dimas ikut duduk di atas sisa tembok Pertiwi bersamaku dengan tampang bego. Mereka juga menyeruput yakult milikku dengan cara rampas dan aku tidak marah.

Pertus yang berdiri dan bersandar di bagian tembok juga minum Yakult, kalo ini, aku yang kasih. Tapi dia minumnya cepat, sampahnya dibuang sembarang.

“Sejak kapan Bagus dengan Sella?”

Sinis. Pertanyaan itu dilontarkan Andri dengan bagian bibir atas sedikit terangkat. Aku menggerakkan leher dengan lambat untuk melihatnya dan tidak mengatakan apa-apa.

Dalam hati, aku sedang memaki Bagus—adikku—dengan kutukan supaya dia lapar dan harus pulang sekarang juga.

“Gue curiga kalo si Bagus ini banci,” tuturku tanpa sadar.

Kenyataan kalo nama Bagus mirip dengan Bang Bagas buat aku ngerasa kayak anak adopsian. Itu adalah alasan keras kenapa aku tidak membahasnya sampai perlu. Tapi demi Allah, Bagus ini anak rumahan banget. Sering juara umum dan suka bantuin Mama.

Dia nggak bergaul walau tahu mayoritas anak RT kami cowok. Trus kenapa juga harus dengan adiknya Duta? Yang cewek!

Kepalaku ditempeleng Geri lemah. “Otak-otak,” dia bilang.

Aku tak meresponnya. Masih sibuk berpikir bagaimana cara mengobati Bagus agar temenan dengan anak cowok. Bersama ras-nya. Membentuk koloni normal yang mencintai gambar tengkorak dari pada bunga.

Ah sial!

Suara motor Duta mendekat, dia datang bersama Fero dengan wajah khawatir. Pencinta adik memang harusnya begitu. Beda denganku yang mencari cara untuk mengadu ke Mama agar nilai Sempurna Bagus sedikit turun di mata keluarga.

“Kok di rumah Rendi?” tanya Fero tak tertuju pada siapapun.

“Tadi Rendi nemuin mereka di belakang SMP, diajak Rendi deh pulang ke rumah naik mobil,” kadu Geri dengan nada membuat orang penasaran.

Mata Duta membelalak melihat ke Geri “Ngapain di belakang sekolah?” intonasinya jelas menaik dan terkesan diskriminatif.

Geri mengedikkan bahunya. Kulihat Duta gelisah.

“Gue sering sih liat Bagus sama Sella belajar bareng, tapi gue biasa aja karena mereka kan emang satu sekolah,” aku Dimas yang tidak pernah kutahu.

Perasaan, Bagus itu makhluk yang berdiri sendiri. Dia terlalu mandiri untuk bisa belajar kelompok. Jelas bukan dia banget.

“Eh Ger, kita pernah juga liat Bagus sama Sella di warung Mang Didin kan?” pertanyaan Pertus ini mendapat perhatian kami semua.

Aku tidak tahu bahwa mereka sebegitu perhatian dengan adikku yang sempurna itu. Kupikir, orang kayak Bagus cuman cinta buku, kamar dan ketenangan.

“Oh... iya! Yang lap-lapan es krim kan?” Aku menghela napas tak menyangka. Bagus? Lap-lapan es krim? Seberapa alay sebenarnya tuan hebat ini? Dia mengagetkanku.

Duta menghentak lidahnya, seperti orang kesal. Dia kesal dengan adikku dan sebagai kakak yang mau menjaga keutuhan keluarga, aku sangat mengawasi Duta. Dia tidak boleh membunuh Bagus atas alasan apapun itu.

Sambil berkacak pinggang, menghentak-hentakan kaki dan menggigit kuku seperti orang tak sabar, Duta mengatakan sesuatu yang membuatku lebih kaget lagi.

“Sella pacaran dengan Bagus udah setahun.”

Oke.

“SELLA PACARAN DENGAN BAGUS?!!” teriakku langsung loncat dari tembok.

Andri dan Geri terlihat berusaha membungkam mulutku, kami tidak boleh ketahuan dengan dua anak kelas 8 ini. Tidak hingga kami yakin mereka tidak bisa membodohi kami dengan berbohong. Aku menyiku mereka berdua dan membungkam mulutku sendiri dengan tangan.

“Setahun yang lalu?” ucap Geri seperti orang berpikir “Berarti mereka udah pacaran dari tamat SD?”

Diperjelas dengan Geri membuatku merasa kurang memberikan Bagus batas. Terlebih kenyataan dia punya pacar dan melangkahi diriku dalam urusan percintaan membuatku sedikit murka.

“Udah ciuman nggak ya?”

Kupukul kepala Geri saat dia mengatakan ini. Mulut nggak disaring! Dasar ember bocor! Dia nggak liat situasi kalo Duta bisa aja bunuh Bagus karena kesal? Otak nggak dibawa ke sekolah gini nih!

“Gue nggak tahu,” tegas Duta sejelas mungkin “Yang gue tahu, gue cuman nggak mau mereka salah jalan. Udah.”

Aku melirik ke arah Bagus dan Sella yang sedang tertawa berdua itu. Walau masih penasaran kenapa Rendi nggak keluar-keluar, otakku berpikir keras tentang dua anak SMP ini. Sebuah rasa khawatir dan cemas yang terlalu jelas.

“Ya udah, kita awasin dulu aja,” final Andri yang mendapat anggukan dari kami semua.

Saat itu, kulihat Mang Udin—penjual Bakso daerah sini—sedang mendorong gerobak. Sebagaimana bisnis perdagangan, Mang Udin menawarkan baksonya pada kami dan ditolak. Mang Udin sempat kecewa tapi mengaku ikhlas.

“Tumben nggak berantem?” kata si Mamang nunjuk ke arahku.

“Lagi akur, Mang,”

Tentu saja Geri yang menjawabnya, bukan aku. Bagiku, itu tidak perlu. Dan tidak penting!

***

Ke : Kurikulum Kakak Kelas (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang