21💕menjauh?

40 4 0
                                    

Setelah hari itu. Fadya seperti menjaga jarak dari Rino. Ia seperti selalu punya alasan untuk menghindar. Dari menolak untuk dijemput, jam istirahat yang selalu Fadya habiskan bersama teman-temannya dan pulang sekolah Fadya selalu beralasan sudah dijemput supirnya.

Rino hampir kehabisan akal saat chat yang ia kirimkan pun tidak mendapat balasan yang ia inginkan. Fadya hanya menjawab seadanya dan segera mengakhiri obrolan mereka.

Dan saat ini Rino sudah tidak tahan lagi. Ia harus bicara empat mata dengan kekasihnya itu. Ah, apakah ia masih pantas menjadi kekasih seorang Fadya karena mungkin ia telah membuat kesalahpahaman ini berlarut-larut.

Nanda hendak keluar dari kelasnya setelah membereskan semua alat tulis diatas meja. Tidak lupa ia pun membawa serta tas Fadya, sahabatnya itu.

Setengah jam yang lalu sebelum bel pulang berbunyi. Fadya ketahuan Bu Bety sedang melamun. Bu Bety tidak bisa mentolelir anak muridnya yang tidak fokus pada pelajarannya. Karena itu, Fadya disuruh keluar kelas dan mendapat hukuman membantu penjaga perpustakaan untuk membereskan buku-buku yang baru dikembalikan oleh para murid.

"Dia dimana?"
"Gila ya bikin kaget aja."

"Fadya kemana? Ko ga bareng sama lo?"
"Tuh lagi di hukum Bu Bety beresin buku-buku perpus."

"Kenapa emangnya?"
"Kenapa gimana?"

"Bisa sampe dihukum gitu?"
"Oh. Itu tadi dia ngelamun pas pelajarannya Bu Bety. Ga kaya biasanya aja. Padahal dia murid teladan."

Rino menghembuskan nafasnya perlahan.
Apa ini semua gara-gara gue, Ay?

"Oh yaudah thanks ya."

"Eh bentar-bentar. Lo mau nyusulin dia kesana?"
"Hmmm."

"Yaudah gue titip ini ya tasnya Fadya. Sorry gue buru-buru udah dijemput soalnya."

Langkah kaki membawanya ke lantai 2 perpustkaan sekolah. Disana Rino bisa melihat gadisnya sedang menyusun buku-buku di rak. Sesekali ia terlihat menyeka peluh yang membasahi keringatnya.

Rino memutuskan untuk masuk ke dalam perpus. Sebelumnya ia sudah menyimpan tasnya dan tas milik Fadya di tempat penitipan barang.

Rino mendekati Fadya. Meraih buku dalam keranjang yang harus kembali diletakkan dirak sesuai dengan nomor buku yang tertera disana.

Fadya menoleh kearahnya. Menyunggingkan senyum manisnya. Rino pun membalas senyum itu sembari menempelkan sebotol minuman dingin ke pipi Fadya.

"Biar dingin."
"Makasih." Fadya meraih minuman itu yang sudah dibukakan tutupnya oleh Rino. Ia pun langsung meneguknya.

"Eh, buat aku kan ini?"
"Heehmm." Rino hanya memandangi Fadya dari samping. Ingin rasanya ia mengatakan kalau ia merindukan gadisnya yang dulu. Fadya nya yang ceria, semangat, selalu bisa diajak bercanda.

Kini yang ia lihat, Fadya yang lebih banyak diam, kurang bersemangat dan seperti menyimpan luka. Apakah ini salahnya? Ya. Rino harus mengakui hal itu. Dan sore ini ia akan membawa Fadya untuk mengutarakan semuanya. Sehingga masih bolehkah ia berharap hubungannya dengan Fadya bisa kembali seperti semula.

Keduanya masih sama-sama kembali terdiam. Dan masing-masing masih sibuk membereskan buku-buku itu. Rino yang membantu Fadya agar gadisnya itu dengan cepat menyelesaikan hukumannya. Fadya pun tidak keberatan akan hal itu. Mungkin inilah saat dimana ia tidak mungkin bisa menghindari Rino lagi.

Ya. Selama ini Fadya akui ia memang tidak siap menghadapi Rino dan penjelasan yang akan Rino katakan. Boleh jujur ia terlalu takut menghadapi kenyataaan yang ada. Karena dalam lubuk hatinya ia tidak ingin kehilangan Rino.

---

Dan disinilah mereka. Sepulang sekolah tadi mau tak mau Fadya tidak bisa menghindar lagi dari Rino. Rino mengajaknya berbicara disebuah kafe dekat taman kota.

Suasana sore itu cukup dingin. Dengan gerimis kecil yang membasahi bumi. Menciptakan tetesan embun di kaca sebelah tempat mereka duduk. Fadya duduk berhadapan dengan Rino.

"Ay..."
"Ino..."

Keduanya saling pandang ketika secara bersamaaan menyebutkan nama panggilan sayang itu.

"Kamu duluan Ay..."

"Kamu aja, aku ga tau harus bilang apa soalnya."

"Oke. Aku mau jelasin semuanya." Rino berdeham untuk menetralkan detak jantungnya yang entah mengapa sudah tidak karuan rasanya.

Fadya harus berulang kali menajamkan pendengarannya agar tidak ada satu kata pun terlewat yang keluar dari bibir lelaki dihadapannya.

Dan dia sampai pada kesimpulan bahwa Rino tidak sepenuhnya bersalah. Lelaki ini punya masa lalu dan bagaimanapun masa lalu tidak dapat diubah apalagi dielakkan.

---

Sepulang mereka dari cafe. Rino mengantar Fadya. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari mereka tidak pulang bersama. Lebih tepatnya Fadya yang menolak diantar pulang oleh Rino dengan berbagai alasan. Juga karena Fadya yang kemarin selalu menghindarinya.

Gadis berambut sepunggung itu menatap langit-langit kamarnya. Rino mengantar Fadya hingga depan pintu rumahnya. Sebelum Fadya menawari Rino untuk mampir, lelaki itu dengan cepat berujar agar Fadya masuk dan beristirahat. Dan kata-kata Rino sebelum ia pamit masih terngiang di benak Fadya.

Mungkin ini berat untuk kamu pahami sekaligus berat untuk kita berdua melaluinya. Tapi aku berharap apapun sangkaan kamu terhadap masa laluku. Itu tidak menjadikannya penghalang hubungan kita. Karena aku sangat menyayangimu dan tidak ingin mengakhiri hubungan kita. Setelah ini aku berharap kamu tak lagi menghindariku Ay....

Dan Rino pun tak kuasa untuk menarik Fadya kedalam pelukannya. Mengecup puncak kepala gadisnya, mengelus lembut rambut halus Fadya beraroma apel yang selalu Rino suka. Rino melepaskan segala kerinduannya kepada Fadya. Tak lama Fadya pun membalas pelukan Rino. Rino tersenyum dan berharap yang terbaik untuk hubungan mereka. Tak lama ia pun beranjak pamit meski dalam hati masih ingin berlama-lama dengan gadisnya.

Aku harus gimana Rino?

***

him (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang