Tujuh belas - kesal

26.2K 1.9K 31
                                    

---

"Udah dong jangan pada diem aja, ayo pada ngomong." Habis sudah kesabaran Mhyra ia penasaran dengan apa yang terjadi sebelumnya.

"Mas, kamu kenapa? Gak biasanya kaya gini. Kenapa mesti minum di luar kalo dirumah sendiri juga udah ada." Tyo berusaha mencari jawaban pada mas nya.

Dengan rambut yang berantakan, membasuh wajah saja tak sempat, mereka berdua seenaknya saja menuntut penjelasan. Ruang makan ini seakan menjadi ruang sidang. Aku tuh masih empet liat muka dia.

"Semua ini gara-gara dia." Sembari mendongkakan kepalanya ke arahku.

Emosiku kembali terpancing.
"Ihh bapak tuh yang salah, ngapain pulang kalo mabok."

Ia berdiri dengan tergesa hingga kursi yang ia duduki terjungkal. Dengan mata terpejam ia menggebrak meja dan berteriak.
"Saya itu lagi banyak masalah, ngerti gak kamu."

"Emang gak bisa cari cara lain selain minum?? Bapak tinggal cerita sama saya atau sama yang lain. Gak pake minum, gak pake ngelempar laptop saya!" Teriaku tak mau kalah.

"Kalian semua tau apa?? Kalian itu cuma anak kecil!" Membuat semuanya terdiam mematung.

Mhyra memicingkan mata seolah jengah dengan apa yang dia dengar.
"Mas Tama kita gak maksa mas buat cerita sama kita. Tapi gak gini juga, kita cuma berusaha meringankan beban mas."

"Orang dewasa emang semuanya EGOIS."
Mhyra pergi meninggalkan kediaman Pratama.

"Think smart mas, don't be stupid cuma karena ketemu orang gak penting." Kemudian dengan langkah cepat ia pria muda itu pergi menyusul Mhyra.

Aku meliriknya sekilas, kemudian kembali ke kamar Aya.

***

Meminta waktu untuk mengundur jadwal bimbingan sudah berhasil.

"Fyuuhh.. untung si papah percaya aja kalo anak gue sakit. Eh anaknya si pikeselen maksudnya." Menaruh kembali hp di atas nakas.

Pagi ini aku hanya memberi Aya sarapan roti dengan selai strawbery. Namun untuk bapaknya tidak ku  siapkan apa-apa, biar aja dia juga buru-buru pergi ke kantor karena emang sudah terlambat.

Hari ini, aku malas sekali untuk melakukan pekerjaan rumah, males masak, males segala-galanya deh. Ehh tapi revisian harus di kerjain hari ini besok bimbingan.

Astagfirullah lupa. Laptop kan udah almarhum. Gimana cara ngerjainnya, ish bete bete bete.

Akhirnya ku putuskan untuk main kerumah Mhyra bete juga gak ngelakuin apa-apa, perut juga butuh di ganjel nih. Semoga masih ada sisa sarapan di sana, da bosen makan roti mulu.

Ku gendong aya menuju rumah Mhyra. melewati rumah dengan pagar dengan cat coklat, tapi kok hari  ini rumah disana tidak ramai seperti biasanya. Ituloh rumahnya Angel Laga. wartawan udah bosen kali yah sama sensasi pernikahannya. Kebiasaan di kita tuh artis yang di beritain kebanyakan cuma artis yang penuh sensai tapi minim prestasi. Gak mutu.
Booming bentar abis itu juga ilang entah kemana.

Sesampainya di rumah Mhyra aku di sambut oleh dua orang asisten rumah tangga siapa lagi kalo bukan bi Sri dan bi Asih.
Bi Asih dengan sikap ke ibuanya berhambur padaku untuk menggendong Aya. Bi Sri juga tak kalah heboh jika bertemu Aya, habislah pipinya di ciumi.

Bi Sri memanggil sang empunya rumah, memberitahukan keberadaanku. Heran padahal sesama asisten rumah tangga tapi mereka selalu memperlakukanku layaknya tamu yang harus di hormati, buat akunya gak enak hati aja.

Kalian tahu kelemahan terbesarku adalah rasa gak enak hati yang kata Mhyra sih terlalu berlebihan. Dia selalu memarahiku jika melihat sikapku yang satu ini sudah keluar. Seperti saat bertemu kembali dengan kak Galih contohnya, dia yang sewot lihat aku nyantai saja saat menghadapi kak Galih. Ya emang gimana? Mau marah-marah terus gitu?. Aku selalu teringat pada perhatiannya padaku dulu,  yang sudah mau menjadi pendengarku, mau menemaniku ketika hendak mencari novel atau sekedar makan di luar. Yaa Walaupun perasaan sayang yang ia katakan padaku semuanya palsu. Aku tetap merasa harus berterima kasih karena dia mau aku repotkan dulu.
Bodoh! Ya memang aku ini bodoh.

Siap Pak Boss [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang