*Author pov
Tiga hari sudah Mhyra berada di rumah bi Atik, ia selalu menemani Riani walaupun gadis itu hanya bicara seperlunya pada Mhyra. Ia tahu bagi Riani butuh waktu untuk dapat menerimanya kembali.
Tiga hari juga Mhyra selalu menemani Riani setiap pagi ke pusara abahnya. Melihat Riani yang mendoakan abahnya disana serta menaburkan bunga di atas gundukan tanah merah itu. Tidak ada lagi tangisan.
Riani sering menyuruh Mhyra untuk pulang, baginya orang lain tak perlu melihatnya yang lemah seperti ini. Namun berulang kali ia menolak. Ia ingin terus berada disisi temannya itu. Di acara 3 harian abah keluarga Mhyra ikut hadir, selain itu Tama dan Tyo pun datang. Mereka berdua tak bisa selalu ikut menemani Riani karena pekerjaan mereka yang tak bisa di tinggal.
Hari ini Tama membawa ransel. Ia membawa beberapa baju ganti. Setelah masalah di perusahaannya teratasi ia segera mengambil cuti. Tama meminta Mhyra untuk ikut pulang bersama tante Aryani dan Rian, satu minggu lagi Mhyra dan Riani harus menghadiri acara wisuda mereka. Tama meminta Mhyra untuk menyelesaikan seluruh administrasi acara penting itu. Mhyra yang tadinya menolak akhirnya ikut pulang ke Jakarta, sebagai gantinya ia yang menemani Riani di sini.
Setelah acara selesai, mereka pamit untuk pulang. Tama menggandeng Riani menuju halaman rumah untuk mengantar mereka. Ia manut saja, namun banyak pasang mata yang melihat kebersamaan mereka.
***
Pagi hari Tama mengikuti Riani menunju makam abahnya. Ia ikut mengirimkan do'a pada ayah sang gadis yang dicintainya. Riani merasa risih, banyak orang disekitarnya melihat dengan tatapan iba. Sebenarnya itu tatapan kagum pada orang yang berada di samping Riani. Dua orang yang sedang membawa hasil ladang meyapa mereka.
"Abis dari makam ya neng?" Tanya si bapak yang memanggul karung dipundaknya.
"Iya pak." Riani tersenyum ramah.
"Biasanya di anter neng cantik, ini kok di anter si akang ganteng." Ucap di ibu dengan bakul berisi sayuran di tangannya.
"Saya Tama, calon suaminya Ian bu." Pria itu mengulurkan tangan pada si ibu kemudian mencium tangan si ibu dan si bapak secara bergantian.
"Waahh sekolah di Jakarta pulang-pulang bawa calon aja Dian." Goda si ibu. Riani hanya tersenyum kemudian pamit duluan.
"Ian tunggu." Panggil Tama.
"Ian tolong tunjukin tempat bagus di desa ini. Saya penat banget sama masalah kantor, sekalian refreshing." Riani menoleh, kemudian melanjutkan jalannya.
Gadis itu berjalan menuju jalan yang berbeda seperti saat mereka menuju makam, mereka menyusuri jalan setapak. Kemudian jalan itu semakin terjal. Ia lihat di bawah sana ada sungai yang jernih dengan bebatuan besar di pinggir sungai.
Tama terlihat sangat hati-hati, sandal yang ia gunakan terasa licin, berjalan di turunan tanah yang lembab oleh embun di atas rerumputan membuatnya sedikit ngeri. Riani menawarkan tangannya untuk menuntun Tama, pria itu tersenyum meraih tangan gadis itu. Satu tangannya ia gunakan untuk mengharuk tengkuknya yang tidak gatal. Rasanya malu, bukankah harusnya ia melakukan apa yang dilakukan Riani.
***
"Bapak sama yang lain kenapa kesini?" Tanyanya sambil melipat kaki di atas satu besar. Suara gemercik air yang melewati bebatuan terdengar menenangkan.
"Kami khawatir sama kamu, kami semua sayang kamu." Ucapnya sambil memandang gadis di sampingnya, namun gadis itu menatap lurus kedepan. Ia sangat berbeda, tidak seperti gadis yang selalu membantahnya.
"Saya gak pantes berada di sekitar kalian, kehadiran saya di sekitar kalian cuma akan di jadikan bahan olokan, dan selalu dicurigai." Ucapnya datar.
"Kamu kenapa bilang gitu? Kamu tau kami belajar banyak dari kamu, belajar mengenai kehidupan sama kamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Siap Pak Boss [Complete]
Literatura Femininatentang dua orang yang bertolak belakang. Riani, gadis yang hanya ingin menjalani hidupnya dengan santai dan tenang. karena tentang bagaiman kehidupannya hanya dia yang tahu. dan Pratama, pria tampan dengan karirnya cemerlang, dingin dan perfeksion...