Tiga puluh tiga - bersamamu

26.8K 1.7K 24
                                    

Aku terduduk lemas, ku tangkupkan kedua tangan di wajahku.
"Ya Tuhan saya sudah melanggar prinsip saya sendiri."

Pria itu berjongkok, menanyakan perkataanku tadi.
"Suami saya kelak cuma dapet sisa pak, karena bapak udah ambil kening saya." Sedih bercampur malu, ahhh malu banget ini.

Pria itu tertawa, ihh kok malah ketawa sih. Sebel tau, tapi cinta.
Pria itu mengusap kepalaku lembut.

"Tenang Suami kamu nanti gak bakal dapet sisa, kan saya yang dapet duluan."

Maksudnya???
Maksudnya apa iniiiii????

--

Rasanya malam ini canggung sekali, aku yang biasanya banyak berceloteh ria malah bingung cari bahan obrolan.

Hujan masih menemani kami, ya saat ini pak Tama masih disini, di tempat Tyo. Aku tak tahu kapan ia akan pulang. Ini sudah pukul 10 malam, ia sendiri yang bilang gak baik perempuan sama laki-laki berduan di satu atap tapi dia sendiri yang masih aja mager di sofa, matanya masih saja mengikuti kemanapun. Aku tahu karena sesekali aku lirik pria itu. Pria yang membuatku bersemu malam ini.

"Pak kok belum pulang?" Tanyaku sambil menaruh nasi goreng di piring. Mungkin sudah dingin saat ini, bukan mungkin tapi memang iya.

"Kamu ikut saya pulang baru saya akan pulang." Jawabnya. Mendekatiku yang saat ini duduk dihadapnnya.

"Dih gak mau lah, orang saya niat awalnya niat numpang ditempat Tyo. Kan kalau dirumah bapak saya jadi tinggal seatap sama bapak? Katanya perempuan sama laki-laki gak baik tinggal bareng." Ucapku panjang lebar.

"Beda, kan ada Aya. Lagian kita beda kamar. Disini cuma ada 1 kamar. Kalau Tyo pulang bagaimana?."

"Dih curang. Sama aja kali pak, disana malah lebih nyeremin. Nanti bapak ikut tidur bareng saya sama Aya lagi. Kaya waktu itu. Walaupun bapak gak lagi minum, khilaf bisa dateng kapan aja pak asal ada kesempatan. Contohnya kaya tadi, bapak main nyosor aja gak pake ijin lagi." Rasanya kok kesel yah.

"Kamu itu pinter banget jawab ucapan saya." Sambil berdecak.

Ku tarik tangannya, ia ikut bangkit. Lalu ku dorong punggungnya pelan menuju pintu.
"Udah bapak pulang aja."

Di depan pintu, ia sudah akan membuka handel pintu namun ia berbalik menatapku.

"Boleh cium kening?" Tangannya mengusap pipiku lembut.

"Gak boleh, selama belum dikasih status di buku nikah. Gak mau saya di cium-cium. Rugi!"

"Yaudah." Ia terlihat pasrah. Aku senang walaupun dia pemaksa tapi untuk hal ini dia mengikuti aturanku.

"Jangan lupa kunci pintu kamar. Baik-baik disini." Ia mengacak pucuk rambutku.

Pintu terbuka, tiba-tiba semua gelap. Otakku langsung teringat pada ponsel, dimana aku menyimpannya.
Kakiku melemas, sesak mulai menyeruak di dada. Nafasku sedikit tersenggal. Aku tak mampu lagi menahan beban tubuh, terduduk lemas dilantai.

Suara pintu tertutup mulai terdengar. Aku menutup telingaku, ini bukan apa-apa, ini bukan apa-apa. Aku berusaha menenangkan diri.
Suara langka terdengar, seseorang memanggilku. Tubuhku bergetar hebat, sorot cahaya membuatku menyilangkan tangan.

"Kamu kenapa?" Pria itu menepuk lenganku.

Ku pegang tangannya erat, terlalu erat bahkan. Ku tutup mata, seperti gudang itu. Aku benci gelap aku benci ruangan sesak penuh debu.

"Riani, kamu kenapa? Riani buka mata kamu, ada saya disini. Iaaann." Pria yang tadi menggoyangkan - goyangkan badanku, kemudian ia membawaku masuk kedalam pelukannya.

Siap Pak Boss [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang