Dua Puluh - Patah

29K 1.9K 25
                                    

Pagi ini aku bangun dari tidur sebelum alarm berbunyi. Senyuman menghiasi pagiku, berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuh. Pagi ini benar-benar harus disegarkan, tidak seperti hari biasa yang tidak membasahi rambutku. Tapi pagi ini wajib ku basahi.
Huuss jangan pada mikir yang aneh-aneh deh, ini tuh kewajiban perempuan kalau sudah di akhir masa datang bulannya begitulah yang dikatakan kepecayaanku. Setelah sekian lama tak keramas akhirnya keramas juga. Memang tak semua orang yang memiliki kepercayaan sepertiku mempercayai ini. Tapi aku tetap mengikuti apa yang guru ngajiku katakan. Setelah membersihkan diri aku lanjutkan melakukan kewajiban 2 rakaat.

Jam setengah 6, aku sibuk mengumpulkan pakaian kotor. Entah lagi bener kayanya nih otak biasanya aktivitas ini aku lakukan di siang hari setelah makan siang.

Dengan keranjang di tangan, ku masukan pakaian kotor, setelah itu ke kamar Aya, dan tak lupa ke kamar pak Tama juga.
Ku ketuk pintu tapi masih tidak ada jawaban.
Masuk aja deh.

Kulihat masih ada seseorang di balik selimut. Hmm ini si bapaknya kemana, ku langkahkan kaki menuju kamar mandi. Sebelum ku buka pintu, eh udah kebuka duluan

Mata kami bertemu. Itu rambut basahnya, mukanya kok seger banget keliatannya, dada bidangnya. Mataku terus turun, eh dia pake handuk doang.

"Ehh maaf pak. Itu yang dibalik selimut siapa?"

"Guling." Jawabnya singkat.

"Ngapain disini?" Masih di ambang pintu, itu kok dia nyantai banget sih. Ini aku aja udah sesak nafas, jantung juga ngajak olahraga.

"Ngambil baju kotor pak." Jawabku melewatinya, setelah ku masukan semua ke dalam keranjang, aku langsung berjalan keluar dengan sedikit berlari.

Sesampainya di dapur, mulutku tak berhenti mengucap sumpah serapah.

"Eh buseett dia nyatai aja cuma pake anduk doang, gak liat di depannya ada perawan ting ting. Mau tebar pesona kali dia, ishh itu air yang netes dari rambutnya terus
itu dadanya minta di senderin." Kepala menggeleng. Apaan sih kok mikir begitu.

Di lihat dosa, gak di lihat mubadzir. Emang dadanya gak kotak-kotak kaya Oppa-oppa korea, tapinya itu tipe sederable banget. Ku pegang dadaku yang semakin bergemuruh. Beruntung banget deh Aya. Bayangku.
Waahh udah gak waras nih.

Ia duduk di sofa kemudian menyalakan Tv, ahh gak biasanya. Kan biasanya dia turun jm tengah 7, ini masih setengah jam lagi loh. Suara Tv itu membangunkan Aya, tanpa tangis ia berjalan menuju sofa, ikut larut menonton berita dengan papanya.

Aduuh ini orang-orang pada kenapa deh. Selesai merendam pakaian, ku hampiri keduanya.

"Pak mau sarapan apa?"

"Buatin nasi goreng kaya waktu itu."

"Oke." Balik badan menuju dapur kembali, tiba-tiba ia berteriak.

"Ikat rambut kamu kalau masak."

"Rambut saya masih basah pak, gak baik kalau di Ikat." Timpalku.

Sibuk memotong sosis dan sayuran untuk pelengkap, pak Tama menghampiriku.

"Ini." Menyerahkan Hp nya.

"Apaan pak?" Tanganku mulai menumis bumbu yang sudah ku ulek.

"Ini Tyo mau ngomong."

"Spreake nya di aktifin aja pak, ribet nih." Ia mengangguk, masih berdiri di sampingku sambil memegangi hp nya.

"Halo yo, ada apa kok cari gue pagi-pagi gini." Sapaku.

"Kalau udah gak sibuk bisa ke apartemen aku gak?" Pak Tama menyiritkan dahi. Aku masih sibuk dengan masakanku. Ku ambil nasi dekat ricecooker dan pak Tama masih mengekor. Kembali ke wajan.

Siap Pak Boss [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang