Hari ini double up gak papa yah 😆.
Biar minggu ini pas 😅.---
Aku sampai di kampung tengah menjelang subuh, sepupuku yang menjemput di terminal.
Ku pikir setelah abah pergi maka satu bebanku akan hilang.Ku lihat tubuhnya yang terbujur kaku di selimuti kain, ku sibakkan kain penutup kepalanya. Ada bekas luka disana, pelipisnya yang lebam membiru. Dan beberapa luka lecet di pipinya.
Ku amati wajahnya. Baru ku sadari betapa aku rindu wajah tenang abah. Dulu aku sering mengganggunya ketika ia sedang tertidur, dulu sering ku seka keringatnya ketika ia istirahat sepulang bekerja.
Ingatanku kembali pada masa kecil dimana abah menggendongku menuju pasar, ketika ia membelikanku seragam sekolah dan segala perlengkapan sekolah. Ia terlihat begitu bahagia.Tas sekolah berwarna hitam dengan gambar barbie yang ia pilihkan menenaniku hingga aku kelas empat. Tabel abjad dan angka tak lupa ia belikan.
Dulu belum ada PAUD seperti sekarang hanya ada TK, dan kalian tahu tak semua orang mampu menyekolahkan anaknya di TK. Selain belajar pada ibu, setiap malam sebelum tidur abah selalu mengajakku untuk belajar dan mengingat huruf dan bentuk angka melalui tabel abjad dan angka yang di taruh di dinding tempat tidur.Aku ingat setiap ada acara selametan tetangga, jika mendapat bingkisan/berekat abah selalu memberiku lauk paling enak dari bingkisan itu. Ia makan paling terakhir.
Entah kenapa semua kenangan itu kembali muncul dengan melihat wajah abah dalam posisi sedekat ini.
Air mataku akhirnya lolos, secepat mungkin aku hapus ari mata dari sana, tetesan itu mengenai kulit wajahnya. Aku tak ingin membuat abah kesakitan. Orang bilang tangisan kita yang jangan sampai mengenai jenazah.Aku berlari menuju dapur. Disana aku tumpahkan segalanya, sesak dalam dada mulai terasa ringan. Aku menyimpan semuanya sejak semalam. Namun pagi ini semuanya lolos begitu saja. Bi Atik yang mendengar tangisanku menghampiri dan memelukku erat.
"Sabar Ian sabar. Kita harus ikhlas." Tenang bi Atik.
"Sekarang Ian gak tau harus kemana, Ian gak tau harus berjuang untuk siapa bi. Bibi tau alasan Ian kuliah, biar nanti jadi orang sukses dan ngumpulin banyak uang buat sembuhin abah. Ian gak tau hidup Ian sekarang buat apa." Aku terisak di pelukan bibiku.
"Husss Ian masih punya bibi, gak boleh ngomong gitu. Ajal siapa yang tau, kita gak bisa nawar takdir yang satu itu Ian."
Aku mendongkak, keluar dari pelukan bi Atik menatapnya lekat. "Bi, abah meninggal kenapa? Kenapa mukanya banyak luka?" Tanyaku.
"Kamu tahu abahmu yang suka mengejar wanita yang ia anggap mirip ibumu, ia mengejarnya hingga kejalan raya seperti beberapa waktu lalu. Namun ini tepat di persimpangan jalan. Abahmu tertabrak mobil pick up yang sedang melaju cepat, terpenal beberapa meter." Bibiku menceritakannya.
Aku benci, semua karena wanita itu. Lagi lagi wanita itu.
***
Setelah pemakaman aku masih terus di depan pusara abah, dulu aku sempat menginginkan abah pergi atau aku yang pergi meninggalkan dunia ini. Tapi aku sadar seharusnya aku tak mengucapkan kata-kata itu. Rasanya ada sesuatu yang penting hilang dariku, rasanya sangat hampa.
Dulu aku berharap abah bisa kembali seperti semula, menjadi pendengar setiaku dan ia yang selalu menceritakan sesuatu yang menakjubkan."Ian ayo pulang." Ajak bi Atik dan kedua sepupuku yang memenggangi lenganku.
"Nanti bi, sebentar lagi."
"Yaudah, kamu udah hubungi Mhyra? Udah kasih tau dia berita tentang abah?" Aku menggeleng.
Aku langsung bangkit, mengajak mereka semua untuk pulang. Semua terlihat kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siap Pak Boss [Complete]
Chick-Littentang dua orang yang bertolak belakang. Riani, gadis yang hanya ingin menjalani hidupnya dengan santai dan tenang. karena tentang bagaiman kehidupannya hanya dia yang tahu. dan Pratama, pria tampan dengan karirnya cemerlang, dingin dan perfeksion...