⚽ DUA ⚽

4.2K 286 0
                                    

Rumah keluarga Hernawan Wijaya tengah disibukkan dengan puluhan koper yang berserakan. Tas-tas ransel besar juga memenuhi lantai satu rumah yang berdiri di dekat Stadion Manahan, Solo. Rumah berlantai 2 yang hari-harinya diramaikan oleh Febri dan Alma.

"Kakak ini barangnya yang harus ditinggal yang mana? Apa iya bisa dibawa semua?" Teriak Mama dari ruang tengah.

Koper dan ransel Febri terlalu banyak, padahal mereka hanya menggunakan mobil Toyota Alphard untuk mengangkut semua barang ke Bandara. Sisanya, perabotan yang besar harus naik ke dalam truk dan baru memulai perjalanan ke Bandung esok pagi.

Febri hanya terdiam dengan tatapan kosong menatap Alma, Adik satu-satunya yang tengah kelelahan menata bajunya ke dalam koper.

"Kak?" Mama mendekati Febri dan ikut duduk di sampingnya.

"Mama yakin semua ikut pindah ke sana? Apa biar aku saja yang ke sana, Adik, Mama sama Papa tetap di Solo."

"Kenapa?"

Terdiam cukup lama, tetap memandangi Alma yang wajahnya ceria meski kelelahan. Yang bisa membuatnya begitu adalah tekad dan mimpinya untuk sang Kakak.

"Bagaimana dengan pengobatan Adik? Bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana dengan bisnis Papa dan Mama di sini? Bagaimana kalau rumah sakitnya tidak sesuai dengan kondisi Adik?"

Mama tersenyum lalu mengelus punggung Febri. "Itu sudah menjadi urusan Mama dan Papa, Kak. Sudah diatur semuanya. Toh ini yang Adikmu inginkan, menemanimu kemanapun kamu dikontrak klub. Adik ingin menjadi saksi keberhasilanmu. Apa kata Adik? Kamu harus jadi apa? Mama lupa."

"Sayap Garuda."

"Nah itu, Adik adalah penguat sayap bagi kamu kan? Kamu bisa terbang tanpa Adik?"

Febri menggeleng kecil.

"Kalau begitu, bantu Adikmu dulu. Dan kurangi barang-barang yang sekiranya tidak langsung kamu butuhkan ketika sampai di Bandung."

"Iya, Ma."

Febri mendekati Adik semata wayangnya, Alma yang tengah berjibaku dengan puluhan baju. Tanpa berkata apapun, Febri membantunya mengemas, berikut dengan beberapa obat yang masih bercecer di meja belajar Alma. Sementara Alma sendiri hanya tersenyum menyaksikan Kakak-nya.

Setengah jam kemudian, keluarga Hernawan Wijaya berangkat ke Bandara Adi Sumarmo, Solo. Sesuai jadwal tiket keberangkatan. Meski harus transit, tapi keluarga Hernawan mencari transportasi yang cepat, agar Alma tidak merasa kelelahan di jalan. Tidak baik untuk kondisi kesehatannya.

Kaca mobil Toyota Alphard dibuka Alma ketika melewati ratusan orang berseragam dengan tanda balok biru di lengan. Matanya berbinar lantas tersenyum, seperti orang yang tengah mensyukuri nikmat Tuhan.

"Kenapa, Dik? Ada yang ganteng?" Tanya Febri ikut memperhatikan ratusan tentara dengan wajah kotor tengah berjalan di tepi jalanan Adi Sumarmo.

"Enggak tahu, wajahnya kena cat kamuflase semua, Kak. Enggak tahu mana yang ganteng mana yang tidak," menghadap ke arah Febri. "Kata temanku, pangkat tentara-tentara itu Prada, kalau ada balok dua berarti pangkatnya Pratu."

"Temanmu sok tahu itu!"

"Ah, tidak, Ayahnya tentara di Grup 2 Kopassus. Mana mungkin dia bohong?"

"Bahkan anaknya Nabi bisa berbohong, Dik. Kenapa anaknya seorang anggota Kopassus tidak mungkin berbohong?" Tantang Febri dengan candanya.

Alma menghela napas, dia kalah dalam hal ini. Memang benar apa yang dikatakan Kakak-nya itu.

Tersenyum tipis, senyum Febri yang khas dan manis. "Tapi kamu benar kok, Dik. Yang lagi jalan itu pangkatnya Prada," menunjukkan hasil browsing-nya beberapa menit yang lalu. "Kamu kok mau tahu banget soal tentara, sudah tidak tertarik lagi dengan Evan Dimas? Katamu dia suami idaman yang religius."

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang