⚽ TIGA ⚽

3.4K 289 10
                                    

Bandung, kota yang terkenal dengan kota Kembang ini menjadi rumah baru bagi keluarga Hernawan Wijaya. Memboyong putrinya serta istrinya untuk bersama-sama mengantar putra sulungnya meraih impian. Meski sejujurnya, Bapak Hernawan Wijaya tidak buta, beliau bisa lihat kemajuan sepakbola Indonesia yang kurang baik beberapa tahun terakhir, atau memang sejak dulu tidak pernah baik.

Baginya, sanksi FIFA adalah bukti nyata buruknya regulasi persepakbolaan di Indonesia. Terlebih, sanksi pembekuan yang dilayangkan sampai waktu yang tidak ditentukan, sampai pemerintah dan pihak federasi mau sama-sama berbenah diri.

Seleksi Persib U-21 digunakan untuk mengisi beberapa turnamen ketika liga resmi mati suri, namanya turnamen itu tidak dalam waktu yang lama. Jangkanya kemungkinan hanya satu kali putaran. Para pemain bahkan mulai mencari nafkah dijalur lain. Ada yang buka usaha, ada yang daftar TNI-Polri, banyak yang lainnya. Setidaknya dengan turnamen kecil semacam ini, pemain tetap bisa menjaga kemampuan olah bolanya.

Maka seorang Hernawan Wijaya memiliki harapan lain, setidaknya dengan turnamen ini, menjadi kesempatan bagi Putranya untuk menunjukkan bakat terpendam. Bagi seorang Ayah, mengantarkan Putranya meraih mimpi adalah hal terpenting. Terlebih, Putrinya juga memimpikan hal yang sama. Beliau juga tidak mau terlambat dalam mewujudkan mimpi kedua anaknya.

Sekarang, melihat kedua buah hatinya tertawa, saling menggoda dan menjahili saja sudah menjadi kebahagiaan yang tidak ternilai harganya, apalagi bisa melihat kedua anaknya tersenyum ketika mimpi mereka tercapai.

"Kakak sama Dik Alma ini kok berantem terus," tegur Papa, Hernawan Wijaya, pada kedua anaknya. Padahal beliau tahu itu bukanlah sebuah pertengkaran.

"Anak Papa ini mana bisa akur?" Mama ikut bersuara. Padahal Mama juga tahu tentang candaan antara Febri dan Alma.

"Sudah, pada mandi sana. Nanti Ayah ajak keliling Bandung."

"Alhamdulillah," seru Febri dan Alma bersama-sama. "Jalan-jalan kita, Dik. Skuat lengkap lagi."

Alma tersenyum lantas bergegas ke kamarnya. Berganti pakaian yang dia punya, yang terpenting itu jaket dan kerudung yang menutup dada.

Keluarga kecil itu pergi dari rumahnya setelah satu jam mereka bersiap, hanya keliling Bandung dan mengenal beberapa tempat vital, termasuk rumah sakit dan sekolah Alma nantinya. Beberapa tempat wisata di Bandung juga diperkenalkan pada Febri dan Alma, setidaknya mereka bisa tahu tempat tujuan mereka menghabiskan waktu berdua.

"Kak, di Bandung ceweknya cantik-cantik. Benarlah kalau Bandung itu kota Kembang, itu kembang semua isinya." Menunjuk sekerumunan perempuan yang sedang bersenda gurau di sebuah taman di tepi jalan. "Kakak mau pilih yang mana?"

Febri ikut menyaksikan kerumunan perempuan itu, baginya tidak ada yang spesial, tidak ada yang bisa membuat mulutnya mengucap kata cantik. Setidaknya untuk saat ini, meski di sana ada yang berambut panjang dan tersenyum bak bulan sabit bercahaya. Nyatanya tidak menarik.

"Kakak pilih Dik Alma sajalah," jawabnya begitu sweet, lebih sweet dari sekedar gombalan laki-laki untuk pacar atau perempuan yang dicintainya. Tapi memang untuk saat ini, Febri masih memilih Alma untuk dia jaga, dia sayangi dan dia banggakan.

Kalau pun tertarik pada perempuan, sebenarnya sudah ada gadis Solo yang membuatnya jatuh cinta, tapi agaknya cinta itu hanyalah ilusi semata. Nyatanya Febri tidak mau berbuat lebih jauh, dia tetap fokus pada mimpinya, mimpi Alma, mimpi bersama rakyat Indonesia, untuk menerbangkan Garuda lebih tinggi dari biasanya.

"Ih, sekarang sudah 18 loh, sudah lulus, sudah punya KTP, SIM, sudah mau dikontrak Persib U-21, ganteng, ayolah, waktunya cari Kakak Ipar buat Alma," kata Alma yang hanya membuat Mama dan Papanya menahan tawa.

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang