⚽ EMPAT PULUH EMPAT ⚽

2.1K 198 13
                                    

Febri masih di rumah saat seharusnya dia bersiap menuju Bandara. Dia harus segera sampai di Bali sebelum mendapatkan sanksi dari federasi. Pemanggilannya untuk mengikuti training camp sebelum berangkat ke Malaysia masih berlaku hingga pagi ini, atau mungkin hingga sore nanti. Federasi masih memberi waktu perihal duka yang dialaminya tapi Febri juga tidak seharusnya mempermainkan waktu yang sudah diberikan oleh Federasi.

Sejujurnya bukan mempermainkan, dia hanya belum siap berangkat. Masih terbayang Alma dan semua kenangannya. Bahkan pagi ini dia baru saja pulang menemui Alma di pusaranya. Masih basah dan mendapat beberapa tambahan syal di atas nisan. Paling banyak memang Persib Bandung tapi Persija Jakarta, Bali United, Garuda, Barito Putera, PSMS Medan hingga Persis Solo. Satu persatu diambil Febri pagi tadi, dia ingin menyimpannya untuk Alma. Tanda bahwa meski tak banyak yang mengenal, sepucuk surat Alma menjadi harapan dari persatuan.

Syal-syal itu kini terpajang di sisi kosong dinding kamar Alma, kamar yang sejak semalam menjadi tempat Febri meratap. Febri menghela napas sekali lagi saat melihat syal-syal itu di samping kanan foto Alma.

Suara kenop pintu terbuka membangunkan Febri dari bayangannya. Papa, beliau baru saja masuk dan duduk di samping Febri. Di ujung ranjang mengenakan pakaian casualnya. Beliau tak bekerja meski Febri tahu pekerjaan Papa tak pernah ada hentinya.

"Kak, Mama sudah mengemas baju Kakak buat TC. Sudah waktunya berangkat ke bandara. Papa antar," ucap Papa mengusap kepala Febri.

Febri menggeleng. "Febri masih mau di sini sama Alma."

Papa tersenyum kecil. Putra sulungnya itu masih saja berduka padahal Alma selalu minta dia tersenyum meski tanpa Alma di hari terakhir Alma menatap dunia. Febri adalah bagian penting dalam mimpi Alma, tidak boleh dia semacam ini. Itu pikir Papa sekarang, dia pun tak ingin putranya terlihat lemah.

Masih diam, membiarkan Febri menangis sekian menit. Menghadapi orang berduka harus dengan kesabaran. Terlebih, Papa sendiri juga tengah berduka. Memang Ayah mana yang begitu saja lupa setelah kehilangan Putrinya. Putri yang selalu saja menjadi alasan untuk terus semangat bekerja.

"Kakak ingat apa mimpi Adik buat Kakak? Dik Alma pengen Kakak jadi sayap buat Garuda, membawanya terbang tinggi, menunjukan pada mata dunia."

Febri terdiam, dia ingat betul semua yang Alma ucapkan tentang mimpi-mimpi itu. Dia tak pernah lupa satu katapun dan tidak lupa dimana Alma mengatakan semuanya. Baik di stadion Manahan, di rumah, di jalanan, di bandara bahkan di tepi Bengawan Solo. Alma selalu mengatakan tentang mimpinya pada Febri, mimpi yang tak pernah mati. Layaknya mimpi istri Sir Thomas Stamford Raffles tentang Kebun Raya Bogor yang tak pernah mati.

"Kak, meski Adik sudah tidak lagi di dunia tapi di atas sana dia masih bisa tersenyum.  Satu hal yang selalu Papa ingat meskipun Papa selalu sibuk dengan pekerjaan.  Adik tidak pernah suka melihat Kakak murung. Dia selalu punya cara untuk membuat Kakak tersenyum kan? Katanya senyum Kakak adalah kebahagiaannya."

Benar, Febri juga ingat tentang itu. Alma tak pernah suka melihat Febri murung, dia selalu punya cara untuk menghibur.

"Sekarang waktunya Kakak buat Dik Alma tersenyum di atas sana. Berdiri, tersenyum, berangkat ke Bali, menangkan pertandingan sea games, bawa medali itu pulang buat Adik. Jangan sia-siakan kesempatan untuk membuat Adik tersenyum, Kak."

Febri menatap Papa dengan mata berkaca-kaca.

"Buat Dik Alma tersenyum."

Tangis Febri kembali jatuh.

"Sekarang tinggal satu perempuan yang harus selalu kita bahagiakan di dunia, Mama. Mama pasti ikut murung jika Kakak terus murung. Bahagiakan dan banggakan Mama, Kak."

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang