⚽ DELAPAN ⚽

2.3K 221 15
                                    

"Adik nanti nyusul ya? Kakak telat nih," teriak Febri dari depan pintu rumah. Sementara yang diajaknya bicara tengah berada di kamar mandi.

Alma, iya, Alma. Dia sedang berada di kamar mandi karena kepalanya pusing dan mimisan lagi. Tapi dia tak bisa mengatakan itu pada Febri, hari ini latihan penting bagi Kakaknya. Terlebih setelah kegagalan kemarin sore.

"Iya, Alma BAB-nya masih lama," balas Alma dari dalam kamar mandi, kebohongan pertama di hari ini. Dan itu tidak layak untuk ditiru, habis mau bagaimana lagi. Tak mungkin Alma mengganggu konsentrasi Febri.

Febri menahan tawa di depan pintu, menggeleng kecil sebab terlalu lugu gadis kecil itu berteriak tentang aktivitasnya di kamar mandi.

"Nanti minta anter aja sama Pak Ujang," teriak Febri lagi.

Pak Ujang itu sopir yang khusus siaga di rumah jika Mama dan Papa tidak berada di rumah. Siaga bila Alma sewaktu-waktu membutuhkan rumah sakit atau sekedar ingin pergi ke tempat yang dia mau.

Alma tak menjawab, dia masih diam dan memandangi wajahnya di depan cermin dalam kamar mandi. Darah masih mengucur dari hidungnya. Kepalanya masih pusing dan dilihatnya rambut-rambut yang dulu tebal juga hitam kian menipis, kering, tidak beraturan.

"Pak, nitip Adik ya? Nanti kalau ada apa-apa, bawa weh ke rumah sakit dulu baru ngabarin yang lain. Bapak tahulah bagaimana kondisi Alma," kata Febri mendekati Pak Ujang yang duduk bersama dengan kopi di pagi hari, beliau hendak berdiri tapi Febri menahannya.

Mengangguk. "Siap, A. Mau diantar sekarang?"

Menggeleng. "Tidak usah, saya bisa naik sepeda motor."

"Hati-hati, A. Latihan yang fokus dan tenang weh, Teh Alma Bapak yang jaga," kata Pak Ujang yang sudah semakin dekat dengan keluarga ini, meskipun belum genap satu bulan beliau bekerja di sini.

"Iya, Pak. Terimakasih, pamit dulu, Assalamualaikum."

Pak Ujang menjawab salam lantas duduk kembali.

Suasana rumah hening, belum ada teriakan Alma minta diantar ke Stadion SPOrT, belum ada juga teriakan Mbok Nanik, Asisten Rumah Tangga yang diboyong dari Solo. Masih tenang, damai sentosa.

Kenyatannya, di dalam kamar mandi Alma masih menatap dirinya sendiri nanar. Kondisinya makin lama makin memburuk, kemoterapi membuat tubuhnya semakin kurus, rambut-rambutnya rontok, kulit kering dan meninggalkan bekas-bekas luka karena kemoterapi yang terlalu panas bagi tubuhnya.

Darah yang mengalir sudah mereda, tapi tidak dengan kesedihannya, tidak dengan ratapnya akan kondisi yang dia alami. Dia sungguh ingin menggapai mimpinya sendiri, tapi dia tidak bisa dan hanya bisa bermimpi melalui Febri.

Tanpa sadar, butiran bening bak kristal swarovski itu mengalir di pipinya. Membasahi kulit-kulitnya yang kering akibat bahan-bahan kimia yang diterimanya. Dia mungkin kuat, dia mengerti itu, tapi setidaknya sekali dalam seminggu, dia menangis dan bertanya pada Tuhan mengapa dia menjadi pilihan.

Gadis yang sehari-harinya mengenakan kerudung itu masih meratap, masih mencerna setiap takdir yang dia terima. Sementara gadis berparas ayu kebingungan di jalanan sekitar rumahnya.

"Punten, Mang. Tahu rumahnya Febri Hariyadi enggak?" Tanya gadis itu pada Mamang penjual es keliling.

Mamang itu mengernyitkan dahinya. Memang salah alamat bertanya gadis itu. "Febri Hariyadi teh saha, Neng? Harus gitu Mamang teh kenal semua orang yang ada dikompleks ini?"

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang