⚽ EMPAT PULUH ⚽

2.1K 185 14
                                    

Salah satu rumah sakit di Bandung langsung menerima dua pasien sekaligus dari stadion. Satu adalah Alma, satu lagi yang nanti akan kita kenang, Ricko Andrean. Laga tadi memang cukup mencekam, beberapa pemain Persija terkena lemparan botol dan satu orang harus terluka usai laga. Hanya karena seruan adanya Jakmania yang menyusup.

Mama menangis di ujung lorong, tak kuasa menyaksikan putrinya terbaring tak berdaya, sementara Papa ikut masuk ke dalam sambil terus menghubungi putra pertamanya. Milan? Kakinya lemas tanpa kekuatan.  Dia ikut menjadi saksi seorang Ricko habis dikeroyok Bobotoh, dia juga saksi bagaimana Alma berteriak lalu tumbang.

Di Instalasi Gawat Darurat, Alma bersebelahan dengan Ricko, sang korban hilangnya persatuan suporter. Dokter juga cukup sibuk merawat kedua pasien, sibuk membangunkan Alma yang pingsan dan Ricko yang keadaannya lebih parah.

Tak berselang lama, Alma terbangun dari ketidaksadarannya. Yang dilakukan pertama setelah dia terbangun adalah menangis. Bukan karena kondisinya yang semakin rapuh, tapi tentang persatuan bangsa ini yang semakin sempit.

"Pa? Bagaimana keadaan stadion? Ada yang terluka?" Tanya Alma dengan nada lemahnya.

Alma sama sekali tak tahu dia bersebelahan dengan korban kebiadaban, mungkin karena gorden yang memisahkan keduanya, juga karena Alma pingsan lebih dulu sebelum akhirnya petugas mengevakuasi Ricko.

Sebab Papa tahu anaknya adalah seseorang yang terlalu pemikir tentang apapun mengenai negeri ini, terlebih tentang persatuan dalam sepakbola yang selalu dia dambakan. Maka terpaksalah seorang Hernawan Wijaya berbohong pada putrinya.

"Semua baik-baik saja, Dik. Cuma insiden kecil, bukankah biasa?"

Kembali lagi, air mata Alma menetes.

"Pasti ada yang terluka, Pa. Orang-orang tanpa hati yang kesetanan tadi sangat bringas dalam memukul," sambil terisak.

"Iya, tapi tak apa. Masih bisa diselamatkan, Dik."

Yang bisa dilakukan Alma sekarang hanyalah mempercayai omongan Papa, sekalipun dia masih cukup khawatir ada korban nyawa seperti yang terkenang dalam sejarah.

Alma mendapat penanganan yang cepat sebab lebih mudah, sementara dokter lain masih menangani Ricko saat Alma telah berpindah kamar. Sampai saat ini, Alma tak tahu ada yang terluka dan tidak berdaya.

Satu jam berlalu, Febri sudah datang dengan wajah khawatirnya. Dengan sejuta kasih sayang dia peluk Alma tanpa kata. Sementara Milan hanya bisa menggenggam kertas di tangannya erat-erat. Sesuatu yang harus dia jaga hingga nanti. Sambil memperhatikan Alma, dia bertanya tentang kabar Febri dalam hatinya.

"Dik, kenapa bisa begini? Kakak dengar Dik Alma nribun di ekonomi?" Tanya Febri saat melepas pelukannya.

Alma tersenyum tanpa merasa bersalah.

"Bagas sama Hanif sampai telepon Kakak berulang kali sejak laga usai, tanya keadaan Dik Alma gimana masalahnya Dik Alma nonton dari tribun ekonomi dan dihubungi nggak bisa."

Sekali lagi Alma tersenyum, juga sedikit bersyukur sebab ternyata banyak yang mengkhawatirkannya.

"Jangan cuma senyum aja, Dik!"

Lagi-lagi tersenyum.

"Dik Alma!" Febri akhirnya frustasi sebab Alma tak kunjung berbicara.

"Alma pengen berteriak bersama mereka yang tanpa batas, Kak. Sekali saja, nyatanya Alma baik-baik saja," kata Alma begitu lemah di atas ranjangnya.

"Baik-baik saja?" Tekan Febri tak percaya dengan jawaban Alma. "Sebentar lagi kamu harus transplantasi sumsum tulang belakang, Dik. Butuh banyak istirahat biar bisa sembuh, bukannya main-main dengan nribun di tempat biasa. Nanti setelah Dik Alma sembuh, bebas mau nonton dimana saja!" Kali ini Febri begitu keras terhadap Alma. Seperti tak ada ampun atau toleransi mengenai ini.

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang