⚽ TIGA BELAS ⚽

2.2K 209 2
                                    

Kling...

Suara dering telepon itu tak pernah mau berhenti sejak tadi siang. Telepon Alma yang berdering di samping meja yang sesak oleh obat-obatan. Alma masih terlelap sempurna akibat pengaruh obat yang dia minum setengah jam yang lalu. Sementara di samping ranjang pesakitan ada Milan yang baru saja kembali dari kampusnya. Mama dan Papa, mereka tengah berbicara dengan dokter mengenai penanganan selanjutnya.

Kling...

Lagi-lagi ponsel itu tak pernah mau berhenti berdering. Maka akibat rasa penasaran yang mencuat, Milan memberanikan diri mengangkat telepon dari Febri. Iya, dari Febri yang dalam kontaknya jelas tertulis "Sayap Garudaku" dengan foto kontak Alma bersama dengan Febri.

"Hallo, Assalamualaikum, Dik Alma. Bagaimana, sudah minum obat?"

Milan menelan ludahnya mendengar suara yang di seberang. Dia ingat semalam, betapa manisnya dan sopannya dia. Baik dan penuh perhatian, jantungnya berdetak sejak saat itu. Entah salah atau benar, jantungnya selalu berdetak ketika mengingat Febri.

"Em, wa'alaikumsalam. Punten nyak, Feb. Alma lagi tidur jadi saya angkat telepon kamu. Saya Milan," katanya berhati-hati.

Yang di seberang diam beberapa detik. "Oh Milan, enggak apa-apa. Makasih sudah datang buat Alma. Bagaimana kondisinya? Papa dan Mama tidak ada di situ?"

Milan diam sejenak, memperhatikan Alma yang masih tertidur pulas tanpa gangguan. "Masih seperti kemarin, tapi seperti yang kamu tahu, dia selalu tersenyum. Mama dan Papamu sedang menemui dokter, berbicara tentang kemoterapi yang belum bisa dilakukan dalam waktu dekat karena kondisi Alma yang begitu lemah. Tapi kamu jangan khawatir, Alma kan kuat. Dia pasti bisa melalui semuanya."

Sejujurnya, dia mengatakan itu tak benar-benar untuk Febri saja, tapi juga untuk dirinya sendiri agar percaya bahwa Alma adalah perempuan yang kuat. Entah mengapa ada perasaan aneh itu untuk Alma, padahal hitungan mereka saling mengenal cukup singkat. Mungkin karena simpati yang timbul tanpa dinyana.

"Ya Allah, Dik. Kenapa harus kamu yang sakit," yang di seberang mengeluh kecil, ada nada frustasi di sana. Pasti berat menerima segala macam kenyataan ini.

Menghela napas panjang. "Sabar ya, Feb. Aku enggak tahu harus bilang apa, terlalu berat, yang kutahu hanya sabar, tapi itu yang tersulit di dunia."

Tak ada jawaban cepat dari seberang. Cukup lama entah berapa menit terdiam tapi ada isakan kecil yang samar-samar terdengar. Benar atau salah, Milan tak mau bertanya apa Febri menangis di seberang sana. Biasanya laki-laki paling sensitif jika ditanya apa dia tengah menangis.

Milan hanya diam dan menunggu, entah sampai kapan dia akan mendengar isakan samar itu. Yang pasti dia tak mau masuk di saat yang salah.

"Maaf, Milan. Kamu jadi nunggu aku yang lagi nangis. Aku selalu cengeng jika soal Alma, dan ini pertama kalinya aku menangis di dengar orang lain," katanya ada suara tawa sekaligus suara parau kecil di sana.

Jadi apa yang Milan dengar tadi benar isakan tangis dari Febri.

Bukannya segera menanggapi, sekujur tubuh Milan justru kaku. Rasanya spesial sekali mendengar tangis Febri untuk pertama kalinya. Bahkan dia perempuan pertama selain Mama yang mendengarkan tangisan Febri itu. Bukankah air mata laki-laki itu selalu mahal harganya? Bukankah laki-laki selalu menangis hanya di depan seseorang yang spesial?

"Apa aku spesial?" Itu pertanyaan Milan dalam hati. "Ah, tidak-tidak, jangan terlalu berharap Milan."

"Milan," panggil Febri tak sabar yang di seberang hanya diam.

Milan terbangun dari pikiran-pikiran kotornya. Baginya itu pikiran kotor sebab terasa sebuah fatamorgana. "Ah, iya. Maaf tadi hanya sedikit tersentuh karena kamu begitu menyayangi Adikmu. Mungkin kamu juga akan menyayangi kekasihmu sama seperti itu dimasa yang akan datang."

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang