⚽ DUA PULUH ENAM ⚽

2.4K 228 16
                                    

Kling...
Kling...
Kling...

"Hape siapa berisik woy!" Teriak Bagas masih dalam lelapnya.

Memang, jam dinding masih menunjukkan pukul 03.47 WIB, adzan subuh belum berkumandang. Pantas jika semua pemain masih terlelap sempurna. Dan suara ponsel itu sungguh memekikkan telinga yang fungsinya belum begitu sempurna.

"Angkat woy!" Teriak Andy mengajukan tangan masih dalam posisi tidur wuenaknya.

Mata Febri berkedip, berusaha mengembalikan samua nyawa yang hilang dari tempatnya. Sembari tangan berotot itu mencari-cari dimana sumber bunyi. Sebab suara itu terdengar sangat jelas di sebelah kiri.

"Ehmm, hallo, assalamualaikum," yang di seberang mengucap sapa dengan nada yang lemah lembut.

Mata Febri langsung terbuka sempurna, nyawanya langsung kembali ke tempatnya tanpa adegan slow motion. "Wa'alaikumsalam, Dik Alma," teriak Febri kegirangan. Syukurnya kelewat batas sebab dia begitu lega mendengar suara Alma.

Semua yang mendengar ucapan Febri langsung membuka mata, membulat sempurna namun tetap pada posisi tidurnya.

"Kakak khawatir sekali sama kamu, Dik. Kemarin enggak ada kabar, kamu tahu kan betapa paniknya Kakak?" Sudah berkaca-kaca.

Yang tadinya hanya membuka mata langsung bangkit dan duduk mendekati Febri. Ada Evan Dimas yang pertama, disusul Yama, Andy, David, Bagas, Hanif, Putu Gede, Osvaldo, Satria Tama, Zola dan yang terakhir, Mas Chocochip masih belum kembali nyawanya.

"Maaf, kemarin Alma, ah tidak penting," kata Alma yang jelas sekali menyembunyikan sesuatu hanya karena tidak mau mengganggu konsentrasi Febri dalam berlatih.

Hansamu Yama menyela tempat di antara Febri dan Evan. "Kerasin suaranya, Feb," pintanya.

Febri menjauhkan telepon dari telinganya. Meletakkan di atas tempat tidur, diantara beberapa orang yang mengerubungi.

"Maaf, Kak. Alma mengganggu jam segini, Alma hanya tidak mau membuat Kakak khawatir karena semalam tidak ada kabar," jelas Alma sedikit merasa bersalah.

Padahal di sana, di Bandung, semalam Alma dilarikan ke rumah sakit sebab pingsan tak kunjung sadar. Dia baru saja membuka mata dua jam yang lalu, menyiapkan nyawa dan kekuatan lalu menghubungi Febri. Benar-benar gadis itu tak ingin semua tentangnya mengganggu konsentrasi Febri.

Alma menangis, air mata itu sungguh sangat banyak tapi dia tidak bisa menunjukkan tangis itu, bahkan sekedar suara parau. Dia harus terdengar sehat.

Beberapa pemain masih melingkar menunggu Alma kembali mengucap sesuatu tapi Alma masih sibuk mengatur suaranya agar tidak terdengar parau.

"Dik," panggil Febri telah menunggu diamnya Alma selama 57 detik. "Dik Alma baik-baik saja kan?" Tanyanya.

Masih dalam tangisnya tanpa suara. "Alma baik-baik saja kok, Kak. Lagi olahraga biar kuat menjalani pengobatan nanti, hehehe," canda Alma padahal air matanya tetap mengalir. Mama yang duduk di samping Alma juga ikut menangis, memeluk anaknya yang selalu saja lebih peduli pada Febri dibandingkan dirinya sendiri.

Febri bernapas lega. "Jam segini olahraga? Bohong aja kamu, Dik. Pokoknya yang semangat ya, Dik. Semoga lancar dan Alma adalah gadis kecil yang selalu kuat."

Pemain lain tak ingin berbicara, mereka lebih ingin menikmati romantisme Adik Kakak yang tengah berlangsung di menit awal. Mungkin nanti sebagai kejutan bagi Alma, jadi biarkan Febri menikmati waktu dan berkabar dengan gadis yang belum pernah mereka jumpai.

Di atas ranjang pesakitan, Alma menghapus air matanya. "Bagaimana semalam bersama orang-orang hebat itu, Kak? Pasti mereka baik-baik kan, Kak? Kalau ada yang jahat, bilang sama Alma," katanya setelah menelan ludah.

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang