⚽ EMPAT PULUH ENAM ⚽

4.1K 263 85
                                    

Kembali ke Indonesia dengan rasa bangga meski tidak sesuai dengan harapan. Setiap atlet pasti menargetkan emas meski terkadang perlu realistis dengan peta kemampuan. Namanya juga target, harus tinggi tapi hasil belum tentu sesuai dengan target.  Seperti atlet sepakbola, mereka juga menargetkan emas untuk negara dan Alma, hanya saja, perunggu yang ditangan sekarang.

Semua pemain tengah menuju Bandung, mereka ingin menemui Adik ketemu gede di sana. Mereka ingin mempersembahkan medali itu untuk sosok Alma yang kuat. Tak ada yang pulang lebih dulu, semua kompak datang ke Bandung bersama dengan Mama dan Papa.

Sampai di kota kembang, kelu rasanya lidah mereka, kaku bibir mereka, lemas kaki dan tangan mereka, semuanya lemah. Dulu, kualifikasi piala Asia, mereka disambut dengan senyum Alma, dengan semangat yang tak pernah mati. Kini, tak ada itu semua, hanya gundukan tanah yang seolah masih cukup basah oleh air mata. Suporter bahkan tak henti datang setiap harinya, terakhir, suporter dari Sriwijaya FC datang.

Febri berjalan di paling belakang rombongan, sementara Hansamu Yama yang paling di depan, Hanif berada di depan Febri dan yang lain berjajar diantaranya. Hanif dalam posisi membungkuk dan menghentikan langkahnya. Dia ingin segera sampai tapi kakinya terlalu lemah, air matanya justru yang kuat mengucur deras.

Papa dan Mama sudah duduk di depan makam Alma, membersihkan beberapa bunga yang telah layu, merapikan beberapa atribut yang sengaja dipasang.

Febri sempat berhenti sejenak, mengambil napas dan ingin menampakkan senyum di depan makam Alma. Tak ingin ada air mata yang berlebihan, Alma tak akan suka itu. Sementara Hanif sudah meneteskan air mata bersama dengan pemain lainnya.

Hansamu Yama memberikan doa yang terbaik untuk Alma, sembari meneteskan air mata di depan pusara. Lantas diikuti Evan Dimas yang langsung menyentuh batu nisan dengan mata yang basah. Selanjutnya David yang duduk di samping Evan Dimas.

"Dik Alma, apa kabar? Mas David kangen chatting sama Dik Alma tiap malam."

"Dik Alma, nggak ada lagi loh senyum yang semanis es degannya Lek Sri." Ricky Fajrin yang ikut mengusap batu nisan Alma.

"Dik, kita loh belum sempat jalan-jalan ke Jogja berdua." Bagas pun mengikuti hal yang sama.

Semua pemain langsung menyingkir ketika Febri dan Hanif akhirnya ikut bergabung. Mereka langsung berada di sisi kanan dan kiri pusara Alma. Mereka membelai serentak, meletakkan satu bunga mawar merah di batu nisannya. Memang semua pemain membawa satu tangkai mawar merah dan medali yang masih di leher mereka.

"Dik, meski tak banyak kenangan indah kita bersama. Tapi senyum dan canda malu-malumu masih tersimpan dalam kotak kenangan."

Sekali lagi Hanif menunduk dan menangis. Banyak hal ingin dia sampaikan pada Alma, meski sudah sangat terlambat untuk disampaikan.

"Kadang Aa pengen menyalahkan kamu yang tidak percaya dengan ungkapan perasaanku, kadang juga pengen menyalahkan diri sendiri kenapa tidak meyakinkan kamu. Dik, aku benar-benar jatuh cinta dalam segala hal tentang kamu. Kamu baik, pemikiran yang luas, dewasa meski masih gadis, cantik sekali, bahkan wajah pucatmu tidak pernah bisa menyembunyikan cantikmu. Tapi Dik kata orang cinta juga tidak beralasan, aku jatuh cinta begitu saja melalui beberapa pertemuan dan suara. Bukankah gila?"

Pemain lain yang biasanya akan tertawa dengan ungkapan semacam itu justru menangis haru. Mereka seolah mengerti bagaimana rasanya menjadi Hanif.

"Sekarang, tidak ada yang bisa memberiku semangat lebih melalui motivasi, tidak ada notifikasi yang selalu dinanti. Banyak hal hilang dalam sekejap, Aa pikir karena kamu kuat, kamu akan segera bangkit lagi dari ruangan itu. Ternyata kuasa Tuhan tentang kematian lebih besar dari kekuatanmu. Entah esok hatiku akan berubah atau tidak, aku tetap menyimpanmu sebagai yang terindah dalam hidupku."

Sayap GarudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang